
SURABAYA | duta.co – Insiden penembakan siswa SMKN 4 Semarang berinisial GRO oleh Aipda Robig Zaenudin kembali memantik sorotan tajam terhadap kebijakan penggunaan senjata api di tubuh Polri. Kasus ini tidak hanya menuai kritik dari masyarakat, tetapi juga memunculkan desakan dari DPR RI dan pakar hukum untuk melakukan evaluasi menyeluruh terhadap regulasi, pengawasan, serta profesionalitas aparat dalam penggunaan senpi.
Tak hanya memunculkan kritik tajam dari berbagai kalangan, kasus ini juga menggugah tuntutan evaluasi menyeluruh terhadap regulasi dan pengawasan senpi.
DPR RI, melalui Komisi III, menyuarakan pembatasan senjata api bagi anggota Polri. Mereka menyarankan agar aparat hanya dilengkapi dengan tongkat panjang saat bertugas untuk mengurangi potensi penyalahgunaan.
“Kita perlu memastikan bahwa tugas penegakan hukum tidak disalahgunakan untuk tindakan yang membahayakan masyarakat,” ujar salah satu anggota Komisi III.
Pakar hukum, Prof. Dr. H. Sunarno Edy Wibowo, S.H., M.Hum., menyoroti aspek profesionalitas dalam penggunaan senpi oleh aparat. Ia menyebutkan bahwa negara seperti Inggris, Norwegia, dan Selandia Baru telah berhasil menerapkan kebijakan persenjataan terbatas tanpa mengurangi efektivitas penegakan hukum.
“Etika profesi harus menjadi dasar utama bagi anggota Polri dalam menggunakan senjata api. Ini menjadi tanggung jawab besar bagi Kapolri untuk memastikan penguatan nilai-nilai tersebut,” ungkap Prof. Sunarno.
Minimnya tes psikologi rutin bagi anggota yang memegang senpi juga menjadi sorotan. Prof. Sunarno menyarankan agar evaluasi psikologis dilakukan secara berkala, minimal tiga bulan sekali. Menurutnya, hal ini dapat meminimalisir penyalahgunaan senjata akibat kondisi mental yang tidak stabil.
Revisi Regulasi dan Pengawasan Internal Kasus ini juga membuka diskusi tentang kemungkinan revisi Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia. Salah satu usulan adalah perubahan status kelembagaan Polri, apakah tetap di bawah presiden atau beralih ke Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) atau kembali ke Panglima TNI.
“Setiap perubahan harus dilakukan secara hati-hati agar tidak memengaruhi stabilitas institusi. Yang penting adalah memastikan sistem dan infrastruktur mendukung fungsi utama Polri tanpa penyalahgunaan kewenangan,” tegas Prof. Sunarno.
Ia juga menekankan pentingnya pengawasan internal yang lebih aktif oleh Kompolnas, Irwasum, dan Irwasda untuk memantau pelaksanaan tugas anggota Polri. Langkah konkret diperlukan untuk mencegah kasus serupa terulang dan menjaga kepercayaan masyarakat terhadap institusi kepolisian.
Penggunaan Senpi dalam Kasus Khusus
Meski demikian, beberapa praktisi dan pengamat menyebut penggunaan senpi tetap relevan dalam situasi tertentu, seperti penanganan begal atau jaringan narkoba. Namun, mereka menekankan perlunya klasifikasi ketat agar hanya anggota yang memenuhi syarat diberi kewenangan membawa senjata.
Dengan meningkatnya kritik dan tuntutan perubahan, Polri dihadapkan pada tantangan besar untuk meningkatkan profesionalitas, memperbaiki sistem pengawasan, dan membangun kembali kepercayaan masyarakat. (gal)