Suasana demonstrasi reformasi 1998. (FT/donisetiawan.com)

“Ketika politik masih dianggap sebagai ladang duit, maka, kalkulasi bisnis-lah yang jalan. Siapa mau buntung? Balik modal adalah angka minimal, untung menjadi target utama, duit rakyat menjadi sasaran. Maka, jangan heran, kalau di dunia Parpol semua serba uang.”

Oleh: Mokhammad Kaiyis*

INI catatan kekecewaan. Sungguh, usai reformasi (1998) banyak anak muda tampak gemilang dalam dunia politik. Itu memunculkan harapan besar, ‘arah baru’ Indonesia setelah Orde Baru yang dilabeli korup dan tiran.

Sekedar contoh. Salah satu yang terlihat moncer adalah Anas Urbaningrum, kader HMI (Himpunan Mahasiswa Islam) yang debut politiknya luar biasa melejit. Saat itu, membaca buku ‘Apa Adanya’ — Catatan Harian tentang Anas urbaningrum — karya Muhammad Rahmad, kita dibuat terbelalak.

Tapi, buku yang diterbitkan Pijar Ilmu (2012) itu, hanya berumur setahun. Tahun 2013 Anas sudah tersandang kasus gratifikasi Mobil Toyota Harrier. Kepercayaan publik kepada politisi muda ini, menjadi hancur lebur. Terlebih setelah dia benar-benar terpidana, maka, buku bertajuk ‘Apa Adanya’ seakan terbalik, ‘Ada Apanya’.

Pintu Korupsi Terbuka Lebar

Pernah terbesit niat membuat buku ‘Cara Cepat Menghabiskan Uang Negara’. Sekilas, memang, kelihatan jahat. Tetapi, jika kita membaca modus operandi korupsi di negeri ini, betapa mudah orang (baca: pejabat) menghabiskan uang negara. Pintu korupsi itu, terbuka lebar.

  1. Partai Politik

Ada pernyataan menarik dari seorang politisi (mantan Ketua DPRD) Kota Surabaya. Katanya, kalau Anda ingin kaya, jadilah politisi. Artinya peluang untuk mengkorup uang negara, lebih besar. Sebab, menjadi kaya dengan (hanya) mengandalkan gaji seorang pejabat, adalah naif.

Gaji pokok presiden (jabatan paling top) sekarang Rp 30 juta per bulan. Belakangan ada simpang siur angka. Dalam pertemuan dengan Badan Amil Zakat Nasional di Istana Kepresidenan, Presiden Joko Widodo membayar zakat sebesar Rp 45 juta.

Kalau benar Rp 45 juta itu (hanya) zakat gaji, mengingat besaran zakat 2,5 persen dari total penghasilan setahun, maka, ditemukan besaran gaji Rp 1,8 miliar per tahun atau Rp 150 juta per bulan. Itu pun belum pas dengan nilai yang disebut selama ini, sekitar Rp 60 juta per bulan, sama dengan gaji Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.

Gaji Gubernur Jatim sekarang (konon) sebesar Rp76,9 juta per bulan. Jumlah tersebut sudah ditambah dengan berbagai tunjangan dan insentif. Karena menurut peraturan pemerintah (PP) nomor 16 tahun 1993, gaji Gubernur sebesar Rp3 Juta dan Wakil Gubernur sebesar Rp2,4 Juta.

Gaji bupati di Jawa Timur? Tidak besar, kisaran Rp 6,1 juta per bulan. Gaji DPR RI Rp 51 juta hingga Rp 54 juta, ditambah dengan biaya tunjangan, biaya reses, dan gaji ke-13. Gaji Ketua DPRD Jawa Timur kisaran Rp 56,9 juta per bulan dipotong pajak PPh menjadi Rp 49.748.000, dan seterusnya.

Artinya, pernyataan ‘kalau Anda ingin kaya, jadilah politisi’, tidak masuk akal. Kecuali kekayakan itu diperoleh melalui cara-cara yang korup. Maka, tidak heran, kalau kemudian data Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) cukup mencengangkan. Dari tahun 2004–2017 terdapat 392 Kepala Daerah tersangkut hukum, jumlah terbesar adalah korupsi dengan 313 kasus. Walhasil, politisi yang (dulu) mengajak kaya (lewat politik) sampai sekarang masih mendekam dalam jeruji besi.

Belum lagi biaya politik di negeri ini yang, kelewat tinggi. Untuk menjadi bupati, gubernur atau bahkan presiden seseorang harus menguras duit yang tidak sedikit. Begitu juga kalau ingin menjadi wakil rakyat.

Nah, ketika politik masih dianggap sebagai ladang duit, maka, kalkulasi bisnis-lah yang jalan. Siapa mau buntung? Balik modal adalah angka minimal, untung menjadi target utama, duit rakyat menjadi sasaran. Maka, jangan heran, kalau di dunia Parpol semua serba uang.

  1. Hukum

Hukum di negeri ini belum bisa tegak lurus. Masih meliuk-liuk mengikuti selera penguasa. Lahirnya KPK (Komisi Pembarantasan Korupsi) dilatari melemahnya atau kotornya institusi penegak hukum seperti Kejaksanaan, Kepolisian dan juga Kehakiman.

Suap-menyuap sudah membudaya. Memenangkan perkara dengan uang, itu biasa. Sampai-sampai kepanjangan KUHP diplesetkan menjadi Kasih Uang Habis Perkara. Tidak sedikit penegak hukum yang kemudian dijebloskan ke penjara. Ini fakta.

Tetapi, semua ini belum mampu membersihkan dunia hukum kita, sampai sekarang masih kelihatan super kotor. Terlalu panjang daftarnya kalau harus disebutkan dalam catatan kekecewaan ini.

  1. Hidonisme

Bangsa ini telah larut dalam budaya hidup mewah (hidonisme). Hebatnya, penyakit ini melanda hampir seluruh pejabat dan wakil rakyat kita. Bukan hanya rakyat Indonesia yang ‘ngelus dada’, warga asing pun melihat kita (pejabat Indonesia) kelewat mewah.

Setiap kunjungan anggota DPR ke luar negeri selalu menyedot duit yang tidak tanggung-tanggung miliaran rupiah. Kita pernah mendengar harga laptop anggota DPR RI senilai Rp 21 juta per unit. Bahkan di gedung-gedung DPRD sekarang, hampir sulit menemukan mobil murah, semuanya berkelas. Gaya hidup seperti ini, tentu, membawa dampak kepada dompet mereka, sampai bagaimana cara memenuhinya.

Peran (Penting) Pemuda

Hampir seluruh pergerakan (termasuk di daerah) didominasi pemuda/mahasiswa. Kita mengenal Jong Minahasa, Jong Batak, Jong Ambon, Jong Celebes (Sulawesi), Jong Sumatranen Bond, dan lain-lain. Begitu juga reformasi (1998) yang diharapkan melahirkan ‘arah baru’ Indonesia juga dipelopori pemuda/mahasiswa.

Pertanyaannya: Di mana pemuda /mahasiswa sekarang, ketika negeri ini babak belur dihajar kasus korupsi? Atau justru mereka larut, masuk kubangan yang sama? Pertanyaan dan fakta di atas membuat diskusi ini menjadi penting, dan membutuhkan langkah-langkah konkret berikutnya.

Pemuda atau mahasiwa sekarang harus segera melakukan restart, menemukan kembali formula gerakan baru setelah tokoh-tokohnya banyak terjerumus dalam kubangan politik korup.

Diakui, gerakan restart ini tidaklah mudah. Sebab, arus besarnya, justru mengajak pemuda atau mahasiswa untuk ‘menikmati’ kue-kue politik yang tidak jelas asal-usulnya.

Tidak sedikit pemuda/mahasiswa yang, kemudian berorientasi ke dunia politik praktis. Sah-sah saja, tetapi, ketika jagat politik belum memberikan garansi bebas korupsi, maka, hadirnya pemuda atau mahasiwa ini tidak lebih sebagai pelengkap kejahatan. Ini yang membuat  sebagian besar pemuda atau mahasiswa tak kuasa berteriak. Hati nurani mereka tak kuasa melawan kenyataan. Lalu apa yang bisa dilakukan pemuda/mahasiswa sekarang?

  1. Menangkan Hati Nurani

Memenangkan hati nurani, sama artinya mengedepankan moralitas. Pemuda/mahasiswa harus yakin, bahwa, mental korup (sekecil apa pun) akan membahayakan masa depan bangsa. Dampak korupsi itu sangat berbahaya, baik aspek sosial, politik, birokrasi, ekonomi, dan individu. Pertanggungjawaban akhiratnya jauh lebih rumit, karena berkaitan dengan uang rakyat.

Memenangkan Hati Nurani, tentu, tidak mudah. Karenanya, mahasiswa atau pemuda tidak boleh bosan melalukan diskusi terhadap masalah ini. Harus dipatri dalam setiap anak bangsa, bahwa, belajar tidak sekedar memburu nilai A. Lebih dari itu adalah pentingnya memenangkan hati nurani dalam setiap tindak-tanduknya, termasuk dalam mengidentifikasi dan mencegah terjadinya tindak korupsi.

  1. Bergerak Keluar

Gerakan keluar pemuda/mahasiwa dalam mengawal dan menghalau korupsi belakangan kehilangan greget. Mestinya mereka lebih peka terhadap indikasi-indikasi korupsi. Pemuda/mahasiswa bisa memanfaatkan media massa untuk menyokong gerakan itu. Dikhawatirkan, loyonya pemuda atau mahasiswa ini justru lantaran senior-seniornya yang terlibat dalam kasus-kasus korupsi.

Begitu juga dalam menyikapi regulasi yang membuka peluang korup, semakin tidak terdengar. Perlawanan terhadap UU MD3 hanya sebatas turun jalan. Tidak mampu menemukan akar masalahnya. Padahal, jika dilakukan kajian lebih dalam, pemuda atau mahasiswa bisa memberikan shock therapy bagi politisi atau bahkan partai politik yang mendorong terbitnya UU MD3 tersebut.

  1. Hindari Hidonisme

Ingat! Tahun 2020-2030 negeri ini mengalami bonus demografi, jumlah usia angkatan kerja mencapai 70 persen. Hari ini (2018), populasi pemilih millenial ada 40 persen dari populasi Indonesia, bahkan ada yang menyebut di atas 50 persen. Artinya apa? Pemuda atau mahasiswa menempati posisi strategis.

Tetapi, jangan sampai kabar bonus demografi ini membuat ciut nyali, sehingga harus banting setir ke dunia yang dianggap lebih mudah cari duit, seperti partai politik. Pilihan hidup sederhana, hindari hidonisme, harus tetap mengemuka. Bahaya hidup mewah harus sering dikaji. Seperti judul buku Anas, ‘Apa Adanya’.

Tetapi, kalau kita terbiasa hidup mewah, maka, yang mampir adalah sikap sombong, boros, suka merendahkan yang lain, memancing orang lain iri hati. Jika demikian, maka, setiap gerakan yang dilakukan, termasuk dalam politik misalnya, selalu bertanya ‘Ada Apanya’. Waallahu’alam. (*)

*Mokhamamd Kaiyis, Pemred Harian Umum Duta Masyarakat . Disampaikan dalam Seminar Kepemudaan — Mewujudkan Peran Generasi Muda dalam Pencegahan Tindak Pidana Korupsi di Segala Bidang, Kamis 29 Maret 2018 di Aula Fakultas Dakwah dan Komunikasi UINSA Surabaya.