Wakil Rektor II Unusa,drg Umi Hanik (tengah duduk) berfoto bersama dengan para peserta pelatihan, Senin (22/4). DUTA/endang

SURABAYA | duta.co  – Para peneliti yang menjadikan manusia sebagai subyek harus memahami pentingnya layak etik untuk memanusiakan manusia.

Ini dilakukan selain memang aturan jurnal internasional yang mengharuskan peneliti menyertakan layak etik dari Komisi Etik Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Nasional (KEPPKN) juga untuk menghindari hal-hal yang tidak diinginkan di kemudian hari.

Dr. Triono Soendoro, Ph.D, Ketua KEPPKN mengungkapkan perkembangan ilmu pengetahuan dan riset di bidang kesehatan tidak lepas dari keterlibatan manusia sebagai subyek penelitian.  Karenanya perlu adanya peningkatan pengetahuan mengenai cara uji klinis yang baik.

Pedoman Uji Klinik yang baik (CKUB) adalah standar kualitas etik dan ilmiah internasional untuk mendesain, melaksanakan, mencatat dan melaporkan uji klinik yang melibatkan partisipasi manusia sebagai subyek penelitian.

“Kepatuhan akan standar ini memberikan kepastian kepada publik bahwa hak, keamanan dan kesejahteraan subyek uji klinik dan data uji klinik dapat dipercaya,” ungkap di sela pelatihan Good Clinical Practice (GCP) yang digelar Universitas Nahdlatul Ulama Surabaya (Unusa) di Best Western Papilio Hotel Surabaya, Senin (22/4).

Karena itu, peneliti terutama dosen yang hendak melakukan penelitian perlu memahami hal ini. “Selama ini tidak peduli. Padahal ini sudah ada sejak adanya Undang-Undang Kesehatan 1992 dan dituangkan dalam Peraturan Pemerintah No 39/1995,” ujarnya.

Dikatakan Trisno, ketika menulis proposal untuk penelitian yang subyeknya manusia, maka peneliti harus mengakukan uji klinik terlebih dulu. “Ini untuk memperlakulan manusia dengan baik dan adil,” tandasnya.

Untuk bisa mendapatkan hal itu harus memenuhi tujuh standar kelayakan etik yakni nilai sosial, nilai ilmiah, pemerataan beban dan manfaat, risiko di bawah normal, tidak ada paksaan dan menjaga kerahasiaan. Serta minta persetujuan kepada subyek.

“Ini yang banyak belum dipahami. Baru setelah jurnal internasional menerapkan aturan tanpa uji etik itu tidak bisa naik maka mereka (peneliti,red) bingung. Mulailah mencari tahu,” tukasnya.

Pelatihan yang digelar selama tiga hari itu mengacu pada International Conference on Harmonization-Good Clinical Practice (ICH-GCP) yang telah ditetapkan secara internasional.

Triono menambahkan, Pelatihan ini merupakan program interaktif yang akan mencakup: Peran dan Tanggung Jawab KEPK, Prinsip GCP Menurut WHO, Regulasi Uji Klinik, Peran Peneliti, Manajemen Uji Klinik, Peran Sponsor, Fasilitas dalam Uji Klinik, Dokumen Uji Klinik, Persetujuan Setelah Penjelasan (Informed Konsent).

Sementara bagi peserta yang sudah pernah mengikuti pelatihan tersebut  akan diarahkan untuk melakukan renewal certification by online.

Cara ini bertujuan agar seluruh peserta tetap bisa mendapat kesempatan untuk memperbarui materi yang disesuaikan dengan peraturan terbaru.

Wakil Rektor II Unusa, dr. Umi Hanik mengatakan pelatihan GCP ini bertujuan untuk memberikan pengetahuan dan keterampilan.

Terutama dalam menerapkan prinsip-prinsip GCP dan standar etika Internasional dalam melaksanakan penelitian klinis dan mengidentifikasi trainer yang potensial untuk pelatihan GCP selanjutnya.

“Diharapkan peserta mendapatkan pengetahuan dan keterampilan tentang GCP dan standar etika Internasional dan mampu menerapkannya dalam konteks penelitian kesehatan yang melibatkan partisipan manusia,” ungkapnya.

Evaluasi akhir dilakukan dengan ujian tertulis dengan bentuk soal pilihan ganda mengenai aplikasi prinsip-prinsip GCP dan standar etika Internasional.

Selain itu tiap peserta juga diberikan bahan untuk mengevaluasi selama acara berlangsung.

Tujuan evaluasi tersebut untuk evaluasi para fasilitator dan panitia dalam melaksanakan pelatihan GCP selanjutnya. end/rud

Express Your Reaction
Like
Love
Haha
Wow
Sad
Angry