SEMINAR NASIONAL : Anggota Komisi X/Fraksi Partai Golkar DPR RI Ridwan Hisjam saat berbicara dalam seminar Legislatif untuk Siapa di Kampus Unitomo, Sabtu (15/4). DUTA/istimewa

SURABAYA | duta.co – Pemilihan umum (Pemilu) dengan sistem terbuka nampaknya perlu dievaluasi. Karena, hal itu dianggap menguntungkan salah satu pihak yakni para konglomerat yang memiliki banyak duit. Sehingga merekah yang bisa memenangkan ‘jagoan’ untuk memimpin salah satu wilayah di Indonesia.

Anggota Komisi X/Fraksi Partai Golkar DPR RI Ridwan Hisjam menjadi salah satu anggota DPR RI yang nampaknya kurang setuju dengan pemilu terbuka. Hal itu disampaikannya saat menjadi salah satu pembicara pada Seminar Legislatif Untuk Siapa?, di Auditorium Ki Saleh, Universitas Dr. Soetomo (Unitomo) Surabaya, Sabtu (15/4). “Sistem terbuka yang menang konglomerat. Yang setuju pemilihan tertutup cuma (fraksi) Partai Golkar dan PDIP,” kata Tatok, sapaan Ridwan Hisjam.

Menurutnya, biaya (cost) politik sistem terbuka seperti sekarang ini cukup besar. Ridwan mencontohkan dirinya untuk duduk di DPR RI melalui daerah pemilihan Malang Raya menghabiskan anggaran Rp5 miliar.

Dana itu dia sebut bukan untuk money politic melainkan cost politic. “Saya membayar relawan tiga bulan, memberi makan tiap hari. Relawan menemui warga, meyakinkan untuk memilih saya. Gaji saya cuma Rp50 juta per bulan selama lima tahun, total sekitar Rp3 miliaran. Terus kekurangan Rp2 miliar cari kemana?,” tanya Ridwan.

Pria yang pernah duduk di DPRD Jatim dan utusan golongan ini menegaskan pemilihan langsung atau terbuka dampaknya luar biasa. Antarwarga, bahkan saudara bisa tidak saling menyapa lantaran perbedaan pilihan.

“Harusnya rakyat cukup memilih wakilnya di DPRD kota, kabupaten, provinsi, pusat (DPR RI). Baru para wakil ini memilih kepala daerah secara musyawarah dan tertutup. Sistem sekarang tidak demikian. Yang punya duit yang menang,” katanya.

Sistem politik sekarang, menurutnya, yang memiliki uang bisa menang. Bisa terpilih menjadi gubernur, bupati, wali kota, dan bahkan presiden. “Pak Jokowi terpilih sebagai presiden bukan karena punya duit, tapi pendukungnya punya duit. Dari wali kota Solo yang cuma memimpin beberapa kecamatan, menjadi gubernur (DKI) sebentar, dan menjadi presiden. Sekarang bingung, banyak yang diurusi,” paparnya.

Sistem terbuka, menurut Ridwan, yang membuat tatanan rusak. Dia mencontohkan mantan ketua DPRD Jatim Fatorrasjid yang masuk tahanan lantaran korupsi. Mantan ketua umum DPP Partai Demokrat Anas Urbaningrum yang dulunya tokob mahasiswa era 1998 masuk penjara lantaran korupsi. “Semua politik UUD, ujung-ujungnya duit. Ini karena rakyat belum sejahtera,” tandasnya.

Pengamat politik Universitas Brawijaya (UB) Malang Yoyok Budi Santoso di forum yang digelar Foru Lembaga Legislatif Mahasiswa Indonesia (FL2MI) itu minta mahasiswa tetap kritis terhadap kinerja wakil rakyat. “Fungsi-fungsi legislatif sekarang bermasalah. Mahasiswa harus terus berperan, berjuang memberikan kontrol,” kata Yoyok yang mantan aktivis.

Koordinator Wilayah FL2MI Jatim Hendi Bagus Febriyanto menegaskan ke kader FL2MI lintas kampus se Jatim untuk mengawasi kinerja legislatif supaya membawa perubahan lebih baik bagi masyarakat.  Penuturan yang sama disampaikan Ketua Dewan Legislatif Mahasiswa (DLM) Unitomo Wiyono. “Melalui banyak forum, mahasiswa akan selalu mengingatkan kembali komitmen, tupoksi wakil rakyat,” sebut Wiyono. (end)

Express Your Reaction
Like
Love
Haha
Wow
Sad
Angry