
JOMBANG | duta.co – Di sudut dusun terpencil Kecamatan Sumobito, Atim (50), petani sederhana, hanya bisa memandangi sawahnya yang tergenang air hujan. Bukan karena berkah, tapi akibat saluran irigasi yang tak kunjung diperbaiki.
“Sudah bertahun-tahun begini, katanya mau dibangun. Tapi katanya juga, belum ada anggaran,” keluhnya lirih di tengah becek sawah, Senin (23/6).
Keluhan Atim mungkin terdengar biasa. Namun di baliknya, tersimpan ironi menyakitkan. Saat rakyat bergelut dengan lumpur dan harapan yang mandek, di ruang-ruang sejuk kantor pemerintahan, para elite justru sibuk menyusun angka demi angka—bukan untuk rakyat, tapi demi mengamankan tunjangan dan proyek-proyek yang tak menyentuh kebutuhan mendasar warga.
Menurut pengamat ekonomi pembangunan dan budaya, B. Salatin, inilah yang disebut korupsi kebijakan. Bukan korupsi yang mencuri uang secara langsung, melainkan merancang ketimpangan melalui kekuasaan dan peraturan.
“Ini bukan soal amplop atau suap. Tapi bagaimana kekuasaan digunakan untuk membuat aturan yang secara legal menguntungkan elite, dan merugikan rakyat,” tegas Direktur Lembaga PKM Poligon Konsultan Manajemen itu kepada duta.co.
Angka-Angka yang Berbohong
Salatin menyebut penyusunan APBD Jombang 2025 menyimpan banyak kejanggalan. Salah satunya, belanja pegawai yang melebihi 30 persen dari total APBD—melanggar Pasal 146 Permendagri No. 15 Tahun 2024 dan Perbup Jombang No. 6 Tahun 2025.
Sementara itu, belanja infrastruktur publik yang semestinya menjadi prioritas, justru tak mencapai 40 persen seperti diwajibkan Pasal 147 Permendagri.
Yang lebih memprihatinkan, DIPA (Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran) tidak dipublikasikan secara terbuka. Padahal, keterbukaan itu adalah mandat Undang-Undang No. 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik.
“Kalau Sekda atau pimpinan daerah tahu ada penyusunan anggaran yang menyalahi hukum tapi tetap membiarkannya, mereka bisa dijerat sebagai pelaku,” ujar Salatin merujuk pada Pasal 2 dan Pasal 3 UU Tipikor No. 31 Tahun 1999 jo. UU No. 20 Tahun 2001.
Sistemik dan Sulit Terlacak
Menurut Salatin, korupsi kebijakan adalah bentuk korupsi paling canggih. Ia sistemik, masif, dan sulit dilacak karena dibungkus dalam dokumen dan prosedur yang tampak sah.
“Korupsi model ini menciptakan distorsi kebijakan dan pasar. Akibatnya, rakyat Jombang bukan hanya kehilangan layanan dasar, tapi juga kepercayaan pada pemerintahnya sendiri,” jelasnya.
Ia menduga kuat bahwa penyusunan APBD 2025 memang “dimainkan” oleh birokrasi. Jika terbukti Sekretaris Daerah atau pejabat teknis lain melanggar ketentuan Permendagri dan Perbup, maka mereka dapat dikenai sanksi administratif hingga pencopotan jabatan.
Audit Menyeluruh Jadi Keniscayaan
Salatin menegaskan, indikasi pelanggaran regulasi, ketertutupan informasi, dan praktik penyusunan anggaran yang menyimpang dari kepentingan publik adalah sinyal keras bahwa APBD Jombang 2025 perlu diaudit secara menyeluruh.
“Pemerintah daerah tidak cukup hanya patuh pada administrasi. Mereka harus menjunjung tinggi integritas dan akuntabilitas dalam seluruh proses anggaran,” tandasnya.
Sementara itu, Atim dan ribuan rakyat kecil lainnya masih harus bersabar—menunggu air irigasi mengalir, bukan dari langit, tapi dari keadilan yang mungkin terlalu jauh dari kantor-kantor pemerintahan. (din)