“Menarik! Tulisan panjang Suhermanto Ja’far, sangat menarik diikuti. Sebagai warga nahdliyin yang berada di Kampus (UIN SA), suaranya memang patut didengar. Tulisan tersebut dikirim ke redaksi duta.co sebagai catatan dari warga NU yang berada di luar struktur.”
Oleh Suhermanto Ja’far*

PBNU sedang menghadapi krisis paling serius akhir akhir ini. Krisis ini bukan sekadar soal pemakzulan Ketum atau konflik internal biasa, yang terjadi justru jauh lebih dalam: PBNU sedang disandera oleh patronase politik, yang bekerja melalui echo chambers dan filter bubble di sekitar Rais Aam. Organisasi yang semestinya menjadi benteng moral bangsa berubah menjadi medan tarik-menarik kepentingan elite politik dan para broker yang bersembunyi di balik sorban.

Krisis ini sifatnya bukan teknis, bukan administratif, dan bukan sekadar dinamika pergantian kepemimpinan. Ini adalah krisis struktural yang menggerogoti fondasi jam’iyah dari dalam. Konflik pemakzulan Ketum mungkin menjadi pemicunya, tetapi hanya merupakan puncak gunung es. Yang lebih berbahaya adalah erosi legitimasi moral dan rusaknya ekosistem komunikasi di tubuh PBNU. Ketika ruang deliberasi melemah dan suara kiai sepuh tidak didengar, itu tanda bahwa yang rusak bukan sekadar mekanisme organisasi, tetapi kultur kepemimpinan yang selama ini menjadi identitas NU.

Krisis ini semakin dalam karena PBNU tidak lagi bergerak berdasarkan prinsip syura, tetapi tersandera oleh patronase politik yang bekerja seperti gurita: menjalar, memeluk, dan menekan dari berbagai arah. Patronase politik bukan hanya hadir dalam bentuk dukungan kekuasaan dari luar, tetapi terinstitusionalisasi ke dalam lingkaran inti Rais Aam. Di titik inilah krisis PBNU menjadi berbeda dari konflik internal sebelumnya; kini yang mengendalikan alur informasi, akses keputusan, dan framing persoalan bukan lagi para kiai, melainkan para makelar politik yang lihai menyusun strategi untuk mempertahankan pengaruhnya.

PBNU membutuhkan pemimpin yang berwawasan luas, adaptif, kritis terhadap data, dan terbuka terhadap masukan beragam—bukan pemimpin yang hidup dalam ruang gema yang menutup diri dari kenyataan dan kritik. Ketika Rais Aam hanya mendengarkan penasihat atau kroni yang memperkuat opini personalnya, maka keputusan strategisnya menjadi tidak berbasis data, tidak inklusif, dan tidak mencerminkan kepentingan sivitas akademika. Inilah awal dari stagnasi dan kemunduran institusional.

Pola echo chambers menyebabkan Rais Aam tidak bisa melihat realitas PBNU secara objektif. Ia merasa kebijakannya selalu benar, walaupun berdampak buruk terhadap dinamika organisasi. Kritik dianggap ancaman, bukan masukan. Orang-orang yang mengingatkan, jika tidak sejalan dan sepaham dengan dirinya dibungkam atau disingkirkan. Hal ini menciptakan budaya organisasi yang penuh ketakutan, bukan budaya dialog.

Sementara itu, filter bubble membuat Rais Aam terisolasi dari informasi penting. Semua informasi “difilter” oleh lingkaran terdekat, sehingga Rais Aam hanya menerima informasi yang menguntungkan pihak tertentu, termasuk usulan ishlah dari para Kiai Sepuh dan Mustasyar. Ia tidak mengetahui persoalan riil di lapangan, dan tidak memiliki gambaran utuh mengenai tantangan organisasi. Dalam situasi seperti ini, kebijakan organisasi menjadi tidak akurat, tidak relevan, bahkan kontraproduktif.

Inilah cara kerja Jaringan patronase dalam lingkaran Rais Aam, yaitu dua instrumen utama: echo chambers dan filter bubble. Echo chambers memastikan Rais Aam hanya mendengar satu narasi—narasi yang disusun oleh lingkaran kecil yang memiliki kepentingan mempertahankan status quo. Sementara filter bubble memutus akses informasi lain, menghalangi laporan yang tidak sesuai kepentingan politik, dan “memoles” setiap gejolak di daerah agar tampak seolah tidak ada masalah. Akibatnya, keputusan-keputusan penting PBNU diambil berdasarkan realitas yang sudah direkayasa, bukan realitas objektif jam’iyah. Kondisi ini adalah bentuk paling akut dari isolasi kepemimpinan.

Situasi menjadi jauh lebih rawan ketika organisasi yang seharusnya menjadi benteng moral bangsa justru berubah menjadi arena perebutan pengaruh yang dikelilingi para broker politik berkedok pengabdian. Para aktor ini bekerja dengan taktik halus: mendekati pemimpin, mengendalikan narasi, mengatur pertemuan, dan memagari akses para kiai. PBNU kehilangan kejernihan visi karena ruang di sekitar Rais Aam kini dipenuhi oleh orang-orang yang lebih loyal kepada jaringan kekuasaan daripada kepada etika jam’iyah. Ketika patronase politik berhasil menggeser peran ulama dari pusat pengambilan keputusan, maka yang dipertaruhkan bukan lagi manajemen organisasi—melainkan masa depan moral NU sebagai rumah besar umat.

Patronase Politik: Jaringan Kekuasaan yang Membungkam Para Kiai

Patronase politik kini menjadi penyakit paling merusak dalam tubuh PBNU. Ia bekerja pelan namun sistematis, menjalar dari pinggiran hingga ke pusat kekuasaan syuriyah. Jaringan kepentingan politik nasional—baik yang berbasis elektoral, ekonomi, maupun orientasi kekuasaan murni—berhasil membangun lingkaran pengaruh di sekitar Rais Aam. Lingkaran ini bukan sekadar kumpulan orang dekat atau staf yang membantu kerja kepemimpinan; mereka adalah arsitek opini, penjaga akses, dan pengendali aliran informasi yang menentukan apa yang boleh dan tidak boleh didengar oleh Rais Aam. Dalam praktiknya, pemimpin tertinggi jam’iyah tidak lagi memperoleh masukan dari spektrum luas kiai dan struktur NU, melainkan hanya dari segelintir pihak yang memiliki kepentingan mempertahankan dominasi politiknya.

Dalam situasi seperti ini, aliran informasi yang seharusnya objektif, jujur, dan representatif berubah menjadi informasi versi lingkaran politik. Mereka secara efektif memainkan peran sebagai political gatekeepers, menentukan siapa yang layak ditemui, mana pendapat yang perlu disampaikan, dan mana yang harus diblokir. Informasi mengenai keresahan cabang, ketegangan struktural wilayah, maupun pandangan kritis para ulama kultural sering kali tidak sampai pada Rais Aam, atau disampaikan dalam bentuk yang sudah dipoles agar tidak mengganggu kenyamanan para penjaga akses itu. Setiap suara yang berpotensi mengancam stabilitas pengaruh mereka akan dipinggirkan sedemikian rupa, sehingga kepemimpinan puncak NU secara perlahan kehilangan kemampuan membaca realitas jam’iyah.

Dampak paling mencolok dari patronase politik ini terlihat ketika suara para kiai sepuh dari Lirboyo dan Tebuireng—dua poros otoritas moral tertinggi dalam tradisi NU—disisihkan secara halus. Bukan karena argumen mereka tidak relevan atau solusi ishlah mereka tidak mungkin dijalankan, tetapi karena suara-suara itu dianggap mengganggu keseimbangan kekuasaan yang selama ini dinikmati lingkaran elite tersebut. Keputusan-keputusan strategis yang seharusnya berlandaskan hikmah kolektif ulama menjadi terperangkap dalam kalkulasi politik yang dijaga ketat oleh kelompok yang lebih loyal kepada jaringan patronase dibandingkan kepada kepentingan jam’iyah.

Pada titik inilah patronase politik menempatkan dirinya di posisi yang jauh lebih tinggi daripada yang seharusnya. Ia tidak hanya berdiri di atas para kiai yang menjadi pilar moral NU, tetapi juga melampaui otoritas syuriyah sebagai lembaga tertinggi pengambil keputusan. Bahkan, ia secara perlahan menggeser jam’iyah itu sendiri—membuat NU tidak lagi digerakkan oleh kolegialitas ulama, melainkan oleh kehendak sekelompok kecil broker politik yang beroperasi di balik retorika pengabdian. Ketika patronase berada di atas prinsip dan di atas para kiai, maka NU sesungguhnya sedang berada di jalur yang berbahaya.

Echo Chambers: Lingkaran Elite yang Menciptakan Narasi Palsu

Di sekitar Rais Aam PBNU telah terbentuk sebuah echo chamber yang bekerja seperti ruang gema tertutup, tempat hanya satu narasi yang dibiarkan bergema dan menggantikan kenyataan. Narasi itu bukan lahir dari proses syura, bukan hasil dialektika para kiai, dan bukan pula cerminan pandangan jam’iyah secara keseluruhan. Ia adalah narasi yang dibentuk dan dipelihara oleh sekelompok kecil elite politik internal PBNU yang memiliki kedekatan dengan kekuasaan nasional. Lingkaran ini aktif menciptakan kesan bahwa PBNU berada dalam kondisi stabil, terkendali, dan solid, meskipun pada saat yang sama gelombang keresahan dan kritik dari tingkat bawah hingga kiai sepuh terus meningkat di berbagai wilayah.

Dalam ruang gema itu, setiap bentuk kritik dibingkai sebagai ancaman. Perbedaan pendapat diperlakukan sebagai upaya menggulingkan legitimasi kepemimpinan. Kiai yang mencoba memberikan nasihat atau mengingatkan deviasi struktural dijadikan seolah pengganggu stabilitas jam’iyah. Bahkan keputusan yang kontroversial—yang jelas memiliki implikasi politis—akan dikemas sebagai bagian dari “ijtihad jam’iyah”, meski tidak pernah melalui mekanisme deliberatif yang seharusnya melibatkan syuriyah dan para ahli. Narasi ini bekerja efektif karena diproduksi oleh lingkaran loyalis yang mengontrol akses kepada Rais Aam sekaligus memoderasi persepsi publik tentang keadaan internal PBNU.

Padahal, apa yang disebut sebagai “ijtihad jam’iyah” sesungguhnya tidak lebih dari operasi opini yang dirancang dengan rapi oleh lingkaran politik tersebut. Mereka menggunakan bahasa keagamaan, legitimasi simbolik, dan narasi retoris untuk melapisi agenda politik dengan kesan seolah-olah ia adalah keputusan ulama. Dalam praktiknya, proses ini tidak melibatkan bahtsul masail, tidak menggunakan metodologi fikih jama’i, dan tidak mendapat restu kiai-kiai yang secara genealogis menjadi pilar keilmuan PBNU. Ini bukan proses keulamaan, melainkan konstruksi wacana yang memanfaatkan simbol agama untuk melanggengkan kepentingan tertentu.

Echo chambers ini menjalankan fungsi utamanya: mempertahankan status quo kekuasaan. Dengan membuat Rais Aam hanya mendengar satu versi kenyataan—versi yang menguntungkan lingkaran elite—mereka memastikan bahwa setiap kritik dari luar lingkaran itu tidak pernah benar-benar masuk atau dipertimbangkan. Dengan cara ini, kepemimpinan puncak PBNU secara perlahan kehilangan sensitivitas terhadap dinamika jam’iyah yang lebih luas, sekaligus kehilangan kemampuan untuk membaca realitas secara objektif. Dampaknya tidak hanya merusak proses pengambilan keputusan, tetapi juga mengikis kepercayaan warga NU terhadap integritas moral organisasi yang seharusnya menjadi panutan.

Filter Bubble: Realitas Organisasi Dipangkas Sesuai Kepentingan

Jika echo chambers telah menenggelamkan kritik, maka filter bubble bekerja lebih dalam: ia mengubah realitas organisasi itu sendiri. Di sekitar Rais Aam PBNU, terbentuk sebuah sistem penyaringan informasi yang begitu ketat sehingga gambaran tentang kondisi jam’iyah tidak lagi sesuai dengan kenyataan. Informasi yang semestinya menjadi dasar keputusan—mulai dari konflik struktural yang meruncing, gejolak warga yang tidak puas, kegelisahan para pengasuh pesantren, hingga ketidakpuasan syuriyah daerah—tidak pernah sampai kepada beliau secara utuh. Realitas itu terhenti di tangan lingkaran patronase yang mengatur aliran data dengan cara yang sistematis dan penuh kalkulasi politik.

Dalam sistem yang cacat ini, laporan-laporan dari berbagai daerah tidak disampaikan sebagaimana adanya. Masalah dinegasikan atau diperkecil skalanya. Ketegangan antarlembaga diabaikan atau dialihkan ke isu-isu teknis yang seolah mudah diselesaikan. Keresahan para kiai pesantren dibungkam atau diterjemahkan ulang agar tidak tampak sebagai kritik serius. Bahkan aspirasi struktural yang menuntut koreksi arah organisasi kerap disederhanakan menjadi laporan dangkal yang dipenuhi eufemisme. Apa yang disodorkan kepada Rais Aam selalu dibingkai dengan nada tunggal: “semua aman, kiai”—padahal kenyataan di lapangan justru menunjukkan sebaliknya.

Akibat dari filter bubble ini adalah pemisahan total antara kepemimpinan puncak PBNU dan denyut nadi jam’iyah yang sesungguhnya. Rais Aam dipagari oleh lingkaran orangorang yang memiliki kepentingan menjaga posisi dan pengaruhnya, sehingga setiap masukan yang berpotensi mengganggu stabilitas kekuasaan mereka dipinggirkan. Dalam situasi seperti ini, seorang pemimpin tidak lagi memimpin berdasarkan informasi nyata, tetapi berdasarkan versi realitas yang direkayasa dan dipoles sedemikian rupa. Ini bukan sekadar disinformasi, tetapi bentuk manipulasi struktural yang merusak otoritas keulamaan dan proses syura yang selama ini menjadi ciri khas NU.

Pada titik ini, kepemimpinan PBNU menjadi terisolasi bukan karena Rais Aam tidak mau mendengar, melainkan karena ia secara sistematis tidak diizinkan untuk mendengar. Lingkaran patronase telah membangun dinding tebal yang memisahkan pemimpin dari umat, menutup akses terhadap kritik, dan memalsukan denyut organisasi. Ketika pemimpin terperangkap dalam realitas versi lingkaran kecil, maka keputusan apa pun yang diambil akan kehilangan orientasi moral dan jauh dari kebutuhan jam’iyah. PBNU pun bergerak dalam kegelapan, sementara para kiai yang mencoba membawa cahaya justru dijauhkan dari pusat kepemimpinan.

Pertemuan Lirboyo–Tebuireng: Ketika Suara Kiai Sepuh Disabotase

Pertemua para kiai Sepuh di Lirboyo dan Tebuireng menjadi titik paling telanjang dari krisis moral yang kini menimpa PBNU. Ketika konflik terkait pemakzulan Ketum mencapai puncaknya, para kiai sepuh dari dua pesantren besar ini mengambil inisiatif mulia: menawarkan jalan ishlah untuk meredakan sengkarut dan menyelamatkan marwah jam’iyah. Dalam tradisi NU, suara para kiai sepuh bukan hanya dihormati, tetapi menjadi kompas moral yang mengarahkan organisasi agar tidak terseret arus politik praktis. Namun, inisiatif ini justru tidak digubris. Bukan hanya tidak ditindaklanjuti, ia bahkan tidak diperlakukan sebagai pertimbangan penting bagi masa depan PBNU.

Yang lebih menyedihkan, suara para kiai sepuh itu justru dianggap sebagai gangguan oleh lingkaran elite di sekitar Rais Aam. Mereka yang selama ini menjadi penjaga akses dan pengendali informasi, memandang langkah kiai Lirboyo dan Tebuireng sebagai ancaman langsung terhadap peta kekuasaan yang telah mereka bangun. Karena itulah, jalur ishlah bukan hanya diabaikan, tetapi secara halus dihambat. Upaya para kiai sepuh untuk memasuki ruang deliberasi dipersempit; pesan mereka dipelintir; dan akses mereka kepada Rais Aam dibatasi. Seolah-olah kehendak para muassis dan tradisi kolegial ulama tidak lagi relevan di hadapan kalkulasi politik lingkaran kecil tersebut.

Dalam konteks ini, menjadi jelas bahwa patronase politik telah mendominasi ruang kepemimpinan PBNU. Yang terjadi bukanlah penolakan pribadi Rais Aam terhadap para kiai sepuh, melainkan manuver lingkarannya yang bertindak sebagai firewall politik. Mereka menyaring, menghalangi, dan menutup pintu masukan yang berpotensi meruntuhkan struktur kepentingan yang mereka rawat. Rais Aam pun terisolasi dari suara keulamaan tertinggi, bukan karena kehendaknya sendiri, tetapi karena aksesnya dikuasai oleh para broker politik yang menyamar sebagai pembantu dekatnya.

Dalam tradisi NU, apa yang terjadi ini bukan sekadar penyimpangan prosedural, tetapi kemunduran moral yang sangat dalam. Mengabaikan suara kiai sepuh berarti memutus mata rantai keilmuan dan hikmah yang menjadi pilar jam’iyah sejak masa Hadratussyekh Hasyim Asy’ari. Ketika suara ulama yang paling dihormati dapat disabotase oleh lingkaran politik, maka yang dipertaruhkan bukan hanya kepemimpinan Rais Aam, tetapi masa depan NU sebagai organisasi keagamaan yang berlandaskan adab, kejujuran informasi, dan kolegialitas ulama. Kasus Lirboyo–Tebuireng adalah peringatan keras bahwa PBNU sedang melenceng dari ruhnya sendiri.

Risiko Fatal: PBNU Menjadi Kendaraan Politik, Bukan Jam’iyah Ulama

Risiko paling fatal dari situasi ini adalah berubahnya PBNU dari jam’iyah ulama menjadi kendaraan politik yang dikendalikan oleh para broker kekuasaan. Jika pola patronase, echo chambers, dan filter bubble terus dibiarkan, maka keputusan-keputusan penting organisasi tidak lagi lahir dari musyawarah para kiai, tetapi dari kalkulasi kelompok kecil yang memiliki kepentingan elektoral dan akses terhadap pusat kekuasaan nasional. Dalam kondisi seperti ini, legitimasi moral NU akan terkikis dengan sendirinya. Warga akan memandang bahwa arah organisasi tidak lagi ditentukan oleh nilai, amanah, dan keulamaan, melainkan oleh transaksi kepentingan yang terjadi di balik pintu tertutup.

Di bawah struktur seperti itu, NU perlahan akan berubah menjadi alat tawar-menawar politik. Bukan lagi penjaga kepentingan umat, tetapi komoditas yang dapat dipertukarkan untuk proyek kekuasaan tertentu. Arah dukungan organisasi, sikap politik, penentuan posisi strategis, hingga rekayasa agenda keagamaan dapat disesuaikan dengan kepentingan jaringan yang berhasil menempel pada lingkaran kepemimpinan. Ketika jam’iyah sebesar NU terjebak dalam logika seperti ini, maka sesungguhnya ia telah terlepas dari etika keulamaan yang menjadi fondasi historisnya.

Pada saat yang sama, posisi para kiai sepuh sebagai sumber otoritas moral akan tergerus. Suara mereka akan dianggap mengganggu “stabilitas politik” dan dinilai tidak relevan dengan dinamika kekuasaan modern. Peran mereka, yang seharusnya menjadi kompas etis organisasi, akan digantikan oleh manajer-manajer politik yang ahli bermanuver namun jauh dari tradisi keilmuan pesantren. Ketimpangan ini sangat berbahaya: organisasi berbasis ulama justru dikendalikan oleh orang-orang yang tidak memiliki akar dalam tradisi keulamaan itu sendiri. Jika ini dibiarkan, PBNU nantinya tidak lagi menjadi rumah besar para ulama, tetapi berubah menjadi markas jaringan patronase yang mendikte siapa yang berhak naik dan siapa yang harus disingkirkan. Proses kaderisasi menjadi arena kompetisi berebut akses, bukan berebut kapasitas. Loyalitas kepada kiai tergantikan loyalitas kepada operator politik. Pada titik inilah NU terancam kehilangan identitas aslinya: bukan lagi jam’iyah dini berlandaskan hikmah ulama, tetapi organisasi besar yang kehilangan ruh, karena dikendalikan oleh kepentingan kecil yang menyaru sebagai kepentingan umat.

Warga NU Harus Melawan Patronase, Bukan Sesama Kiai

Warga NU harus memahami bahwa persoalan terbesar yang dihadapi PBNU hari ini bukanlah perbedaan antar-kiai ataupun konflik internal yang muncul di permukaan. Akar masalah sesungguhnya adalah patronase politik yang telah mencengkeram struktur kepemimpinan, menutup telinga Rais Aam dari hikmah para ulama, dan menciptakan ilusi seolah organisasi berjalan baik-baik saja. Para kiai sepuh dari Lirboyo dan Tebuireng sebenarnya telah menawarkan jalan ishlah—sebuah jalan pulang untuk menyelamatkan marwah jam’iyah dari kubangan konflik. Namun jalan ishlah mustahil ditempuh selama Rais Aam tetap terkurung dalam ruang gema, hanya mendengar narasi yang diproduksi oleh lingkaran kepentingan yang menutupi realitas sebenarnya.

Persoalan ini menjadi lebih rumit karena informasi yang masuk ke Rais Aam telah disaring oleh jaringan patronase yang memiliki kepentingan menjaga peta kekuasaan mereka. Mereka menyeleksi laporan, memoles fakta, dan memblokir suara-suara kritis dari para kiai sepuh. PBNU akhirnya tidak lagi dipimpin berdasarkan data yang jujur dan pandangan kolektif ulama, tetapi oleh ilusi yang diciptakan oleh lingkaran kecil yang beroperasi di balik layar. Situasi ini harus dilihat dengan jernih: NU tidak boleh menjadi sandera dari kelompok yang mengelola organisasi dengan kepentingan kecil, tetapi mengatasnamakan umat.

Jika PBNU ingin keluar dari krisis ini, Rais Aam harus mengambil keputusan mendasar yang membutuhkan keberanian moral, yaitu Pertama, Rais Am harus bernai menyatakan mengundurkan diri demi menjaga Marwah NU. Ini karena Ketum PBNU dan Rais ‘Am merupakan amanat Muktamar. Kedua, mengembalikan pesoalan ini pada amanat AD ART sebagaimana diusulkan oleh Kiai Sepuh. Rais Am harus membuka kembali akses bagi para kiai sepuh yang memiliki legitimasi keilmuan dan moral tertinggi dalam tradisi NU. Jika tidak, maka sinyalemen tentang Rais Am saat ini merupakan terjelek selama ada PBNU bisa dibenarkan.

Jam’iyah NU ini tidak dibangun oleh broker politik atau oleh mereka yang memanipulasi informasi demi keuntungan pribadi. NU adalah warisan para kiai, dibangun oleh kearifan, keikhlasan, dan ilmu yang turun-temurun menjaga moral bangsa. Karena itu, perjuangan hari ini bukanlah melawan sesama kiai, tetapi melawan sistem patronase yang telah menggusur peran ulama. Menyelamatkan PBNU berarti mengembalikan suara kiai sebagai sumber hikmah tertinggi, bukan membiarkan jam’iyah ini dikendalikan oleh kalkulasi politik yang mengorbankan masa depan umat. (*)

*Suhermanto Ja’far adalah Warga Nahdliyin, Dosen di Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Ampel (SA) Surabaya.

Bagaimana reaksi anda?
Like
Love
Haha
Wow
Sad
Angry