Dr Suparto Wijoyo

Oleh: Suparto Wijoyo*

SAMPAI saat ini saya mendapatkan tanya para kolega dari sudut-sudut negeri nun jauh di sana. Berita menyesak dengan segala hentak. Para penjelajah kekuasaan menyeliwerkan kata dengan respon yang sudah pasti beragam karena berada di luar batas nalar yang membelajarkan. Ungkapan sontoloyo yang pernah viral di zaman lampau, 1940 berbarengan dengan tulisan Islam Sontoloyo Bung Karno, kini menyelinap tanpa dapat dibendung ke mana arah berlabuhnya. Sontoloyo menjadi asupan pendidikan yang diserap khalayak dengan anak-anak yang bertanya, apa maknanya? Orang tua dibuat bingung untuk menerangkan sambil mengerenyitkan kening yang sudah lama pening merasakan kenaikan harga sembako, TDL dan BBM. Pajak dan iuran kampung pun harus dikerek demi kebersamaan yang menjunjung tinggi nilai-nilai kebangsaan. Namun tokoh nasional dengan riangnya menaburkan benih-benih kesontoloyoan.

Belum terlupakan deret pengebirian sosial dengan ujaran sontoloyo, muncul kemudian kata genderuwo, sebuah “bunyi ekspresif” yang mencerminkan daya batin bagi pengucapnya atau imaji yang menghantui dirinya. Begitulah anak-anak diemong dengan nalar-nalar yang memendungi ruang publiknya: genderuwo dan sontoloyo sontak dipanen mereka dengan implikasi terjauh tentang budi pekerti bertata bahasa yang “genap tidak, ganjilpun bukan”. Ajaran Bahasa Indonesia yang kaya kata dan kalimat tereduksi tanpa sengaja dengan hadirnya “kejengkelan” melalui literasi politik sontoloyo dan genderuwo. Kesopanan bertutur kata menjadi ukuran sampai dimana kemampuan pelontarnya dalam menata kesemestaan kehidupan rakyatnya.

Di tengah gemuruh sontoloyo dan genderuwo yang sebelumnya “diantara jeda sontoloyo dan genderuwo” muncul pula masalah tampang, ya tampang Boyolali yang sejatinya berkelindan dengan realitas ketidakadilan, tetapi dipetik dengan “serangan balik’. Kata tampang itu selanjutnya dibalas dengan nalar bermasalah sehingga atas nama budaya tanpa kebudayaan  dengan lanturan kata asu. Anjing di bawah dalam panduan masa kampanye atau era pergerakan massa yang semakin terang demonya dikoordinir dengan pengabaran adanya pembayaran. Biarlah itu diriuhkan sendiri oleh mereka yang saling “berkencan” dengan kata yang tampak semakin disesaki laku tidak sopan.

Ramainya gelembung kata sontoloyo tampang genderuwo pada perhelatannya tetap tertepikan dengan Semangat Pahlawan di Dadaku yang kentara tengah  mengembalikan kesadaran peradaban luhur bangsa. Memperingati Hari Pahlawan 10 November 2018 menjadi kewajiban mulia anak negeri yang hendak menggumpalkan terus menerus makna kepahlawanan di saat pertempuran 10 November 1945. Kejadiannya sangat heroik dan pastilah ini menyangkut kukuhnya solidaritas nasional yang mengibarkan tinggi-tinggi cita-cita merdeka 17 Agustus 1945. Pekik takbir Allahuakbar dan merdeka adalah manunggal karena kemerdekaan yang diraih ini adalah berkat rahmat Allah SWT. Resolusi Jihat 22 Oktober 1945 merupakan landasan spiritual dari para ulama NU yang secara terang memerintahkan mempertahanakan negara sebagai bagian dari iman.

Keimanan Islam itu membangsa demi kenegaraan yang dibangun melalui tetesan darah kaum syuhada’. Perang sabilillah sejatinya tergelar dalam gelora gerak perjuangan berjihad melawan tantara sekutu yang “menggendong” anak nakal kolonialisme Belanda. Perenungan tentang jalannya peristiwa yang direkam balik oleh para seniman dalam pementasan kolosal drama Surabaya Membara pada kenyataannya selalu dinanti, dirindu dan ditunggu oleh masyarakat ramai Indonesia, terutama yang tinggal di Kota Pahlawan. Gairah kepahlawanan yang dikolosalkan dengan pertempuran membala NKRI senantiasa menarik minat penonton dan ini merupakan keberhasilan agenda tahunan yang sudah berjalan selama 11 tahun ini. Surabaya Membara mampu memenuhi kekosongan yang hendak diisi dengan gelora semangat menjadi pahlawan di abad ke-21. Ini adalah kehebatan yang tidak elok kalau tidak diapresiasi peran para seniman. Mereka semua larut dalam  gerakan yang mengalir untuk kemudian menumpuk dalam gelombang massa penonton.

Penonton yang datang terus melingkar dan menghadapkan dirinya hendak menjadi yang terdepan dalam panggung jalanan Surabaya Membara. Rel kereta api dan bentuk lengkung viaduk dikhayalkan seolah suasan memang sedang di hamparan zaman 10 November 1945. Situasinya pasti heroik dan memberikan daya juang untuk negara sehingga penonton rela merangkak, mengendap, dan memanjat tebing serta lereng-lereng terjal areal viaduk Tugu Pahlawan. Kereta yang datang pada Jumat malam 9 November 2018 pukul 19.45 itu seperti dinostalgiakan sebagai serangan umum yang mengawali pertempuran dahsyat perang dunia II dari Kota Surabaya. Jerit tangis dan lengking permintaan tolong menggemakan riuh pertempuran di kota ini, kota yang 1945 digempur dari darat, laut dan udara. Penonton itu berkorban karena ketidakpahaman atau ketidaktahun tentang bahaya dan Surabaya Membara pada titik ini dianggap menjadi biang.

Atas jatuhnya korban ada institusi yang tega berbilang tidak tahu atas Surabaya Membara dan izin tidaklah dikeluarkan atasnya. Proses hukum digulirkan dan pemanggilan para seniman memasuki gerbang yuridis yang tentu saja memberikan pembelajaran yang “membebankan”. Ini tiadalah lantas menepikan arti Surabaya Membara, melainkan menjadi sokongan ke depan bahwa menggelorakan semangat kepahlawanan itu agar selalu di dada setiap warga negara. Tampilan Surabaya Membara di tahun mendatang harus dikawal penuh cinta bersama. Karena inilah darma  yang diberikan para seniman.

Sorot mata hukum yang terlalu tajam menatapnya dan lirik birokrasi yang hendak berpaling diri agar tidak terlumuri  tragedi, seolah memojokkan pengkreasi Surabaya Membara. Pada segmen inilah, kepadamu kaum seniman, aku hanya mampu berkata seperti yang dinyanyikan Jalaluddin Muhammad bin Muhammad bin Husayn al-Khatibi al-Bakri alias Rumi (1207-1273): I know you’re tired but come, this is the way. Ya aku tahu kau sangat lelah, tetapi kemarilah, karena inilah jalannya.

* Koordinator Magister Sains Hukum dan Pembangunan. Sekolah Pascasarjana, Universitas Airlangga

Express Your Reaction
Like
Love
Haha
Wow
Sad
Angry