Guru besar dari Universiti  Sultan Zainal Abidin Trenggano Malaysia, Prof  Dr Kamarul  Shukri Mat Teh saat menjadi pembicara dalam Colloqulum Joint Conference dan Articles Publishing di Amphitheater Twin Tower Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya (Uinsa), Rabu (11/4). DUTA/endang 

SURABAYA |duta.co – Revolusi industri 4.0 tidak boleh ditolah oleh negara manapun. Begitu juga dengan Pendidikan (Education) 4.0. Era teknologi sudah mulai masuk di setiap jantung nadi pendidikan di seluruh dunia, termasuk di Indonesia.

Yang terpenting bagaimana menyiapkan diri untuk mendidik anak-anak generasi Z dan generasi Alfa agar bisa tetap memiliki akhlak dan keimanan yang kuat.

Hal itu diungkapkan guru besar dari Universiti  Sultan Zainal Abidin Trenggano Malaysia, Prof  Dr Kamarul  Shukri Mat Teh saat menjadi pembicara dalam Colloqulum Joint Conference dan Articles Publishing di Amphitheater Twin Tower Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya (Uinsa), Rabu (11/4).

“Bagaimana kita bisa siap dengan ini. Karena education 4.0 sudah serba teknologi. Teknologi sudah masuk ke dalam ruang kelas. Semua memakai perangkat teknologi,” ujarnya.

Diakuinya education 4,0 tidak bertentangan dengan pendidikan Islam. Islam dalam Alquran sudah menegaskan bahwa mendidik generasi bangsa itu tidak boleh sama, karena zaman sudah berbeda.

Ketika zaman serba teknologi, memang sebagai pendidik, sebagai orang tua harus mendidik dengan cara saat ini.

“Saat ini kita berhadapan dengan generasi Z dan Alfa sebagai pemain utama dalam education 4.0 ini,” ungkapnya.

Dikatakan Prof Kamarul, ciri-ciri generasi Z itu adalah mereka yang lahir antara tahun 1966 hingga 2007. Selain itu generasi Z itu selalu berpikiran global menggunakan media soaial sebagai penghubung dengan yang lain serta juga dipakai untuk mengubah dunia.

Selain itu, ciri-ciri lainnya adalah mahir teknologi. Dia akan online lebih dari satu jam sehari. Bahkan 46 persen dari generasi Z itu bisa menggunakan teknologinya 10 jam sehari. “Bagi teknologi Z, teknologi adalah bagian dari dirinya,” tandasnya.

Di Malaysia sendiri, education 4.0 ini masih dalam tahap permulaan. Malaysia, diakui Prof. Kamarul sudah mulai memperkenalkan kepada siswa-siswa sekolah dasar (SD). Bentuknya adalah gamifikasi yang dimasukkan dalam pembelajaran sehari-hari.

“Kalau di perguruan tinggi bentuknya kolaborasi critical thinking. Yang terpenting itu generic skill, komunikasi di antara siswa dan guru,” tukasnya.

Memang dengan education 4.0 ini, ada kelemahan di mana sudah berkurangnya sentuhan antara guru dan siswa. Antara dosen dan mahasiswa. Bisa-bisa akan timbul sesuatu yang tidak diinginkan dari anak-anak didik itu.

Tapi, yang terpenting untuk menghadapinya adalah diimbanginya semua itu dengan bekal ilmu agama Islam yang baik. Sehingga perkembangan ilmu, teknologi diimbagi dengan iman yang kuat. “Ini peran pendidik. Pendidik tidak boleh menolah perkembangan tapi harus menerima,” jelasnya.

Prof. Kamarul berbicara di depan para mahasiswa pascasarjana Uinsa. Ini adalah bagian dari proses awal kerjasama yang akan dilakukan kedua institusi pendidikan ini. Keduanya akan melakukan penandatanganan kerjasama di Malaysia beberapa waktu ke depan.

Bentuk kerjasama ini tidak hanya pertukaran mahasiswa dan dosen tapi kolaborasi dalam hal penelitian dan publikasi internasional.

Direktur Pascasarjana Uinsa, Husein Aziz mengatakan kerjasama ini ingin mengembangkan sumber daya manusia (SDM) yang ada di Uinsa. “Serta kami ingin memperluas wawasan,” tuturnya.

Diharapkan, nantinya 1.100 lebih mahasiswa pascasarjana baik S2 maupun S3 dari 14 program studi yang ada di Uinsa bisa memanfaatkan kerjasama ini dengan baik. end

Express Your Reaction
Like
Love
Haha
Wow
Sad
Angry