Arifin adalah Aktifis BEM JATIM, BEM Nusantara, BEM Pesantren. (FT/IST)

“Posisi NU atau pengurus NU harus lebih difokuskan pada perawatan nilai-nilai politik kebangsaan & keummatan, memberikan solusi yang lebih urgen lagi atas beberapa permasalahan bangsa.”

Oleh: Miftahul Arifin*

AKROBATIK para pengurus NU semakin menjadi-jadi dan membuat sebuah eksistensi. Menjelang Pilihan Presiden tahun 2019, PBNU memberikan usulan nama CAWAPRES, baik langsung maupun tidak langsung, ini secara tidak sadar sama saja PBNU melanggar Khittah.

Bukti konkret di beberapa media massa sulit dihapus, peperangan yang sangat alot juga menampilkan politik identitas di media massa, ini menjadi keprihatinan kita bersama sebagai grassroot NU. Harus dilakukan evaluasi diri dengan penuh kesadaran, dan ini merupakan kunci utama untuk mengantarkan NU lebih baik lagi ke depannya,

Kenapa harus demikian? Karena NU sendiri telah berkomitmen untuk tidak berpolitik praktis, NU lebih fokus terhadap politik kebangsaan dan keumatan.

Menghindari keikutsertaan berpolitik praktis ini merupakan solusi terbaik bagi pengurus struktural NU. Di sadari atau tidak, posisi (berpolitik) tersebut penuh dengan sensitivitas ummat.

Perlu diingat, sikap NU dalam pusaran politik praktis termanifestasi dari prinsip khittah, maka NU Hadir dengan merangkul semua kepentingan, Moderasi aktor di internal NU juga menjadi sangat penting. Apalagi faktanya, kader-kader NU bersebaran di beberapa partai politik. Ada yang baju hijau, kuning, merah, biru dan lain sebagainya,

Artinya moderasi yang dimaksud di atas adalah NU sebagai bapak dari semua kader-kader yang bertebaran di semua partai, tentu kebijakan ini sangat jelas sekali. Jadi, meski pengurus NU mengatasnamakan pribadi, kemudian berdiri dalam satu kepentingan saja, maka, tindakan tersebut kurang baik, melanggar khittah. Ujungnya kembali ke awal, sensitivitas ummat yang begitu besar.  Hal ini tentu, rentan terhadap perpecahan.

Pentingnya Komitmen Khittah di Setiap Lini Kepengurusan

Pada Muktamar NU di Sukorejo, Situbondo, tepatnya di Pondok Pesantren Salafiyah Syafi’iyah Sukorejo Situbondo, telah terumuskan prinsip-prinsip Khittah Nahdiyyah, didalamnya sudah jelas NU sebagai jam`iyah diniyah-ijtima`iyah. Dalam formulasi khittah tersebut juga termaktub bahwa NU tidak terikat dengan politik apapun, hal ini memberikan pemahaman bahwa NU yang diwakilkan kepada strukural harus tetap konsisten menjaga komitmen, tidak tergiur dengan buaian politik praktis.

Kepentingan syahwat politik secara pribadi alangkah lebih baiknya tidak dibawa dalam jam’iyyah NU. Kemudian sebagai pengurus struktural NU alangkah lebih bijaknya pula untuk berhati-hati dalam bersikap dan bertindak agar ummat tetap kondusif.

Pengurus NU sebagai simbol dari NU itu sendiri, keduanya sulit untuk dipisahkan. Apalagi akhir-akhir  ini semarak pencarian calon wakil presiden  yang akan menghadapi Pilpres pada tahun 2019 mendatang,  harus ada iktikad baik untuk memperbaiki cara bersikap dan bertindak di dalam NU itu sendiri.

Jika ingin ada revitalisasi menuju arah yang lebih baik, ini harus dilakukan. Untuk melakukan revitalisasi tidak bisa dengan perinduvidual saja namun harus dimasifkan dengan penyadaran di semua lini, baik pengurus tingkat ranting, cabang, kabupaten (PC) ataupun tingkat provinsi (PW) dan terakhir tingkat pusat (PB). Semua komitmen khittah nahdiyyah, dan terus digelorakan untuk menggapai misi revitalisasi menuju arah pembaharuan yang lebih baik lagi.

Pentingnya memahami Politik Kebangsaan & Keumatan

Memahami politik kebangsaan dan keumatan adalah sangat penting bagi semua pihak di dalam tubuh NU. Politik Praktis dan Politik Kebangsaan dan Keumatan sangatlah berbeda. Pemaknaan Politik Kebangsaan dan Keumatan NU yakni merajut semua permasalahan Bangsa dan solusi-solusi yang didalamnya ada nilai-nilai yang sepaham dengan pemahaman pemikiran NU, seperti toleransi (tasammuh), moderat (tawassut) tawazzun, i’tidal.

Percikan api yang terjadi pada bangsa Indonesia akhir-akhir ini adalah munculnya beberapa Kelompok Intoleran, mengatasnamakan Agama untuk kepentingan Politik Praktis, teror bom terjadi di beberapa kota, konteks teror bom di Jawa Timur Surabaya dan Bangil sebagai saksi bahwa perlu penanganan serius terhadap permasalahan pemahaman inoleran dan gerakan-gerakan radikal lainnya.

Sementara jika internal NU masih sibuk terhadap pergulatan politik praktis, maka tidak bisa terbayang jika pada nantinya kelompok-kelomok radikal dan separatis menguasai tanah air Indonesia. Pengurus NU dan massa NU pada posisi ini harus hadir dengan semangat Tasammuh dan Tawassut.

Pada Konteks permasalahan ini tentu nilai-nilai moderasi dalam beragama dan berbangsa merupakan ciri khas pemikiran NU, sejarah mencatat NU telah berhasil mengkolaborasikan antara kepentingan keagamaan dan kepentingan kebangsaan. Sehingga keduanya merupakan satu kesatuan yang tidak bisa dipisahkan.

Posisi NU atau pengurus NU harus lebih difokuskan pada perawatan nilai-nilai politik kebangsaan & keummatan, memberikan solusi yang lebih urgen lagi atas beberapa permasalahan bangsa.

Sesuai dengan adagium di atas pentingnya memaknai Politik Kebangsaan dan Keumatan ini bukan hanya dimaksudkan untuk menghindari Politik Praktis semata, namun lebih luas lagi untuk menjaga keutuhan NKRI Dan kebhinekaan yang telah kita jaga selama ini.

Jika NU atau pengurus NU masih sibuk dengan Kepentingan Politik Praktis maka hal tersebut sangat kecil sekali, terlalu rendah Muruah (jatidiri) NU jika masih perang internal mengenai permasalahan kepentingan perinduvidual dalam politik Praktis.

Harapan Penulis, meneggakkan prinsip serta komitmen khittah nahdiyyah tidak bisa ditawar-tawar ataupun diganggu gugat, semoga saja semua lini strukural NU dari tingkat ranting hingga Pengurus Besar bisa mengimplemasikan Khittah secara Kaffah.

Mari Kita jaga Jatidiri NU dengan bersikap Tasammuh, Tawazzun, Tawassut dan I’tidal. Beban kepentingan pribadi memang juga harus dilaksanakan namun harus lebih berhati-hati lagi. Beberapa Historis PILGUB JATIM kemarin tetap menjadi Pelajaran serta di Evaluasi secara matang, meskipun sering terjadi mengatasnamakan pribadi, namun dilihat pula sebagai pengurus NU.

Karena kepemimpinan NU dan pribadi tidak bisa dipisahkan secara sosial yang kita lihat pada konteks hari ini. Lebih baik PBNU tidak terlalu aktif memberikan peran opsi cawapres terhadap siapapun calon Presidennya, keikutsertaan secara individu dalam politik praktis di PBNU harus menjaga batas normal, agar semuanya menjadi terpayungi dari rumah  besar Islam  moderat yakni NU.

*Miftahul Arifin adalah Aktifis BEM JATIM, BEM Nusantara, BEM Pesantren. Asean muslim Sudents Associaton (AMSA), Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII),  Ikatan Pemuda Pengawal Ekonomi Desa Indonesia (IPPEDI) & Ikatan Santri Slafiyah Syafiiyah Sukorejo (IKSASS).

Express Your Reaction
Like
Love
Haha
Wow
Sad
Angry