“Kami setuju pembunuh dan perencana pembunuhan dihukum berat, tapi kemudian kok tiba-tiba mendapatkan remisi terus kemudian tiba-tiba direvisi,” kata Muzani dengan nada heran.
Sikapin inkonsisten itu jelas tidak baik. Jokowi baru bersikap baik ketika diprotes banyak kalangan.
“Ini revisi yang bagus, tapi seperti ini kan terjadi dalam setiap kebijakan dan terulang seperti kasus ABB ketika pak Yusril datang menawarkan kebebasan lalu diralat oleh pak Wiranto dan akhirnya sampai sekarang nggak jelas ceritanya,” sambung wakil ketua MPR itu.
Menurut Muzani, kebijakan yang diambil oleh Presiden Jokowi dan mengalami revisi kerap dilakukan seolah menunjukkan tata kelola administrasi pemerintahan yang kurang baik.
“Menurut saya ada yang salah dalam tata kelola administrasi negara ini,” tegas dia.
Lebih lanjut, dia menyarankan kepada pemerintah untuk mempertimbangkan secara matang atas semua kebijakan yang diambil sebelum akhirnya diputuskan.
“Tata kelola administrasi ini harus ditinjau ulang karena sering terjadi (revisi),” demikian Ahmad Muzani.
Petisi berisi tuntutan agar Jokowi mencabut Keppres 29/2018 tentang Pemberian Remisi Perubahan dari Pidana Penjara Seumur Hidup Menjadi Pidana Sementara.
Ketua AJI Indonesia, Abdul Manan menyebut bahwa tuntutannya itu sudah mulai membuahkan hasil.
“Senang mendengar kabar bahwa Kementerian Hukum dan HAM sudah berkirim surat ke Setneg agar ada pencabutan keppres remisi terhadap Nyoman Susrama,” tegasnya dalam laman Facebook pribadinya.
Bahkan, Manan mengaku sudah mendengar draf keppres pencabutan remisi itu sudah siap.
“Kini kami (AJI, LBH Pers, YLBHI dan komunitas pendukung kebebasan pers), menunggu realisasi selanjutnya berupa penandatanganan keppres itu oleh presiden. Semoga segera menjadi kenyataan,” harapnya. (rmol/wis)