“Peristiwa kenabian dan kerasulan Muhammad SAW merupakan “proklamasi peradaban” yang spektakuler. Konstruksi sosial dan kenegaraan terombak secara total dari kejahiliaan, niradab, menuju era peradaban mulia.”
Oleh Suparto Wijoyo*

INI sebenarnya tulisan untuk kelengkapan dari Tadabbur tempo hari yang perlu diatensi lagi. Anak-anak dan istri dalam rentang pekan ini, sebagaimana keluarga yang lain, acap kali bertanya tentang malam seribu bulan. Malam yang qodar. Malam yang memanggil anak-anak muda dan orang tua kini rindu ke masjid untuk iktikaf. Bahkan ada gerakan iktikaf lagi menjamur di tempat-tempat ibadah. Membanggakan dan mengharukan serta mengharumkan Ramadan. Inilah malam yang super spesial. Dinanti. Dan pekan lalu yang masjid-masjid agak sedikit longgar, kini bangkit. Sementara itu mall-mall semakin ramai jua orang belanja untuk menyambut lebaran 1 Syawal 1446 H. Tahapan puasa Ramadan pada gilirannya memasuki sepuluh hari terakhir yang diyakini akan disinggahi malam seribu bulan. Sekumpulan orang lazim bergerombol duduk iktikaf sebagaimana diserukan Al-Qur’an surah Al-Baqarah Ayat 125: Wa iż ja’alnal-baita maṡābatal lin-nāsi wa amnā, wattakhiżụ mim maqāmi ibrāhīma muṣallā, wa ‘ahidnā ilā ibrāhīma wa ismā’īla an ṭahhirā baitiya liṭ-ṭā`ifīna wal-‘ākifīna war-rukka’is-sujụd. Intinya ada pesan: “…. Bersihkanlah rumahKu untuk orang-orang yang thawaf, yang iktikaf, yang rukuk dan yang sujud”.

Atas nama waktu lailatul qodar, masjid-masjid kampung dan kampus di tengah malam menggeliat. Jamaah asyik beriktikaf. Dan memang, setiap waktu ada saatnya dan setiap saat menyajikan waktunya dengan segala risalahnya. Pewahyuan Al-Qur’an pada bulan Ramadan merupakan “dekrit teologis” yang merombak secara “radikal” status manusia bergelar al-amin yang semula dikenal sebagai Muhammad bin Abdullah semata, berubah menjadi Baginda Nabi Muhammad SAW, Rasulullah SAW. Ini adalah peristiwa besar yang berasal dari ungkapan suci yang kini tertera dalam Al-Qur’an, Surat Al-alaq, ayat 1-5 yang maknanya sudah banyak dihafal para pengiman: Bacalah dengan menyebut nama Tuhanmu Yang Menciptakan. Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah, dan Tuhanmulah Yang Maha Pemurah. Yang mengajar manusia dengan perantaraan kalam. Dia mengajar kepada manusia apa yang tidak diketahuinya.

Peristiwa kenabian dan kerasulan Muhammad SAW merupakan “proklamasi peradaban” yang spektakuler. Konstruksi sosial dan kenegaraan terombak secara total dari kejahiliaan, niradab, menuju era peradaban mulia. Pengaruhnya sangat luas, sehingga Rasulullah SAW menurut para ahli yang berkelas internasional, adalah sosok agung yang paling berpengaruh dalam sejarah. Tidak ada manusia, nabi dan rasul yang tingkat pengaruhnya melebihi Kanjeng Nabi Muhammad SAW. Ajaran Islam telah Allah SWT sempurnakan melalui utusan-utusan-Nya dengan puncak supremasi utusan di tangan Muhammad SAW. Pada spektrum itu, Islam menjadi agama paripurna sebagaimana dapat dibaca dalam Alquran.

Kesempurnaan ajaran Islam dapat dirunut dari mengatur aspek yang sangat sederhana selaksa urusan cuci tangan dan mulut sampai pada yang amat kompleks mengenai tatanan bernegara. Islam hadir dengan ajaran Rabb Yang Maha Sempurna, termasuk memberikan sesi “jeda” untuk berintrospeksi melalui mekanisme puasa Ramadan.

Puasa yang sudah diwajibkan kepada kaum-kaum terdahulu, umat-umat para utusan-Nya sebelum Nabi Muhammad SAW dengan capaian akhir berupa “derajat takwa yang spesial”. Inilah tingkat ketaatan kepada seluruh regulasi Tuhan dalam segala segi kehidupan, karena tidak ada ruas kehidupan yang tidak mendapatkan sentuhan norma dari Allah SWT. Hidup manusia tidak imun dari intervensi Tuhan dan Ramadan memberikan lembar “sajadah” untuk meningkatkan derajat insani.

Pada lingkup itulah Allah SWT tidak membiarkan Ramadan tanpa ornamen yang mengesankan dalam menarik hati hamba-hambanya yang beriman. Puasa sendiri adalah periodesasi istimewa yang hanya diperuntukkan bagi orang-orang beriman dan atas itulah Tuhan menyediakan bonus yang supermewah berupa malam lailatul qodar. Tadarus Al-Qur’an semoga sudah sampai pada Surat Al-Qodr, ayat 1-5 yang sudah biasa dingajikan: “innaaa anzalnaahu fil lailatil-qodr, wa maa adrooka maa lailatul-qodr, lailatul-qodri khorum min alfi syahr, tanazzalul-malaa’ikatu war-ruuhu fiihaa bi’izni robbihim, ming kulli amr, salaamun hiya hatta mathla’il-fajr (sesungguhnya Kami telah menurunkan Alquran padamalam qadar, dan tahukah kamu apakah malam kemuliaan itu?, malam kemuliaan itu lebihbaik daripada seribu bulan, pada malam itu turun para malaikat dan Roh Jibril dengan izinTuhannya, sejahteralah malam itu sampai terbit fajar)”. Subhanallah.

Subhanallah. Orang-orang beriman berkesempatan meraih kemuliaan yang lebih utama dari seribu bulan (83-84 tahun). Apabila angka itu dikalkulasikan dengan jumlah usia masing-masing orang, maka terdapat beratus-ratus tahun umur hambanya yang “merayakan malam lailatul qodar”, “lingsir wengi yang qodar”. Inilah tonggak optimisme untuk mendapatkan “kemuliaan hidup” pada setiap sesi Ramadhan. Kini saya menyaksi betapa orang-orang beriman tengah memenuhi “halaman tauhidnya” menjemput malam kemuliaan. Malam-malam yang disyukuri dengan berkontemplasi bagi hari esok yang gemilang. Dan kalaulah hal ini yang terus diinternalisasi dalam setiap malamnya, sejatinya orang-orang beriman tidak akan pernah kehabisan “berkah malam seribu bulan”, karena malam itu telah dipatrinya pada jiwa terdalamnya. Jiwakanlah malam qodar itu hingga kita semua dalam mengarungi hari esok senantiasa berenergi kemuliaan atasnya. Selamat berpuasa Ramadan menjemput malam yang qadar, yang lebih mulia dari 83-84 tahun. Barokallah.

*Prof Dr H Suparto Wijoyo, S, MHum, CSSL adalah Ketua Lembaga Pemuliaan Lingkungan Hidup dan SDA MUI Jawa Timur, Wakil Ketua Tanfidziyah PWNU Jawa Timur dan Guru Besar serta Wakil Direktur III Sekolah Pascasarjana Universitas Airlangga.

 

Bagaimana reaksi anda?
Like
Love
Haha
Wow
Sad
Angry