TERNGIANG di benak saya, ada satu adagium Arab yang populer di Indonesia tentang anak muda. Bunyinya kira-kira begini, “Syubbanul yaum, rijalul ghad”. Artinya, orang muda hari ini adalah tokoh masa depan. Ungkapan ini seriama akan pentingnya peran dan kontribusi orang muda dalam memimpin masa depan. Dengan kata lain, perkembangan dan kualitas orang muda hari ini akan berdampak besar pada arah dan kemajuan masyarakat di masa yang akan datang.
Generasi Emas 2045 mendatang, orang muda mewakili generasi yang akan mewarisi tongkat estafet dari para pendahulu, melanjutkan perjalanan peradaban manusia, dan membawa perubahan yang akan membentuk dunia yang lebih baik. Di tengah dinamika global yang semakin kompleks dan perubahan teknologi yang pesat, peran pemuda menjadi semakin penting dalam mengarahkan arah.
Membahas Kota Kediri yang berkenaan dengan sosok muda memang beralasan. Tak bisa dipungkiri, setiap era peradaban manusia, peran orang muda telah menjadi kunci utama dalam membentuk dan mengarahkan arah masa depan. Orang muda memiliki energi, semangat, dan ide-ide segar yang memungkinkan mereka untuk menjadi katalisator perubahan yang signifikan dalam masyarakat.
Kenapa harus muncul Pemimpin Muda? Kota Kediri yang kita cintai ini masih banyak mempunyai aneka ragam permasalahan pelik hingga dibutuhkan figur muda menyikapi hal ini. Contoh terkecil, penataan Pedagang Kaki Lima (PKL) masih semrawut dan revitalisasi pasar tradisional yang belum memberikan dampak berarti sampai saat ini.
Satu hal menyentuh hati saya saat berkeliling di Kota Kediri yang juga menjadi tanah kelahiran saya.Setiap sudut kota, marak PKL mangkal dan seolah tanpa penataan yang pasti. Malahan, bisa diartikan juga, kemana berkeliling di Kota Kediri pasti ditemui rombong. Belum lagi, keberadaan pasar tradisional Setonobetek pasca revitalisasi juga ‘Mati Suri’. Pasar yang dulu menjadi jujugan dan kebaggaan masyarakat untuk berbelanja sekarang hanya menjadi bangunan kokoh tanpa pedagang di dalamnya.
Apabila mengacu data yang saya gali, revitalisasi pasar Setonobetek sejak 2018 silam, belum mampu menorehkan pelayanan maksimal terhadap para pembeli yang mengunjungi pasar terbesar di Kota Tahu ini. Hal ini terbukti, kondisi pasar sepi pedagang hingga terkesan kurang diminati masyarakat.
Padahal,Pemerintah Kota Kediri telah membangun kembali Pasar Setonobetek menjadi dua lantai dengan luas 40×80 meter persegi dan terbagi dalam empat blok. Meliputi, blok A yang dibangun dengan dua lantai. Lantai pertama terdiri 58 kios dan 140 los dengan komoditas konveksi, buah-buahan, aksesoris, aneka jajan pasar, dan berbagai barang lainnya.
Sedangkan di lantai dua disediakan 70 kios dan 124 los dengan komoditas gerabah, sepuh emas, dan lain-lain.Tapi, kondisinya saat ini tidak ditempati.Apabila perhitungan secara total sebelumnya, Pasar Setobetek mampu menampung 1.945 pedagang dan berada di blok A, B, C dan D.
Nah, itulah gambaran terkecil akan permasalahan Kota Kediri hingga permasalahan pelik lainya apabila kita soroti.Maka itu, diperlukan figur muda, berani dan tegas untuk mendongkrak dan memperbaiki masalah tersebut. Hal ini, seiring dengan sejarah masa lampau Indonesia, ditorehkan oleh banyak orang muda yang memiliki semangat dan tekad untuk memperjuangkan kemerdekaan dan masa depan yang lebih baik bagi bangsa. Orang muda ini mengisi Indonesia dengan cerita apik, heroik, dan luar biasa. Lihat Soekarno, Hatta, M Yamin, Sjahrir, Moh Hatta dan anak muda lain.
Semoga, munculnya figur muda diperhelatan Pilkada 2024, akan mampu mewujudkan Kota Kediri yang Gemah Ripah Loh Jinawi.
Pentingnya Sosok Ulama
Sebutan Kota Tahu adalah sapaan familier Kediri, salah satu kota yang terletak di provinsi Jawa timur. Sebutan ini semakin melekat dengan kota ini, seiring dengan semakin menjamurnya oleh-oleh khas Kediri yang berbahan dasar atau berhubungan dengan tahu seperti tahu kuning atau yang lebih dikenal dengan nama tahu takwa, keripik tahu, dan stik tahu yang semakin mudah dijumpai di setiap gerai Oleh-oleh di kota ini. Namun tak banyak yang tau tentang sebutan lain dari Kota Kediri, yaitu Kota Santri.
Sebutan kota santri tak hanya dimiliki oleh kota Jombang dan Pasuruan saja, namun kota Kediri juga layak disebut sebagai kota santri. Kota Kediri sebagai Kota Santri diperkuat, dengan berdirinya beberapa pondok pesantren besar dan terkenal di kota ini, seperti pondok pesantren Lirboyo, pondok pesantren Al Islah, pondok pesantren Al- Amin, dan pondok pesantren lainya.
Sebelum membahas lebih jauh tentang kota santri. Alangkah lebih baiknya jika kita tau pengertian dari santri sendiri. Santri adalah sebutan bagi seseorang yang mengikuti pendidikan agama Islam secara mendalam dan mengikuti pembelajaran yang telah diturunkan secara turun-temurun dan juga seseorang yang menetap di suatu lingkungan yang mendukung dia untuk mendalami ilmu agama.
Santri biasanya tinggal di pondok-pondok pesantren, mulai dari pondok pesantren Salafiyah sampai pondok pesantren modern yang Pembelajaran mengikuti zaman namun tidak meninggalkan tradisi nya. Lalu semakin berkembang nya zaman istilah santri tidak terkotak-kotak dengan seseorang yang mondok di pondok pesantren saja namun lebih luas lagi kepada seseorang yang tidak pernah mondok tapi berguru ataupun pernah mengaji kepada para ustaz, gus, dan kiai pondok pesantren yang memiliki sanad keilmuan yang jelas.
Kembali lagi ke Kota Kediri sebagai Kota Santri. Sebutan ini mulai ditanamkan di beberapa masyarakat ataupun santri di Kediri. Namun, hal tersebut secara gamblang disebut pada acara Mata Najwa on stage spesial kota Kediri yang memperkenalkan sebutan baru Kota Kediri sebagai Kota Santri.
Sebutan Kota Kediri sebagai Kota Santri sangat beralasan apbila melihat awal mula nya penyebaran Islam di kota ini yang sangat pesat. Agama Islam mulai menyebar di kota yang namanya diambil dari nama kerajaan Hindu yaitu kerajaan Kediri (kadiri). Semenjak kedatangan Sulaiman Al-Wasil Syamsuddin atau yang lebih dikenal dengan nama Syech Wasil. Beliau merupakan seorang penasihat raja Jayabaya.
Kedekatan dengan raja Jayabaya dimanfaatkan oleh syech Wasil dengan meminta persetujuan untuk menyebarkan agama Islam di daerah kekuasaan kerajaan Kediri. Hal itu disetujui oleh raja dan pelan-pelan syech Wasil menyebarkan agama Islam dengan cara yang santun dan suri tauladan dan hal itu membuat banyak masyarakat memuluk agama Islam, dan sejak saat itu Agama Islam mulai berkembang di Kediri hingga saat ini telah berdiri ratusan pondok pesantren di Kota Kediri.
Berkenaan dengan hal tersebut, banyaknya pondok pesantren dan keberadaan makam Syech Wasil, memang mempunyai andil besar hingga Kota Kediri mendapat julukan Kota Santri. Tapi, seiring waktu berjalan, sebutan ini seolah hambar tanpa diimbangi peran aktif keberadaan wisata religi dan hal lainya.
Maka itu, perlunya sentuhan dari sosok Ulama yang memahami hal tersebut. (bersambung)
Penulis :Budi Arya, Kepala Perwakilan Kediri Raya dan UKW Utama Angkatan 45.