Untuk Memberikan Pertolongan Pertama pada Korban Tak Sadar 

Sulistyorini, SKep.Ns, MTr. Kep – Dosen Fakultas Keperawatan dan Kebidanan (FKK)

MENURUT American Heart Association (AHA) setiap dua menit terdapat dua orang meninggal karena kasus Henti Jantung Mendadak (HJM). Hal ini menjadikan HJM menjadi penyebab kematian terbesar di dunia.

Sementara itu, pada 2006, Departemen Kesehatan mencatat sekitar tiga puluh orang per hari terkena HJM dengan mayoritas akibat Penyakit Jantung Koroner (PJK). Pada 2016, PERKI (Perhimpunan Dokter Spesialis Kardiovaskular Indonesia) menyebut kejadian HJM terjadi sekitar 300.000-350.000 per tahunnya.

Namun, terdapat peningkatan peluang hidup apabila dilakukan pertolongan pertama dengan CPR (Cardiopulmonary Resuscitation) atau teknik resusitasi jantung paru oleh orang di sekitarnya (bystander).

Data Kementerian Kesehatan menunjukkan bahwa HJM akan sering terjadi seiring dengan meningkatnya PJK dan stroke yang diprediksi menyentuh angka 23,3 juta kematian pada 2030.

Henti Jantung Mendadak (HJM) adalah keadaan ketika jantung berhenti berdenyut dan memompa. Akibatnya, tidak akan terjadi aliran darah menuju otak dan organ-organ vital. Pada umumnya, penderita HJM dapat mengalami kematian jika tidak ditangani dalam hitungan menit. Hal ini biasa disebut “Golden Time”.

Dokter spesialis jantung Jetty R.H. Sedyawan mengungkapkan bahwa dalam pertolongan pertama harus ditangani dalam tiga menit pertama setelah terjadinya henti jantung mendadak. Artinya jika pertolongan pertama dilakukan dalam rentang waktu tersebut, korban mungkin akan bertahan hidup dan tak mengalami kerusakan otak.

Hanya saja ketika golden time ini lewat, maka risiko kerusakan otak akan semakin tinggi. Henti jantung mendadak tidak sama dengan serangan jantung. Serangan jantung terjadi ketika adanya sumbatan aliran darah menuju jantung. Biasanya sumbatan ini diakibatkan oleh timbunan lemak atau zat lainnya. Sementara HJM, diakibatkan tidak adanya impuls atau rangsangan dari otak.

Selama serangan jantung, jantung biasanya tidak berhenti berdenyut secara mendadak. Akan tetapi, HJM dapat terjadi setelah atau selama proses penyembuhan serangan jantung. Penderita penyakit jantung memiliki risiko lebih tinggi terkena HJM. Namun, HJM mungkin saja terjadi pada orang normal dan tidak memiliki risiko terkena kasus ini. (NHLBI, 2018). Salah satu penyebab paling banyak kasus HJM adalah fibrilasi ventrikel (v-fib). V-fib merupakan salah satu tipe aritmia, yaitu ketidakaturan irama jantung.

Selama v-fib, ventrikel atau bilik tidak berdenyut secara normal, namun berdenyut lebih cepat dan tidak berirama. Ketika ini terjadi, jantung memompa sedikit darah atau bahkan tidak ada ke seluruh tubuh. Hal ini dapat berakibat fatal jika tidak ditangani dalam hitungan menit. Penyakit jantung iskemik, PJK, kelainan genetik, bahkan stress fisik dapat mengakibatkan HJM. (NHLBI, 2018) Tanda awal dari HJM adalah kehilangan kesadaran atau pingsan.

Info Lebih Lengkap Buka Website Resmi Unusa

Beberapa orang merasakan jantung berdegup cepat atau merasa pusing sebelum pingsan. Bahkan dalam beberapa jam sebelum HJM, beberapa orang mengalami nyeri dada, napas yang pendek, mual, hingga muntah.

Kasus henti jantung mendadak dapat terjadi dimana saja dan kapan saja. Kasus HJM ini paling banyak terjadi di luar rumah sakit (Out of Hospital Cardiac Arrest). Sayangnya, tidak semua orang terlatih untuk memberikan pertolongan pertama. Padahal, penanganan kasus HJM dikenal dengan golden time, seperti yang telah disebutkan diatas.

Pertolongan pertama ini lebih dikenal dengan Basic Life Support (BLS). Pada nyatanya, BLS ini dapat mengembalikan fungsi jantung untuk kembali berdenyut dan memompa darah ke seluruh tubuh.

(Ditjen Yankes, 2018) Basic Life Support dimaksudkan untuk dilakukan oleh semua orang, baik yang memiliki dasar pengetahuan kesehatan, maupun yang tidak, sehingga panduan BLS tidak memerlukan tindakan penggunaan obat atau kemampuan atau skill khusus tertentu.

Prinsip utama BLS adalah mengalirkan sirkulasi darah, dan pemberian nafas melalui jalan nafas yang bersih, sehingga proses kerusakan organ-organ tubuh dapat dihambat. (Ditjen Yankes, 2018) Dalam beberapa pekerjaan, BLS menjadi prasyarat yang harus dipenuhi, misalnya pada penjaga pantai, polisi, pemadam kebakaran, bahkan sopir ambulan.

Di lapangan, BLS ini dilakukan sembari menunggu tim medis untuk memberikan bantuan lanjut. Pada beberapa negara, dapat dijumpai alat defibrilasi jantung atau Automated External Defibrillator (AED).

Namun sayangnya, di Indonesia belum dapat dijumpai di tempat-tempat umum. Pemerintah seharusnya memberikan perhatian pada ini karena penggunaan AED meningkatan peluang hidup pasien HJM. Pada tahun 2010, American Heart Association (AHA) menerbitkan kembali panduan basic life support. */bersambung