KH Agoes Ali Masyhuri (foto/youtube)

“Indonesia tidak boleh jatuh ke lembah yang sama, dan karena itu yang dibutuhkan bukan ilmuwan liberal hasil dari sistem pendidikan liberal yang meminggirkan peran agama.”

Oleh: KH Agoes Ali Masyhuri*

KEBIJAKAN Mendikbud Nadiem Makarim yang menyerahkan dana hibah puluhan miliar rupiah kepada Tanoto dan Sampoerna Foundation, membuat dua ormas besar Islam Nahdlatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah kecewa dan mundur dari organisasi penggerak pendidikan (OPP) bentukan Kemendikbud.

Mendikbud sudah menemui pengurus PP Muhammadiyah untuk meminta maaf atas keputusan itu dan meminta Muhammadiyah tetap bergabung dalam OPP , tetapi PP Muhammadiyah belum memberi jawaban karena harus membicarakan masalah ini secara internal.

Kalau Mendikbud Nadiem melanjutkan roadshow ini ke PBNU, maka, keputusan dan sikap yang sama sangat mungkin akan diambil oleh PBNU. Tentu hal ini bukan soal anggaran puluhan miliar, tetapi jauh lebih penting dari itu adalah cara dan sikap Mendikbud dalam memperlakukan dua ormas besar Islam itu yang notabene mewakili kalangan mayoritas Umat Islam Indonesia.

Persoalan dana hibah puluhan miliar bagi Muhammadiyah dan NU adalah urusan kecil. Dua ormas ini sudah berkiprah satu abad di Indonesia. Rabu (29/7) kemarin Muhammadiyah memperingati Milad ke-111, dan NU sudah berusia 94 tahun. Usia yang jauh lebih tua dibanding Republik Indonesia.

Selama ini, NU dan Muhammadiyah menjalankan pengabdian sosial kepada bangsa Indonesia dengan ikhlas tanpa pamrih dan tanpa mengharap bantuan apapun dari pemerintah. NU dan Muhammadiyah selalu konsisten menjalankan dakwah islamiyah amar makruf nahi munkar di berbagai bidang kehidupan bangsa, mulai dari bidang sosial, ekonomi, kesehatan, pendidikan, dan juga bidang politik.

Sejak awal kemerdekaan Indonesia NU dan Muhammadiyah aktif dan proaktif dalam kegiatan pembangunan nasional, baik itu pembangunan fisik maupun pembangunan karakter bangsa yang kita kenal sebagai “nation and character building“.

Membangun bangsa (nation building) adalah pembangunan fisik jasadiah di bidang ekonomi, politik, dan birokrasi, sedangkan pembangunan karakter (character building) adalah pembangunan karakter ruhani bangsa yang didasarkan pada agama-agama yang diakui oleh negara dan terutama agama Islam sebagai agama mayoritas Indonesia.

Kiprah NU dan Muhammadiyah dalam perjuangan kemerdekaan sudah tercatat dalam tintas emas sejarah bangsa. Lahirnya Resolusi Jihad 1945 merupakan salah satu saja dari sekian banyak sumbangsih Islam terhadap perjuangan bangsa.

Karena itu ketika menyatakan kemerdekaannya pada 1945 dan menyusun dasar-dasar konstitusi negara dalam UUD 1945 bangsa Indonesia sepakat memberi tempat terhormat kepada Islam dengan penyebutan “Atas berkat rahmat Allah Yang Maha Kuasa” pada pembukaannya.

Bangsa Indonesia juga sepakat menempatkan “Ketuhanan Yang Maha Esa” sebagai sila pertama dari Pancasila yang menjadi pokok acuan bagi empat sila lainnya. Indonesia bukan negara agama, tetapi agama menjadi acuan dalam pelaksanaan kegiatan negara.

Sejak era Presiden Sukarno, Soeharto sampai dengan era Reformasi, pemerintah Indonesia mengakui kiprah NU dan Muhammadiyah dalam gerakan dakwah dan pendidikan. Karena itu telah menjadi semacam konvensi bahwa pos kementerian agama dan kementerian pendidikan selalu diberikan kepada kader NU dan Muhammadiyah.

Hal ini sudah menjadi konvensi politik yang dipegang teguh sejak masa awal kemerdekaan, dan terbukti bisa berjalan mulus sehingga hubungan NU dan Muhammadiyah dengan pemerintah selalu terjaga baik.

NU dan Muhammadiyah secara formal tetap independen berada di luar pemerintahan, tetapi tetap memberikan kontribusi terhadap pemerintahan. Sebagai bagian dari masyarakat madani (civil society) NU dan Muhammadiyah menjalankan fungsi kontrol terhadap pemerintah dan tetap aktif dalam berbagai aktivitas demokratisasi tanpa harus menjadi partai politik formal.

Konvensi ini berubah pada masa pemerintahan kedua Presiden Joko Widodo, 2019. Penunjukan Nadiem Makarim sebagai Menteri Pendidikan dan Kebudayaan menimbulkan tanda tanya di berbagai kalangan, khususnya NU dan Muhammadiyah. Hal yang sama juga terjadi ketika Presiden Jokowi mengangkat Jenderal Purnawirawan Fachrul Razi–dan tidak berlatar belakang NU– sebagai Menteri Agama.

Menag Fachrul Razi sempat beberapa kali kebijakannya bermasalah dengan kalangan Islam, tapi pelan-pelan Menag bisa menyesuaikan diri dengan NU dan Muhammadiyah serta ormas Islam lainnya.

Nadiem Makarim tidak mempunyai latar belakang dan pengalaman di bidang pendidikan. Dia diberi kepercayaan yang sangat besar untuk mendesain manusia-manusia Indonesia masa depan melalui pendidikan.

Selain itu Menteri Nadiem juga dipersenjatai dengan anggaran yang sangat besar yakni 20 persen dari total APBN yang mencapai 2.600 triliun, yang berarti Mendikbud mempunyai anggaran lebih dari Rp 500 Triliun.

Kebijakan Mendikbud muda ini, lebih fokus pada pendidikan sains dan ilmu pengetahuan. Hal ini bisa dimaklumi karena latar belakangnya sebagai ahli teknologi informasi dengan keberhasilannya menjadikan Gojek sebagai perusahaan aplikasi decacorn dengan valuasi perusahaan di atas USD 10 Miliar.

Fokus pada sains dan ilmu pengetahuan sangatlah tepat dan strategis sebagai bagian dari tantangan masa depan. Tetapi yang harus tetap diingat adalah bahwa tujuan pembangunan nasional adalah menciptakan manusia Indonesia seutuhnya. Manusia Indonesia harus utuh, otaknya menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek), dan ruhaninya harus dipandu oleh iman dan takwa kepada Allah Tuhan Yang Maha Esa (imtak).

Keduanya harus seiring dan sejalan tak bisa dipisahkan. Ilmu pengetahuan tanpa iman akan tersesat, dan iman tanpa ilmu akan buta. Agama Islam adalah agama ilmu pengetahuan yang memberi tempat yang sangat tinggi dan terhormat bagi mereka yang berilmu di sisi Allah SWT.

Ayat-ayat Al-Quran banyak sekali mengandung nilai-nilai iptek dan mendorong manusia untuk menggunakan akal budinya untuk menyelidiki jagat raya dan isinya dalam rangka mendekatkan diri kepada Allah Sang Khaliq. Islam mempunyai konsep “Ulul Albab” Manusia Yang Berkecerdasan.

Intelektual Ulul Albab disebut 16 kali dalam Al-Qur’an, dan perintah untuk mempergunakan akal diserukan sebanyak 24 kali. Ini adalah bukti bahwa Islam sangat menghormati akal untuk mencari ilmu pengetahuan untuk mencapai derajat Ulul Albab.

Karakter Ulul Albab sebagaimana disebut pada Al Qur’an (3:190) adalah orang yang mengingat Allah setiap waktu pada saat berdiri, duduk, dan berbaring, dan mempergunakan akal fikirnya untuk merenungkan ciptaan Allah.

Ulul Albab adalah manusia intelektual yang mengutamakan zikir dan kemudian fikir. Bukan sebaliknya, mengedepankan fikir (rasio) dan menomorduakan zikir (iman dan takwa).

Sejarah Islam selama tujuh abad sejak abad ke-7 sampai abad ke-14 juga telah membuktikan lahirnya intelektual Ulul Albab yang membawa kemajuan ilmu pengetahuan modern sampai sekarang. Tokoh-tokoh seperti Ibnu Sina, Ibnu Rusydi, Al Khawarizmi, adalah peletak ilmu pengetahuan modern yang kemudian diadopsi oleh para intelektual Barat.

Ilmu pengetahuan dan teknologi telah membawa kemajuan dan kesejahteraan yang dahsyat di Barat. Tetapi, tanpa imtak negara-negara Barat sekarang menghadapi problem-probem sosial yang menyeramkan dalam hal kemerosotan akhlak dan moral.

Indonesia tidak boleh jatuh ke lembah yang sama, dan karena itu yang dibutuhkan bukan ilmuwan liberal hasil dari sistem pendidikan liberal yang meminggirkan peran agama.

Indonesia membutuhkan intelektual Ulul Albab canggih yang bisa memadukan iptek dan imtak. Di sinilah posisi strategis yang diperankan oleh NU dan Muhammadiyah. (*)

*KH Agoes Ali Masyhuri adalah Wakil Rois Syuriah PWNU Jatim, Pengasuh Pesantren Bumi Shalawat, Sidoarjo, dan Pendiri Lembaga Pendidikan Internasional Bumi Shalawat.

Express Your Reaction
Like
Love
Haha
Wow
Sad
Angry