“Faktor penting yang menyebabkan kita terpuruk di laut karena mata pelajaran kemaritiman tidak pernah diajarkan di sekolah.”

Oleh Oki Lukito*

SEPANJANG Pemerintahan Joko Widodo dua periode menjadi nakhoda Kapal NKRI, pengetahuan mengenai ilmu kelautan dan wawasan kemaritiman belum masuk dalam kurikulum atau perangkat mata pelajaran yang diajarkan pada lembaga pendidikan.

Padahal, infiltrasi pemahaman konsep maritim bagi jenjang pendidikan dasar dan menengah menunjang reorientasi generasi muda pada kesadaran wawasan nusantara berbasis kebaharian sesuai visi Poros Maritim Dunia.

Pendidikan maritim seyogyanya diimplementasikan sejak dini, salah satunya melalui lembaga pendidikan.

Sejak dibuat Panduan Implementasi Kurikulum Pendidikan oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan tahun 2017, implementasinya jalan di2 tempat.

Kecuali di sekolah tertentu seperti HangTuah atau Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) Kelautan atau Perikanan yang memang sudah berjalan.

Kendalanya bukan hanya berasal dari sekolah tetapi dari Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi yang bertanggung jawab terhadap program kurikulum kemaritiman.

Minimnya anggaran, programnya baru, misskomunikasi dengan daerah tujuan program, pelaporan kegiatan yang semakin banyak merupakan faktor kendala belum terlaksananya program kurikulum kemaritiman seperti yang diharapkan.

Tidak semua guru dan mata pelajaran sekolah yang bisa diintegrasikan sehingga terhambatnya proses implementasi program kurikulum kemaritiman tersebut. Sangat disesalkan jika realiasanya Jauh tiang dari layarnya.

Untuk menanamkan visi kelautan dalam rangka membangun kembali semangat dan jati diri bangsa bahari, diperlukan upaya sejak dini dan berkelanjutan.

Hal itu bisa dimulai pada pendidikan formal disetiap level yaitu di tingkat pendidikan dasar, menengah hingga pendidikan tinggi.

Faktor penting yang menyebabkan kita terpuruk di laut karena mata pelajaran kemaritiman tidak pernah diajarkan di sekolah.

Sebaliknya generasi muda yang terlanjur mengenyam pendidikan paradigma darat, tidak mempunyai minat menekuni apalagi mengembangkan potensi lautnya.

Sejatinya pendidikan bahari pada strata pendidikan formal sangat dibutuhkan untuk menanamkan dan menumbuhkan kembali semangat serta jiwa bahari bangsa.

Bentuk atau muatan pelajaran bahari bisa diintegrasikan dengan mata pelajaran secara langsung ataupun dikemas dalam mata pelajaran lain yang telah ada.

Misalnya, anak didik dan masyarakat umum akan mendapat banyak manfaat dari pelajaran bahari dalam kemasan Geopolitik untuk membangkitkan semangat cinta tanah air .

Dari Cinta tanah air akan membangkitkan karakter nasional yang menjadi salah satu kekuatan nasional.

Hal ini bisa diaplikasikan dalam mata pelajaran lain yang sudah ada seperti Ilmu Pengatahuan Alam, Olahraga, Sejarah, budaya, kesenian atau pelajaran ekstra kulikuler seperti Pramuka Saka bahari dan hampir di semua muatan mata pelajaran di sekolah dasar hingga menengah atas dan perguruan tinggi.

Dengan ditetapkannya pelajaran bahari dalam kurikulum pendidikan nasional, diharapkan akan mengikis warisan budaya kolonial yang berusaha ditanamkan secara halus dan sistemik pada generasi muda.

Jika dicermati draft kurikulum pendidikan yang berjalan, bangsa ini dan pemangku kepentingan pendidikan khususnya, telah melupakan jati diri dan kodratanya sebagai bangsa bahari. Padahal ini penting untuk membentuk karakter bangsa maritim.

Lalu dimana kepedulian bangsa ini yang negaranya memiliki luas wilayah laut 5,8 juta kilometer persegi atau 62,80 persen dari total wilayah Indonesia, memiliki garis pantai 95.150 kilometer terpanjang setelah Kanada, USA, Rusia Federasi, serta aset berupa 17. 480 pulau tersebar dari Pulau Sabang sampai Merauke, dari Pulau Miangas hingga Rote itu?

Sayangnya competitive advantage tersebut belum memberikan manfaat ekonomi bagi negara.

Pasalnya, kontribusi PDB dari sektor maritim masih sekitar 20 persen, sangat jauh dari harapan, padahal potensi ekonomi sektor kelautan yang potensial untuk dimanfaatkan seperti dari sektor perikanan, bioteknologi, pertambangan, energi, pariwisata bahari, industri maritim dan perhubungan laut, setiap tahun diasumsikan dapat menghasilkan sekitar Rp 5000 triliun.

Dalam kurun waktu 20 tahun terakhir ini terjadi pergeseran ekonomi dunia dari Samudera Atlantik ke Pasifik sehingga posisi Indonesia sangat strategis, sebab 75 persen komoditas perdagangan dunia melewati perairan Indonesia.

Kita juga belum mampu memanfaatkan koridor Alur laut kepulauan (ALKI) untuk kepentingan pertahanan, perekonomian dan sosial budaya. Kita menjadi penonton di negeri sendiri karena paradigma pembangunan masih berorientasi darat.

Sebagian besar masyarakat justru memandang laut sebagai tempat menakutkan, kawasan kumuh dan tidak layak dijadikan ranah mata pencaharian. Masyarakat lebih banyak mendengar mitos, misteri, dan cerita menakutkan dari laut ketimbang kisah kebesaran Sriwijaya, Kerajaan Agro-Maritim Majapahit dan kedigdayaan Patih Gajah Mada serta Ketokohan Panglima laut atau Jaladimantri Nala yang sukses memimpin armada Majapahit menyebrangi samudra dan menaklukan Madagaskar.

Demikian pula kekuatan maritim Kerajaan Demak hanya sepintas diketahui anak didik dan generasi muda. Padahal kerajaan ini mampu mengirim armada laut yang dipimpin Pati Unus yang bergelar Pangeran Sabrang Lor dengan mengerahkan 100 buah kapal dengan 10.000 prajurit untuk menyerbu Portugis di Malaka.

Potensi kelautan Indonesia sangat besar dan beragam, pemberdayaan maupun pengelolaannya mengandung permasalahan yang sangat kompleks. Permasalahan terberat yang dihadapi oleh bangsa ini dan harus mendapatkan prioritas adalah bagaimana memperthankan semangat bahari.

Salah satu cara yang dianggap tepat adalah dengan membangun sumber daya manusia melalui jalur pendidikan. Seluruh potensi laut Indonesia yang berlimpah ini, hanya bisa ditransformasikan menjadi aset apabila mendapatkan sentuhan iptek dan ditangani oleh SDM unggul dan profesional. (*)

Oki Lukito adalah Ketua Forum Masyarakat Kelautan, Maritim, Perikanan

Express Your Reaction
Like
Love
Haha
Wow
Sad
Angry