Oleh Syarif Thayib (Dosen UINSA, PPIH Kloter 95 Surabaya, Co-Founder SEFT)

JUDUL di atas, penulis ambil dari comment seorang sahabat di media sosial (Medsos). Ia melihat foto penulis yang sedang dalam “tahanan” Museum Alamoudi, daerah El Shimeisi Makkah. Perjalanan Bus 15 menit sebelum Hudaibiyah, atau 90 menit dari Masjidilharam.

Foto itu merupakan kiriman dari jemaah haji Kloter 95 Surabaya yang penulis pimpin. Hari itu, penulis mendampingi mereka dalam program Umroh Sunnah dengan miqat Hudaibiyah. Sebelum start Umroh, kami, rombongan 6 Bus singgah di Museum yang dibangun oleh Abu Bakar Almaoudi, 20 tahun silam.

Sebenarnya, ada banyak foto perjalanan Haji yang pernah penulis posting di Medsos. Tetapi foto inilah yang mendapat comment paling banyak. Salah satu bunyi comment-nya adalah: “Penjara Cinta Petugas Haji Indonesia”.

Penulis langsung tertegun setelah membaca comment itu. Seketika pikiran melayang pada perjalanan hidup Nabi Yusuf As yang pernah dipenjara untuk mempertahankan prinsip kebenaran. Artinya, penjara tidak melulu tempat yang buruk.

Nabi Yusuf As yang dikenal sebagai Nabi terganteng setelah Nabi Muhammad SAW ini difitnah oleh istri raja bernama Siti Zulaikha. Cintalah yang kemudian menyatukan keduanya menjadi Pasutri abadi. Namanya pun selalu disebut dalam setiap do’a akad nikah. Allahumma allif baina.. kama allafta baina Yusuf wa Zulaikha..

Sebagai petugas haji, penulis merasakan sekali “keras”nya ujian “Cinta” yang mendera semua petugas haji. Terutama dari Wuquf di padang Arofah, hingga kembali ke Hotel Makkah seperti saat ini.

Pada puncak ibadah haji (wuquf) itu, ingin rasanya penulis abadikan diri sebagai saksi cinta dengan berkerumun di sekitar Jabal Rahma (bukit cinta). Tempat dimana bapak Adam dan ibu Hawa dipertemukan oleh Allah SWT setelah ratusan tahun berpisah dari Surga.

Namun, karena sedang tugas mendampingi Jemaah haji, keinginan itu kami tanggalkan. Kami harus fokus dengan tugas utama: membina, melayani, dan melindungi Jemaah haji yang saat itu sedang berada di tenda-tenda Arofah.

Setelah tiba kembali ke hotel Makkah, usai menuntaskan ibadah haji hingga tahallul akhir. Pikiran penulis kembali melayang, inilah saatnya senggang, meluangkan waktu, mengekspresikan cinta kepada Sang Maha Cinta; Arrahman, Arrahim, yang mengabulkan semua doa manusia.

Sayangnya, keinginan itu belum bisa terwujud. Tugas pelayanan Jemaah masih datang silih berganti. Meski jumlahnya tidak signifikan, faktanya, masih ada Jemaah meninggal di kamar hotel. Ada Jemaah mendadak minta pulang lebih awal (tanazul). Ada Jemaah harus diantar ke rumah sakit dengan rujukan. Ada Jemaah yang prustasi minta mati di tanah suci Makkah, dan lain-lain, dan seterusnya.

Nyaris tiada henti menerima laporan dari dokter dan perawat Kloter, bahwa ada saja Jemaah yang butuh penanganan medis, juga psikologis. Mereka tidak hanya mengalami shock culture, kaget tradisi, kaget iklim, dan seterusnya.

Hingga di malam Jum’at nan sakral kemarin (27 Juni 2024), penulis hampir saja melarikan diri, pergi ke Masjidilharam. Di sana, penulis berencana meluapkan cinta kepada Sang Maha Cinta. Penulis akan tumpahkan semua kerinduan mendalam di depan Ka’bah. Merayap masuk ke dalam pelukanNya di Hijir Ismail. Bahkan penulis sudah siapkan doa-doa pamungkas di “tembok ratapan” Al Multazam.

Penulis sudah membuktikan kadahsyatan doa disana. Nyaris, tidak ada satupun doa yang terlewatkan dari kenyataan. Semuanya terkabulkan. Maka penulis yakini, bahwa malam Jumat adalah penuh berkah. Saatnya bermunajat di Masjidilharam.

Begitu kaki sudah melangkah hingga ke loby Hotel, menunggu kedatangan mobil Sholawat tujuan Masjidilharam. Tiba-tiba penulis teringat dengan kisah ratapan cinta yang dialami Nabi Musa bin Amran:

“Wahai Allah, di mana aku mencari-Mu?” Allah menjawab: “Carilah Aku di sisi orang-orang yang hancur hatinya. Sesungguhnya Aku dekat dengan mereka setiap hari (sejarak) satu ’ (sekitar dua lengan). Jikalau tidak demikian, mereka pasti roboh (binasa).”

Saking pentingnya pemberian bantuan kepada mereka, maka Allah SWT dalam hadits Qudsi (HR. Imam Muslim) menggunakan atas Nama-Nya.

Dari Abu Hurairah: Sesungguhnya Rasulullah SAW bersabda: “Allah ‘Azza wa Jalla berfirman: “Hai anak Adam, Aku telah sakit, tapi kau tidak menjenguk-Ku. Orang itu bertanya: Wahai Tuhan, bagaimana caraku menjenguk-Mu, sedangkan Kau Tuhan yang Maha Kuasa? Allah menjawab: Apakah kau tidak mengetahui bahwa seorang hamba-Ku bernama Fulan sakit tapi kau tidak mau menjenguknya. Sekiranya kau menjenguknya, pasti kau dapati Aku di sisinya.

Seketika penulis tak kuasa mengingat-ingat lagi lanjutan hadits Qudsi itu. Cukup..!! gumam penulis dalam hati. Mulai sekarang, kembalilah fokus menemani sebagian Jemaah haji yang sedang hancur hatinya karena sakit dan lain-lain. Lupakan dulu keinginan ke Masjidilharam.

Apalagi diantara Jemaah haji ada yang sudah tidak betah lagi tinggal di Makkah. Berulang kali mereka bertanya kepada penulis; kapan waktunya pulang ke Indonesia?

Akhirnya, di malam sakral itu, setidaknya ada dua Jemaah yang penulis kunjungi kamarnya. Menurut dokter Kloter, mereka sedang mengalami Psikosomatis, sakitnya sulit sembuh kalau hanya dengan obat.

Pertama, seorang bapak muda yang berperawakan bersih dan gagah. Sekilas tidak ada tanda-tanda sakit. Tetapi begitu ia bicara, nampak sekali kalau sedang menderita sesak nafas parah. Dengan terengah-engah ia sampaikan curahan hatinya kepada penulis.

Intinya, ia merasa hatinya hancur, karena hidupnya selalu dalam pengendalian istri. Urusan minuman saja, suami harus nurut. Padahal saran yang disampaikannya belum tentu cocok. Walhasil, vonis radang paru-paru yang menderanya saat ini ia tumpahkan penyebabnya adalah karena aturan makan-minum yang dibuat pasangannya itu.

Kedua, seorang nenek dengan tiga cucu terus memaksa diri ingin pulang ke desa. Tatapannya kosong. Setiap tidur selalu mengigau, ngomongnya ngalor ngidul lepas kontrol. Setelah penulis ajak bicara mendalam dan perlahan, ternyata ketahuan, bahwa Opname 7 hari yang barusan dijalaninya itu bermula dari hatinya yang “kacau”.

Bagaimana tidak, ia gagal berangkat haji bersama suaminya yang meninggal setahun lalu. Kedua putra-putrinya pun menolak menggantikan posisi bapaknya sebagai pendamping ibadah hajinya.

Putranya beralasan karena sudah terlanjur daftar haji bersama istrinya. Sedangkan si bungsu menyatakan belum siap kalau berangkat sekarang.

Penulis langsung terenyuh dan merasa sangat bersalah. Jika dikaitkan dengan hadits di atas, maka sesungguhnya penulis tidak perlu jauh-jauh menemui Allah SWT di Masjidilharam. Bukankah keberadaanNya sekarang sedang membersamai jemaah haji yang sakit itu?

Mendengar curhatannya, sambil mempraktekkan terapi SEFT (spiritual emotional freedom technique) yang sering penulis latih, akhirnya, dengan ridlaNya, penulis berhasil menjadi wasilah (perantara) kedua Jemaah haji itu tertidur nyenyak untuk pertama kalinya sejak dari pulang wuquf. Alhamdulillah ‘ala kulli haal..(*)

Express Your Reaction
Like
Love
Haha
Wow
Sad
Angry