JAKARTA | duta.co – Pengelolaan zakat seperti pajak diyakini bisa mempercepat upaya pengentasan kemiskinan di negeri ini. Sebab, dengan mewajibkan umat Islam menunaikan rukun Islam ketiga itu, akan mendorong peningkatan realisasi potensi penghimpunan zakat nasional yang mencapai Rp 217 triliun.

Hal itu mengemuka dalam Diskusi Bedah Zakat dan Peluncuran Majalah BAZNAS di Kantor BAZNAS, Menara Taspen, Jakarta, Rabu (22/11/2017). Dalam acara yang dimoderatori Sekretaris BAZNAS Drs. H. Jaja Jaelani, MM dan artis kondang Dr. Hj. Marissa Haque, SH itu, hadir sebagai narasumber Deputi BAZNAS M. Arifin Purwakananta, Dekan Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Dr. Asep Saepudin Jahar, MA, anggota Badan Pengurus (BP) Lazis Muhammadiyah (Lazismu) Rizaludin Kurniawan, M.Si, dan dosen ekonomi Islam Institut STIAMI Jakarta Hasbi Ash Shiddieqy, SE, M.Si.

“Dengan pengelolaan zakat seperti pajak maka jumlah pengumpulan zakat akan meningkat drastis. Dengan demikian, pemerintah tidak perlu lagi mengalokasikan dana APBN untuk program pengentasan kemiskinan. Jadi, cukup diambilkan dari dana zakat, infak dan sedekah,” ujar Arifin.

Selain menginginkan pengelolaan zakat seperti pajak, BAZNAS juga mengusulkan revisi Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 3 Tahun 2014 tentang Optimalisasi Pengumpulan Zakat menjadi peraturan presiden (perpres) tentang pemotongan gaji aparatur sipil negara (ASN) dan pegawai BUMN/BUMD serta perusahaan (swasta) untuk membayar zakat.

Hal sama disampaikan Dr. Asep Saepudin Jahar, MA. “Pengelolan zakat dan pajak dapat dilakukan secara integratif dan dikelola negara dengan didukung manajemen dan kebijakannya dilakukan secara modern berdasarkan prinsip good governance,” ucapnya.

Dia memaparkan, bila regulasi zakat seperti pajak, lembaga terkait seperti BAZNAS dan Lembaga Amil Zakat (LAZ) bisa lebih fokus dalam mengentaskan kemiskinan dan mencapai tujuan keadilan sosial. “Sehingga ketimpangan di masyarakat bisa dikurangi,” katanya.

Menurut Asep, karena zakat bersifat sosial dan menyangkut akumulasi harta yang terkait masalah keadilan ekonomi, maka diperlakukan berbeda dengan shalat yang bersifat personal, yang tidak mungkin dilakukan pemaksaan oleh negara.

“Zakat, karena terkait dengan hak orang lain dan sirkulasi harta, maka negara punya kewenangan untuk memaksa. Karena zakat juga merupakan kewajiban, bukan ibadah sukarela. Pembayaran zakat sebagai kewajiban, memberikan hak kepada negara untuk memberikan sanksi sosial dan ekonomi,” ucapnya.

Dia memaparkan, dana zakat bukan bersifat kedermawanan biasa. Karena itu jika dikaitkan dengan pajak, maka bisa diterapkan seperti di Malaysia, di mana pembayarannya menjadi pengurang pajak, bukan pengurang penghasilan yang kena pajak.

“Instrumen negara dapat menjangkau segala lapisan struktural masyarakat, maka keterlibatan negara akan mendorong terjadinya kesejahteraan dan keadilan sosial. Secara filosofis, konsep negara kita adalah untuk keadilan sosial. Maka, negara punya hak untuk mengontrol dan mengelola zakat dari masyarakat untuk tujuan-tujuan sosial itu,” katanya.

Dia mencontohkan, di Brunei Darussalam, Malaysia, Kuwait, Sudan, Singapura, Arab Saudi dan Yordania, otoritas diberikan kepada negara untuk menjadi pengontrol dan pengelola utama perzakatan. Maka, jika ada lembaga lain seperti LAZ, fungsinya lebih sebagai patner atau mitra yang mengembangkan usaha-usaha (pemberdayaan tertentu) dari hasil zakat tersebut.

“Zakat mengandung makna ibadah sosial, yaitu dipahami sebagai keseimbangan antara yang kaya dan miskin, penghapusan monopoli orang-orang kaya, perlindungan si miskin, pemerataan harta, hubungan mutualisma dan kesetaraan kaya-miskin,” ujarnya.

Dalam sistem keuangan modern, lanjut dia, zakat dianggap sebagai sistem keuangan yang dapat menyangga kebutuhan publik atau pemasukan keuangan negara, di samping pajak. “Zakat harus menjadi instumen keuangan untuk menciptakan keadilan sosial bagi masyarakat seperti tertuang dalam sila kelima Pancasila,” ucapnya. (hud)

Express Your Reaction
Like
Love
Haha
Wow
Sad
Angry