SURABAYA | duta.co – Salah seorang pendiri Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) KH. Moensif Nahrowi meminta agar PMII tidak independen dari Nahdlatul Ulama (NU).
“Independensi PMII tahun 1972 hanyalah taktis saja,” katanya saat menghadiri pelantikan PMII Komisariat UINSA di Hall Auditorium UIN Sunan Ampel Surabaya, Kamis (5/9) malam.
KH. Moensif Nahrowi menjelaskan PMII didirikan oleh sejumlah pemuda dan mahasiswa yang berlatar Nahdlatul Ulama, diantaranya M. Chalid Mawardi (Jakarta), M. Said Budairy (Jakarta), Hilman Badrudinsyah (Bandung), Ismail Maky (Yogyakarta), Nuril Huda (Surakarta), Laily Mansur (Surakarta), Abdul Wahab Jaelani (Semarang), Hisbullah Huda (Surabaya), M. Calid Narbuko (Malang), serta beberapa nama lain, termasuk dirinya dari Yogyakarta.
Mereka bersidang di salah satu ruangan di Taman Pendidikan Khodijah (Sebuah yayasan pendidikan milik Muslimat NU di Wonokromo, Surabaya) yang kemudian mendeklarasikan organisasi tersebut pada 17 April 1960, sebagai wadah perjuangan mahasiswa Nahdlatul Ulama.
Pada acara yang dihadiri sesepuh dan alumni PMII IAINSA/UINSA, para dosen dan pimpinan serta para pengurus yang dilantik, dan para kader PMII UINSA, Kiai Munsif bercerita bahwa di era yang sudah berubah ini, pola pengkaderan PMII juga harusnya mempertimbangkan perubahan zaman.
“Namun demikian, ada yang tidak boleh berubah yaitu terkait dengan pola hubungan antara PMII dengan Nahdlatul Ulama pada setiap level tingkatan kepengurusan. Maknanya, PMII tidak boleh independen dengan NU,” kata Kiai yang sekarang tinggal di Singosari Malang ini.
Ia menjelaskan bahwa pada tahun 1991 ada Kongres PMII di Murnajati Malang yang memutuskan bahwa PMII Independen dengan NU. Saat itu, situasi politik nasional di era kepemimpinan Presiden Soeharto memprioritaskan aspek stabilitas. Salah satu dampaknya adalah pihak-pihak yang dirasa mengganggu stabilitas perlu diupayakan langkah langkah untuk menjaga stabilitas demi pembangunan nasional, tapi jika ada pihak yang kritis maka dianggap oposisi.
Ia menyampaikan bahwa sebenarnya langkah yang dipilih untuk bersikap independen itu hanyalah siyasah atau strategi taktis saja. Artinya manakala ada hal-hal lain yang diluar kendali, atau jika sampai pada NU dibubarkan oleh pemerintah, maka secara legal organisatoris PMII tidak ikut bubar.
Namun, sayangnya semangat itu nampaknya terbawa secara mendalam hingga hari ini, sehingga nampak PMII secara organisasi terasa benar-benar independen dan tidak boleh terkooptasi oleh Nahdlatu Ulama.
Dengan memakai jas almamater PMII, senior berusia 80-an itu menyampaikan cerita masa lalu serta asa yang diharapkan terhadap kepemimpinan PMII saat ini. Ia berharap dapat bertemu dengan Ketua Umum PB PMII yang baru terpilih untuk bisa mengemukakan gagasan dan masukan pemikiran, untuk mengembalikan hubungan PMII dengan NU.
Sebagai informasi saja bahwa Muktamar NU tahun 2015 di Jombang telah memutuskan dan menegaskan bahwa PMII adalah badan otonom NU. Untuk selanjutnya memberikan kesempatan kepada PMII melalui Kongres untuk memutuskan status Banom ini secara legal formal. Tetapi nampaknya dari Kongres PMII pasca tahun 2015 itu, hal itu masih belum ada keputusan formal untuk mau menerima tawaran ‘kembali’ secara formal ke orang tua (NU).
Acara pelantikan dan pengukuhan itu dihadiri Prof. Dr. HM. Ridlwan Nasir, MA, dan Prof. Dr. KH. Ali Mashan Moesa, M.Si, serta Wakil Rektor III Prof. Dr, Abdul Muhid, M.SI, Dr. M Syaeful Bahar, Dr. Ali Mustofa, Dr. Koirul Umami, Dr. Yusuf Amrozi, dan Dr. Ilyas Rolis. (*/ysfa)