SURABAYA – Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama (PWNU) Jawa Timur memprediksi penetapan awal puasa tahun 2017 kemungkinan akan bareng antara Nahdlatul Ulama dengan Muhammadiyah. Pasalnya, kalau melihat posisi hilal pada tanggal 29 Sya’ban mendatang, posisinya sudah di atas 3 derajat.

“Kalau hilal sudah di atas 3 derajat, artinya hampir pasti hilal bisa dilihat,” ujar Ketua Tim Rukyatul Hilal PWNU Jatim, Sholeh Hayat saat dikonfirmasi Selasa (25/4) kemarin.

Menurut Sholeh, untuk memastikan hilal, PWNU akan menggelar rukyatul hilal pada tanggal 29 Sya’ban atau pada hari Jumat 26 Mei 2017. Rukyatul hilal sendiri digelar di 11 titik yang tersebar di beberapa daerah di Jatim.

Jika hilal bisa dilihat pada tanggal 26 Mei, artinya keesokan harinya yaitu pada hari Sabtu 27 Mei 2017 sudah masuk Bulan Ramadan. “Jadi kemungkinan antara NU dan Muhammadiyah akan sama memulai puasanya,” terang mantan anggota DPRD Jatim ini.

Ia mengatakan berdasarkan hitungan hisab yang dilakukan NU, tidak jauh berbeda dengan hisab Muhammadiyah dimana posisi ijtimak akhir Sya’ban akan terjadi pada tanggal 26 Mei pukul 02.46 dini hari. “Jadi di hari itu sudah imkanur rukyat di atas 3 derajat,” beber Sholeh.

Terpisah, Wakil Ketua Pimpinan Wilayah Muhammadiyah (PWMU) Jatim, Nadjib Hamid MSi mengatakan bahwa kalangan yang berpegang pada hisab maupun imkanur rukyah memperkirakan awal puasa Ramadan akan jatuh pada tanggal 27 Mei 2017. Sedangkan Idul Fitri akan jatuh pada 25 Juni 2017.

“Dengan demikian, warga Muhammadiyah, dan umat Islam se-Indonesia akan memulai salat tarawih sejak Jumat malam (26 Mei). Insya Allah puasa tahun ini hanya 29 hari,” jelas Nadjib Hamid.

Menurut Nadjib, kebersamaan penyambutan awal Ramadan ini terjadi karena posisi hilal saat ijtimak akhir Sya’ban sudah di atas 4 derajat. “Awal Ramadan dipastikan bareng karena saat akhir bulan Sya’ban, ijtimak terjadi sebelum matahari terbenam, dan posisi hilal saat matahari terbenam sudah di atas 4 derajat,” dalih mantan komisioner KPU Jatim ini.

Dalam perhitungan hisab haqiqi wujudul hilal yang dipedomani oleh Muhammadiyah, disebutkan bahwa ijtimak jelang Ramadan terjadi pada hari Jumat, 26 Mei 2017 pukul 02:46:53 WIB. Tinggi Bulan pada saat terbenam Matahari, di Yogyakarta = +08 derajat 01’ 58’ (hilal sudah wujud).

“Dan di seluruh wilayah Indonesia, pada saat terbenam Matahari itu, posisi rembulan atau bulan sabit  berada di atas ufuk. Sehingga 1 Ramadan 1438 H jatuh pada hari Sabtu, 27 Mei 2017,” tegas Nadjib.

Selain puasa yang berbarengan, kata Nadjib, kebersamaan juga akan terjadi pada Idul Fitri mendatang. “Untuk Idul Fitri, ijtimak jelang 1 Syawal 1438 H terjadi pada hari Sabtu, 24 Juni 2017, pada pukul 09:33:12 WIB.” ungkapnya.

Tinggi Bulan pada saat terbenam Matahari di Yogyakarta adalah 03 derajat 46’ 31’. Artinya, hilal sudah wujud. Dan di seluruh wilayah Indonesia pada saat terbenam Matahari, posisi bulan sudah berada di atas ufuk. “Sehingga 1 Syawal 1438 H atau yang lebih dikenal dengan Lebaran Idul Fitri jatuh pada Ahad, 25 Juni 2017,” tambah Nadjib.

Kendati demikian, Nadjib tidak menampik jika ada kemungkinan perbedaan hari dan tanggal Idul Fitri ini. Terutama bagi kalangan yang menggunakan metode “rukyah” murni. Sebab, posisi hilal saat matahari terbenam pada tanggal 24 Juni 2017 berada di angka 3 yang mungkin sulit untuk dirukyah secara kasat mata.

“Tapi berdasarkan metode imkanur rukyah, mereka berpandangan bahwa jika posisi hilal sudah berada di atas 2 derajat, maka sudah dinilai masuk bulan baru,” jelas Nadjib.

Perlu diketahui bahwa terdapat dua metode dalam penetapan awal bulan hijriah: rukyah dan hisab. Keduanya berpijak dari Hadits Rasulullah “shumu lirukyatihi wa aftiru lirukyatihi”. Seiring dengan perkembangan ilmu pengetahuan, selain rukyat bil’ain (mata telanjang), juga dilakukan rukyat bil ilmi (rukyat melalui perhitungan ilmiah), yang kini lebih dikenal dengan ilmu hisab atau ilmu falak.

Dalam sistem rukyat bil’ain, atau lazim disebut rukyah saja, mengharuskan seseorang melihat hilal tanggal 29 bulan Qamariyah. Jika hilal dapat dilihat ketika matahari terbenam (saat terjadinya ijtimak), maka malam itu dan keesokan harinya dinyatakan sebagai bulan baru. Jika tidak, disempurnakan (istikmal) menjadi 30 hari.

Sementara dalam hisab, di Indonesia ada dua aliran: haqiqi dan urfi. Hisab urfi adalah sistem perhitungan kalender yang didasarkan pada peredaran rata-rata bulan mengelilingi bumi dan ditetapkan secara konvensional.

Sedangkan hisab haqiqi didasarkan pada peredaran bulan dan bumi yang sebenarnya, bahwa umur tiap bulan tidaklah konstan dan juga tidak beraturan, tergantung posisi hilal setiap awal bulan. Sehingga boleh jadi dua bulan berturut-turut umurnya 29 hari atau 30 hari atau boleh jadi bergantian.

Sejak Muktamar Jakarta (2000), Muhammadiyah memutuskan menggunakan sistem hisab hakiki dengan kriteria wujudul hilal dan mathla’ nasional, yang lebih disempurnakan lagi dalam Munas Tarjih ke-26 di Padang (2003).

Menurut wujudul hilal yang dipedomani oleh Muhammadiyah, bulan baru qamariyah terjadi jika telah memenuhi tiga kriteria yang penggunaannya harus terpenuhi sekaligus. Yakni, telah terjadi ijtimak yang terjadi sebelum matahari terbenam atau piringan/hilal di atas ufuk. (ud)

Express Your Reaction
Like
Love
Haha
Wow
Sad
Angry