Raden Mustofa – Dosen FKIP

Jika mencermati tulisan-tulisan Cak Nur (Nurcholis Madjid) yang berkaitan dengan pendidikan, tesisnya menyatakan bahwa pendidikan menjadi faktor determinan untuk membangun bangsa.

Rasanya sulit dibantah karena pendidikan yang mengubah pola pikir manusia yang awalnya konservatif tertutup menjadi modern dan terbuka.

Kemajuan suatu bangsa dibutuhkan pola pikir yang terbuka terhadap perkembangan zaman bukan yang tertutup alih-alih defensive. Kita bisa melihat Negara-negara maju (super-power) karena kemajuan sainsnya.

Pendidikan yang membuat manusia semula tidak tahu menjadi tahu, karena pendidikan manusia tidak beradab menjadi beradab pendidikan yang menentukan kemajuan bangsa.

Maka tidak berlebihan jika Yuval Noah Harari dalam bukunya Homo Deus mengatakan bahwa dulu sumber utama kekayaan adalah tambang emas, minyak, dan gandum saat ini sumber utama kekayaan adalah ilmu pengetahuan. Faktanya bisa dilihat dewasa ini ilmu pengetahuan mengendalikan dunia.

Seperti Jack Ma Yun Alibaba Group yang mencetak rekor dunia, perusahaannya bisa menghasilkan keuntungan triliunan dalam hitungan menit.

Substansi VS Administrasi

Untuk menghasilkan peserta didik yang cerdas dibutuhkan guru yang cerdas pula. Artinya kualitas guru tidak bisa ditawar jika kita mengidamkan out-put yang cerdas. Sejenak kita mengintip pendidikan di Singapura Negara yang menurut survey PISA dan OECD (Reading, Mathematics, science) dinobatkan memiliki sistem pendidikan terbaik di dunia melampaui Negara-negara di Amerika dan Eropa.

Dan menurut laporan The Economist siswa lulusan dari sekolah Singapura banyak ditemukan atau tersebar di universitas-universitas terbaik di dunia. Bahkan siswa di Singapura lebih bahagia daripada siswa di Finlandia yang selalu mendapatkan indeks kebahagian tertinggi.

Pendidikan di Singapura sangat memerhatikan kualitas guru, kementerian pendidikan dan jajarannya selalu fokus pada pengembangan guru yang unggul. Guru di Singapura diberi pelatihan 100 jam dalam setahun untuk mengikuti perkembangan pengetahuan dan teknik-teknik baru dalam mendidik.

Pemerintah sangat memerhatikan gaji atau kesejahteraan guru tidak seperti di Indonesia masih banyak guru yang digaji Rp250.000 sebulan. Pemerintah Singapura juga membuat program yaitu guru terbaik mendapatkan bonus (reward) besar dari kementerian sebagai apresiasi atas kinerja dan kerja kerasnya.

Namun guru harus menjalani penilaian kinerja yang sangat ketat bukan hanya administratif. Uniknya Direktur Jenderal Kementerian  mengetahui lebih dari 80 % nama Kepala Sekolah. Artinya pemerintah sangat serius membina para guru bukan hanya menjalankan tugas administartif dengan tumpukan kertas.

Sebenarnya pemerintah Indonesia telah berupaya untuk terus berikhtiar memerbaiki pendidikan. Program Profesi Guru (PPG), penyesuaian kurikulum, dan pelatihan-pelatihan peningkatan mutu kerap dilakukan.

Meskipun hasilnya masih jauh panggang dari api karena tujuan filosofis tersebut “digagalkan” oleh pelaksana teknis di lapangan. Banyak yang tidak mengerti kalau tidak dikatakan tidak mau mengerti maksud dan tujuan program-program tersebut.

Alhasil substansinya tidak tersampaikan dan tidak diterima dengan baik selain teknis dan adimintrasi yang tak bermakna. Kita lebih senang mengurusi hal-hal teknis dan administratif dan menihilkan substansi dan ide besarnya. Tidak jarang program dilaksanakan hanya untuk menghabiskan anggaran dan mendapatkan bayaran.

Tak Berkemaknaan

Sejatinya pendidikan menjadi solusi terhadap berbagai permasalahan yang dihadapi masyarakat agar elan vital akademiknya menemukan relevansinya. Masalahnya pendidikan gamang terhadap dinamika dan persoalan yang berkembang.

Tidak sedikit peserta didik yang pandai di kelas hapal rumus dan teori justru gagap menghadapi realitas kehidupan. Jangankan peka dan responsif pendidikan kita justru menjadi masalah terhadap persoalan yang ada.

Mistisisme dan feodalisme tumbuh subur dalam dunia pendidikan. Sekolah mengajarkan jalan pintas dan “kepatuhan” yang berlebih akibatnya nalar kritis dibunuh secara sistematis.

Karakter yang diajarkan oleh sekolah tidak diinternalisasi, permasalahan moral seperti kekerasan, perilaku koruptif, indisiplin dan sejenisnya yang kerap ditemukan dalam kehidupan sehari-hari. Materi ditransfer tanpa kebermaknaan selain hapalan dan menghabiskan materi ajar.

Peserta didik tidak diajak untuk berpikir secara kontekstual dan kritis. Mengutip yang disampaikan Prof. Masdar Hilmi terjadi keterbelahan epistemologis dalam dunia pendidikan, antara aspek kognitif, afektif dan psikomotorik. Konsep tentang benar di otak peserta didik, belum tentu tersambung dan terintegrasi ke dalam kesadaran mereka yang terinternalisasikan ke dalam laku ke seharian mereka.

 Pendidikan di perguruan tinggi tidak jauh berbeda bahkan saat ini banyak yang menganggap kampus  mati suri. Tuduhan kampus hanya menjadi kepanjangan tangan pemerintah tidak sepenuhnya salah jika tidak dikatakan benar.

Akibatnya kampus tidak lagi kritis terhadap persoalan bangsa-negara. Kampus menunjukkan wajah malu-malu ketika dihadapkan pada persoalan Negara. Kampus tidak tegas mengatakan “tidak” meskipun bertentangan dengan nilai-nilai akademik.

Padahal kampus adalah tumpuan keadaban dan kemajuan bangsa dengan sikap akademisnya yang kritis.

Ada kecenderungan para akademisi lebih mementingkan nilai-nilai pragmatis daripada nilai-nilai ilmu pengetahuan. Tri Dharma perguruan tinggi yang dilakukan lebih berorientasi pada formalitas belaka untuk menggugurkan tugas dan mendapat jabatan.

Padahal akademisi adalah sekolompok orang yang dianggap mempunyai ilmu pengetahuan untuk kepentingan kemaslahatan bangsa. Pengajaran/pendidikan, penelitian, dan pengabdian kepada masyarakat harus memberikan perubahan yang positif.

Tugas utama seorang akademisi adalah melakukan refleksi kritis dan memertahankan nilai-nilai abstrak pada zamannnya seperti kebenaran, keadilan, dan rasio. Namun realitasnya nilai-nilai tersebut semakin memudar selain hanya realisasi hasrat materi semata, yang banyak hanya sekumpulan dosen yang suka gaya-gayaan. *

Express Your Reaction
Like
Love
Haha
Wow
Sad
Angry