“Faktanya, sebagian besar para peserta didik kurang optimal memanfaatkan teknologi digital dalam pembelajaran kolaboratif. Kurang mampu mengembangkan keterampilan berpikir kritis, dan tidak mampu memecahkan masalah.”

Oleh Prof Dr Abdul Muhid, MSi*

TEKNOLOGI digital telah mengubah banyak aspek kehidupan manusia, tidak terkecuali dalam dunia pendidikan. Di Indonesia khususnya, pembelajaran berbantuan teknologi digital meningkat pesat dalam beberapa tahun terakhir, dan mendapatkan momentumnya pada saat Pandemi Covid-19. Sekarang, meski pandemi sudah berlalu, pembelajaran sudah mulai berlangsung secara luring, penggunaan teknologi digital masih tetap berguna untuk menunjang pembelajaran.

Dengan teknologi digital, memungkinkan pembelajaran hemat waktu, biaya karena bahan dan sumber belajar mudah kita akses, kapan saja dan di mana saja. Tetapi, tidak jarang pendidik kesulitan dalam menerapkan strategi yang tepat dalam pembelajaran berbantuan teknologi digital.

Akibatnya peserta didik tidak maksimal dalam memanfaatkan teknologi digital untuk menunjang pembelajaran. Faktanya, sebagian besar para peserta didik kurang optimal memanfaatkan teknologi digital dalam pembelajaran kolaboratif, kurang mampu mengembangkan keterampilan berpikir kritis, dan tidak mampu memecahkan masalah. Kemudian muncul pertanyaan, bagaimana menjadikan pembelajaran berbasis teknologi digital efektif?

Sejatinya, teknologi digital merupakan tools dan sarana penunjang pembelajaran. Pembelajaran berbasis teknologi digital harus tetap terbingkai dalam kerangka teori belajar yang tepat dan efektif. Menurut teori psikologi belajar, ada dua madzhab yang sangat dominan yaitu madzhab konstruktivisme dan konstruktivisme sosial. Pendidik, tentu, sudah mafhum bagaimana menerapkan teori belajar konstruktivisme dan konstruktivisme sosial tersebut. Kedua paradigma tersebut memang seakan terlihat berseberangan tetapi sebenarnya melengkapi satu sama lain.

Menurut pandangan konstruktivisme, individu sebenarnya merupakan pembelajar yang mandiri. Mereka dapat mengarahkan diri sendiri, mengambil pelajaran dari apa yang telah mereka dapatkan di kelas dan merefleksikannya serta mengeksplorasi pertanyaan dan ide secara pribadi dalam tugas belajar mereka. Paradigma konstruktivis memosisikan pembelajar sebagai individu yang dapat secara aktif membangun pengetahuan mereka sendiri. Sementara paradigma konstruktivisme sosial memosisikan pembelajar sebagai individu yang tidak bisa kita lepaskan dari peran orang lain (lingkungan sosialnya). Orang lain di sini dapat berarti guru, instruktur, teman sebaya, orang tua, dan lingkungan sosial lainnya.

Jika boleh kita bandingkan, pandangan konstruktivisme sosial ini tampak lebih relevan pada konteks pembelajaran di era revolusi digital. Di era digital sekarang ini tidak bisa tidak, pembelajaran harus menggunakan perangkat teknologi digital untuk memaksimalkan hasil pembelajaran. Lingkungan belajar tidak hanya fisik (nyata), tetapi juga sangat memungkinkan ketersedian lingkungan belajar online. Peserta didik dapat mengalami (experience) pembelajaran yang terjadi dalam konteks nyata sekaligus juga secara virtual atau online. Dengan teknologi digital, pengalaman pembelajaran otentik dapat dicapai secara langsung melalui online learning environment. Lingkungan belajar maya ini memungkinkan peserta didik belajar secara kolaboratif tanpa dibatasi belajar dengan siapa pun dan tanpa batas ruang dan waktu.

Vygotsky (1978) menegaskan, bahwa, kegiatan pembelajaran kolaboratif merupakan sarana untuk membentuk pengetahuan. Kehadiran teman sebaya dan lingkungan sosial penting dalam meningkatkan pengalaman dan keterampilan belajar karena mereka dapat mendukung atau menantang gagasan mereka satu sama lain untuk membangun makna dan menetapkan tujuan pembelajaran bersama. Vygotsky (1978) menyebut istilah scaffolding dalam pembelajaran yang berarti pemberian bantuan selama tahap awal pembelajaran dan kemudian mengurangi bantuan tersebut dan memberikan kesempatan kepada individu tersebut mengambil alih tanggung jawab yang semakin besar segera setelah ia mampu mengerjakan sendiri.

Fasilitator bukan Penceramah

Dalam konteks pembelajaran berbasis teknologi digital, scaffolding dapat diterapkan jika tercipta komunitas belajar maya (online learning community) yang kondusif dan suportif. Salah satu caranya adalah dengan memecah kelompok pembelajar menjadi kelompok-kelompok kecil agar menciptakan pembelajaran lebih interaktif. Pembelajar kelompok kecil juga harus tersedia fitur seperti diskusi online untuk mendorong distribusi pengetahuan antar pembelajar. Sebelum memulai diskusi, pendidik juga perlu menyadari peran apa yang dapat mereka mainkan.

Pendidik berperan mendorong pembelajaran yang konstruktif dan harus lebih berperan sebagai fasilitator ketimbang penceramah. Peserta didik juga harus terdorong untuk mampu mengendalikan pembelajaran mereka sendiri dengan memimpin diskusi dan menanggapi antar teman sebayanya. Pendidik perlu memberi kesempatan kepada peserta didik untuk membangun dan mengembangkan pengetahuan mereka secara sosial sebagai sebuah kelompok.

Menurut perspektif konstruktivisme sosial, terdapat beberapa hal yang perlu kita siapkan agar pembelajaran berbasis teknologi digital berjalan lebih optimal. Pertama, pendidik harus terlibat aktif secara maksimal dalam forum-forum belajar berbasis online. Tanpa keterlibatan pendidik yang maksimal, para peserta didik mungkin akan pasif dan malah akan kehilangan kesempatan belajar (loss learning).

Kedua, pendidik juga perlu menyiapkan pedoman memposting dan membalas dan memberi upan balik (feedback) segala pendapat, ide, dan gagasan dari para peserta didik selama diskusi. Pedoman untuk memposting pesan, pikiran, ide dan gagasan yang mendorong dialog terbuka dan saling menerima juga akan membuat peserta didik merasa lebih terbuka dan belajar berkomunikasi dengan teman sebayanya dan berkontribusi pada komunitas belajar. Hal ini akan mendorong transfer pengetahuan yang lebih optimal di antara para peserta didik.

Selain itu, pendidik perlu mengidentifikasi konsep kunci dan mendorong diskusi mengenai konsep kunci tersebut dengan menggunakan pertanyaan-pertanyaan yang tepat. Selain itu pendidik sebaiknya juga menyiapkan materi pendukung yang mendorong peserta didik untuk mengeksplorasi ide dan gagasan secara aktif.

Pendidik yang menggunakan teknologi digital dalam pembelajaran dapat melakukan scaffold learning dengan turut berpartisipasi dalam diskusi dan forum-forum belajar online. Postingan berisi pesan umpan balik (feedback) yang tepat waktu dan teratur menjadi sarana interaksi belajar yang efektif. Ini juga perlu bagi peserta didik.

Jika diskusi tampak kurang aktif, pendidik juga sebaiknya mendorong peserta didik untuk mengajukan pertanyaan. Progres peserta didik juga harus dipantau dengan menggunakan analitik pembelajaran untuk menilai kualitas dan kuantitas interaksi akademik. Jika perlu, pendidik dapat menerapkan peer-tutoring dengan meminta peserta didik yang lebih mahir untuk bekerja dengan peserta didik yang kesulitan dalam materi pelajaran. Tantangan ini biasanya mendapat respon yang positif dari peserta didik yang lebih mahir.

Cara-cara pembelajaran tersebut, pendidik dapat menerapkan untuk memaksimalkan penggunaan teknologi digital dalam pembelajaran yang lebih efektif. Bagaimanapun, kebutuhan pembelajaran berbasis teknologi digital tidak hanya sekedar digitalisasi materi pembelajaran. Lebih dari itu, pembelajaran berbasis teknologi digital ini membutuhkan penerapan metode belajar yang kolaboratif. Sebagaimana kata Vygotsky bahwa “pengetahuan dibangun oleh peserta didik melalui interaksi sosial dan berbasis dialog mereka dengan dunia”. Di era sekarang, interaksi belajar dan dialog akademik dapat dilakukan di lingkungan belajar nyata maupun lingkungan belajar maya (online learning environment). (*)

*Prof Dr Abdul Muhid, MSi adalah Guru Besar Psikologi Pendidikan UIN Sunan Ampel Surabaya

 

Express Your Reaction
Like
Love
Haha
Wow
Sad
Angry