CADAR: Mahasiswi di sebuah perguruan tinggi di Kairo mengenakan cadar di lingkungan kampus. (AFP)

JAKARTA | duta.co – Ketua Pengurus Besar Nahdlatul Ulama Sulton Fatoni menghargai peraturan Rektor Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta yang melarang penggunaan cadar di lingkungan civitas akademika. “Langkah itu tidak melanggar HAM, karena rektor tidak melarang menutup aurat, yang dilarang hanya memakai cadar,” kata Sulton, Kamis (8/3).

Menurut dia, dalam konteks pelarangan cadar di UIN itu rektor sedang memberlakukan peraturan yang memudahkan proses belajar mengajar perkuliahan dengan cara memilih memberlakukan dua aturan, yaitu kerudung jilbab dan tidak cadar.

Kendati demikian, Sulton tidak menyalahkan jika ada muslimah yang berketetapan menggunakan cadar. Memakai cadar, kata dia, bagian dari syariat Islam. Membuka wajah dengan cara memakai kerudung dan jilbab juga syariat Islam.

Tiga jenis mode itu termasuk kategori menutup aurat. Dalam konteks penggunaan cadar di tempat terbuka, kata dia, siapapun tidak boleh memprotes seorang wanita bercadar tersebut. Namun, kata Sulton, pelarangan penggunaan cadar itu diperbolehkan untuk kemaslahatan di area privat seperti di perkantoran, tempat belajar dan tempat tertutup lainnya. “Yang tidak boleh itu pelarangan menutup aurat,” kata dia.

Aturan yang melarang mahasiswa UIN Yogyakarta untuk memakai cadar di lingkungan kampus ini telah memicu perdebatan. Keputusan itu diambil dengan pertimbangan untuk mencegah meluasnya aliran Islam anti-Pancasila.

Berdasarkan surat keputusan rektor, mahasiswa bercadar wajib mendaftarkan diri untuk dibina sebelum tanggal 28 Februari 2018. Rektor UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta Yudian Wahyudi menyebut ada sekitar 41 mahasiswa bercadar di UIN yang akan diberi pembinaan oleh pihak kampus. Bila tetap tak mau lepas cadar di kampus, mereka akan dipersilakan kuliah di tempat lain.

Di Jawa Timur sendirik UIN Sunan Ampel Surabaya sudah lama melarang mahasiswinya mengenakan cadar. Hanya saja, aturan itu tidak tertulis. Rektor Prof Abd A’la menginstruksikan setiap dekan untuk menyosialisasikan aturan itu kepada mahasiswi. Dan sejauh ini tidak ada mahasiswi UIN Sunan Ampel Surabaya yang mengenakan cadar.

 

UIN Yogya Kaji Ulang

Sementara setelah mendapat sorotan banyak pihak, UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta berencana membahas ulang kebijakan mendata dan membina mahasiswi yang bercadar. Rektor UIN Sunan Kalijaga Yudian Wahyudi menjelaskan, sebelumnya pihaknya berencana menggelar rapat internal pada Jumat (9/3) hari ini. Namun sepertinya rencana itu urung dilaksanakan dalam waktu dekat. “Tidak (jadi rapat Hari Jumat). Saya masih di luar kota,” kata Yudian lewat pesan singkat.

Yudian menjelaskan bahwa pihaknya akan menggelar rapat untuk mempertimbangkan masukan dari berbagai pihak. Dalam rapat itu pihaknya akan mengambil keputusan. “Kita analisis semua berita itu, kita perhatikan (masukan) ya, begitu. Iya (bisa saja dicabut), kita lihat bagaimana nanti. Karena kita mendengar, mempertimbangkan dari berbagai pihak,” jelasnya.

Sebenarnya, lanjut Yudian, kebijakan pembinaan mahasiswi bercadar yang pihaknya lakukan dalam rangka menyelamatkan mahasiswinya dari paham radikal. Namun ternyata maksud tersebut dimaknai lain oleh sejumlah pihak.

“Kita ini hanya (ingin) menyelamatkan anak-anak ini, tapi kan orang berpikir lain kan. Tapi pada intinya akan kita pertimbangan usulan-usulan. Ya kita masih mau rapatkan, kita rapatkan perkembangannya seperti apa,” tutupnya.

 

Menristekdikti Temui Menag

Sementara itu, Menteri Riset, Teknologi dan Pendidikan Tinggi (Menristekdikti) Mohammad Nasir menyatakan akan bertemu dengan Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin. “Kami sampaikan ke Menag [Menteri Agama] karena [peraturan ini] di UIN. Di Kemenristekdikti sudah jelas kebijakannya. Artinya semua penduduk Indonesia antarsuku, agama ras, dan gender punya hak yang sama,” kata Nasir di Universitas Airlangga Surabaya, Kamis (8/3).

Nasir menjelaskan, pertemuannya dengan Menag nantinya akan menyampaikan terkait menyangkut hak asasi manusia seseorang. Yang paling penting, penggunaan cadar tidak identik dengan radikalisme. “Saya akan bicara. Saya belum ketemu. Bukan menolak, tapi tidak ada diskriminasi semua perguruan tinggi di bawah Kemenristekdikti,” ujarnya.

Dia menegaskan, aturan penggunaan cadar adalah urusan kampus. Jika terjadi larangan berpakaian, itu juga menjadi urusan kampus masing-masing. Sebab, Kemenristekdikti tidak mengatur hal itu.

Namun, pihaknya akan tetap mengingatkan perguruan tinggi untuk tidak melakukan diskriminasi kepada anak bangsa. Kemenristekdikiti juga memberikan satu kebebesan pada anak bangsa dan tidak ada diskriminasi antara sesama umat manusia, suku dan gender tidak ada perbedaan. “Ini kebijakan sangat jelas. Tapi kalau terjadi radikalisme harus dilarang dulu,” ucapnya.

 

Sultan Angkat Bicara

Terpisah, Gubernur DIY Sri Sultan Hamengku Buwono X menegaskan, tidak ada pelarangan penggunaan cadar di kampus. “Bukan melarang, jadi bukan tidak boleh, belum ada keputusan (melarang) seperti itu,” kata Sultan, Kamis (8/3).

Walau meminta ada kebijakan yang perlu dipertimbangkan, Sultan sendiri tidak merasa ada perguruan tinggi di DIY yang melakukan pelarangan. Yang ada sekarang hanya tim yang ingin membangun dialog kepada mahasiswi-mahasiswi yang bercadar.

Artinya, lanjut Sultan, sejauh ini belum ada keputusan perguruan tinggi mana pun yang ingin melarang mahasiswinya menggunakan cadar. Apalagi, soal isu-isu yang mengatakan perguruan tinggi akan mengeluarkan mahasiswinya yang bercadar. “Itu isu, tapi kan tidak ada ketentuan yang mengatur (pemecatan) itu,” ujar Sultan.

Sultan menegaskan, memang ada perguruan tinggi yang membentuk tim untuk melakukan pembinaan dan komunikasi dengan mahasiswi-mahasiswi yang menggunakan cadar. Karena itu, dia berharap, itu tidak dibolak-balik, apalagi diartikan sebagai pelarangan penggunaan cadar. hud, net

Express Your Reaction
Like
Love
Haha
Wow
Sad
Angry