
“Hari ini pada tanggal 2 Mei, kita memperingati Hari Pendidikan Nasional, mengenang Ki Hadjar Dewantara yang mewariskan pemikiran mendalam: Ing ngarsa sung tulada, ing madya mangun karsa, tut wuri handayani. Namun, peringatan ini bukan sekadar seremoni. Kita harus berani bertanya: bagaimana wajah pendidikan di Banyuwangi hari ini?”
oleh Rino Bakhtiar, Ketua DPC GMNI Banyuwangi
Catatan Kritis
Banyuwangi dikenal sebagai kabupaten yang pesat pembangunannya, bahkan dijuluki kabupaten dengan inovasi terbaik di Indonesia. Namun, di balik gemerlap penghargaan itu, pendidikan di Banyuwangi masih menyimpan pekerjaan rumah besar.
Pertama, soal akses dan pemerataan pendidikan. Di daerah-daerah pinggiran seperti Songgon, Kalibaru, Pesanggaran, hingga Wongsorejo, anak-anak masih berjuang menembus jarak jauh, infrastruktur jalan yang rusak, dan fasilitas sekolah yang terbatas. Selain itu, ketersediaan sekolah menengah atas atau sekolah kejuruan di pelosok masih minim, memaksa sebagian siswa berhenti sekolah lebih awal atau hijrah ke kota dengan beban biaya yang tidak kecil. Ketimpangan akses ini menciptakan lingkaran ketidakadilan: anak-anak di kota punya lebih banyak kesempatan belajar, sementara anak-anak di desa harus berjuang dua kali lipat hanya untuk menikmati hak dasar mereka.
Kedua, komersialisasi pendidikan. Pendidikan di Banyuwangi, seperti di banyak daerah lain, makin menunjukkan wajah komersial. Sekolah negeri yang seharusnya menjadi tumpuan rakyat kecil kini tak sepenuhnya gratis—ada pungutan seragam, buku, hingga kegiatan sekolah yang kadang membebani orang tua. Bimbingan belajar swasta semakin menjamur, memunculkan kesenjangan antara mereka yang mampu membayar tambahan belajar dan yang hanya mengandalkan sekolah formal. Lebih dari itu, munculnya sekolah-sekolah swasta “elite” dengan biaya tinggi juga menciptakan jurang sosial di masyarakat. Pendidikan yang seharusnya jadi alat pemutus rantai kemiskinan justru berpotensi memperlebar ketimpangan, ketika hanya anak-anak dari keluarga mampu yang bisa mengakses pendidikan berkualitas, sementara anak-anak nelayan, petani, dan buruh justru tertinggal di belakang.
Ketiga, persoalan distribusi guru. Salah satu tantangan besar di Banyuwangi adalah distribusi guru yang belum merata. Sekolah-sekolah di daerah perkotaan cenderung memiliki jumlah guru yang cukup, sementara di pelosok, sekolah sering kekurangan guru untuk mata pelajaran tertentu. Kekosongan ini kerap ditutup oleh guru honorer yang bekerja dengan dedikasi tinggi meski dengan kesejahteraan yang minim. Upaya pemerataan penempatan guru perlu diperkuat, termasuk pemberian insentif bagi guru yang bersedia mengajar di daerah terpencil dan perhatian lebih bagi keberlangsungan guru honorer.
Harapan
Sebagai Ketua DPC GMNI Banyuwangi, saya membawa suara harapan kaum muda: mari kita bangun pendidikan Banyuwangi yang adil dan memanusiakan manusia. Pemerintah daerah harus lebih serius memperhatikan sekolah-sekolah di pelosok, memastikan tak ada lagi anak putus sekolah karena alasan biaya, dan memperbaiki distribusi guru agar anak-anak di desa memiliki kesempatan belajar yang sama dengan anak-anak di kota.
Kami ingin pendidikan yang tak hanya mencetak generasi cerdas secara akademik, tetapi juga berkarakter, memiliki rasa keadilan, dan peka terhadap persoalan rakyat. Distribusi guru yang lebih merata akan menjadi kunci untuk mengurangi ketimpangan mutu pendidikan antardaerah, sekaligus bentuk penghormatan kepada para guru honorer yang selama ini menjadi tulang punggung pendidikan di banyak pelosok.
Sebagai pemuda, kita punya tanggung jawab mengawal perubahan ini. Pendidikan bukan hanya soal ijazah, tapi soal membangun peradaban Banyuwangi yang lebih adil, manusiawi, dan bermartabat.