EKONOMI SYARIAH: Dari kiri, dosen ekonomi syariah Unair Dr Imron Mawardi, H Reza Ahmad Zahid LC MA pengasuh Ponpes Al Mahrusiyah Lirboyo-Kediri, dan KH Ma’ruf Khozin dari PWNU Jatim pada seminar “Paytren, Halal atau Haram” di Astranawa Surabaya, yang diikuti ratusan mahasiswa di Gedung Astrawana Surabaya, Senin (21/8). (duta/wiwiek wulandari)

SURABAYA | duta.co – Booming financial teknologi (fintech) di Indonesia dalam dua tahun terakhir membuat sistem pembayaran berubah. Dorongan penggunaan transaksi nontunai (cashless) secara perlahan namun pasti mulai familiar bagi masyarakat Indonesia. Misalnya untuk pembayaran tagihan, listrik, air, telepon, dan pembayaran lainnya kini sudah banyak menggunakan aplikasi.

Saat ini, kata Dr Imron Mawardi, pengamat perbankan syariah dari Unair , terdapat puluhan fintech yang akan dan sudah beroperasi di Indonesia. Jenisnya juga beragam, di antaranya peer to peer dan crowd founding.

“Kenyataan ini tidak bisa dihindari karena tren perbankan semua mengarah ke cashless dan fintech menjadi solusi bagi perbankan. PayTren,  bisa masuk menjadi salah satu fintech dan sudah mendapatkan sertifikasi syariah dari MUI. Ini sudah kuat dari sisi legalitas dan keamanan,” kata Dr Imron dalam Seminar Ekonomi Syariah yang digelar Harian Duta dan Astranawa Institute, Senin (21/8).

Imron menambahkan, PayTren salah satu sistem loket pembayaran online yang sudah mendapatkan sertifikasi syariah dari Majelis Ulama Indonesia (MUI).  Tidak mudah bagi MUI memberikan sertifikat syariah kepada PayTren, minimal ada 12 kriteria yang harus dilalui.

“Kini PayTren tidak hanya loket pembayaran online, namun berkembang dengan jenis layanan lain karena Paytren sudah memiliki SIM L, siup yang menjadi syarat penjualan berjenjang,” jelas Imron.

Dengan lisensi yang sudah didapatkan PayTren, kata Imron, tidak ada alasan lagi untuk diragukan halal atau haram, karena sudah pasti halal dan syar’i. PayTren yang kini banyak digunakan masyarakat menengah bawah bisa meningkatkan perekonomian masyarakat dan mendorong pertumbuhan ekonomi digital.

H Reza Ahmad Zahid LC MA, pengasuh Ponpes  Al Mahrusiyah, Lirboyo, Kediri menambahkan, Paytren produk yang halal dan tidak perlu diperdebatkan lagi. Tidak sekedar halal melainkan halal dengan nilai lebih.

“PayTren kalau dinilai mendapatkan A plus. Seperti halnya hukum asal mualamat menurut kaidah fiqih, segala sesuatu di dunia boleh. Selama tidak ada dalil dan argumen yang mengharamkannya makanya tetap boleh,” jelas Reza Ahmad Zahid.

Reza Ahmad menegaskan, mualamah banyak jenisnya. Sesuatu yang mengandung unsur  riba, dhoror (penipuan), dhorot (efek negatif), al jahalah (tidak ada transparansi) antara penjual dan pembeli hukumnya haram.

“Selama PayTren terhindar dari empat ini, hukumnya halal. Dan sampai saat ini, PayTren terhindar dari empat masalah yang menyebabkan menjadi haram. Sekali lagi, PayTren, hukumnya halal dengan nilai A plus,” tegas  Reza Ahmad Zahid.

Menurut dia, PayTren alat transaksi masa kini yang sedang berkembang dan dikembangkan oleh Ustad Yusuf Mansur. “Semua transaksi pembayaran bisa dilakukan dengan menggunakan PayTren dan ini menjadi inovasi yang sudah disesuaikan dengan tren teknologi yang berkembang saat ini,” jelasnya.

Sementara KH Ma’ruf Khozin dari PWNU Jatim mengatakan tidak perlu lagi ada keraguan dalam PayTren.  “Didapatkannya sertifikasi syariah dari MUI memberi  ketegasan bahwasanya secara syariah PayTren tidak melanggar dan aman dijadikan salah satu usaha,” jelasnya.

Menurut dia, masalah ekonomi bisa dikembangkan dan diinovasikan asalkan tidak melanggar rambu-rambu kaidah yang ada. MUI pastinya butuh waktu lama untuk memberikan sertifikat syariah kepada PayTren. “Jika PayTren belum memenuhi syarat, maka Dewan Syariah Nasional MUI tidak akan memberikan sertifikat tersebut,” jelasnya.

Dengan diberikannya sertifikat syariah ini, Ma’ruf berharap PayTren bisa meningkatkan perekonomian masyarakat, khususnya masyarakat menengah ke bawah. “Semoga PayTren bisa meningkatkan perekonomian umat. Sebab, walaupun belum ada sertifikat tapi pelanggannya sudah 1,6 juta orang,” jelasnya.

Ma’ruf menambahkan, ditinjau dari sisi aqad/transaksinya Paytren itu sah. Sebab dalam Paytren yang dijual adalah aplikasi dan atau lisensi. Di mana dalam fiqh kita, jual beli “manafi’ non-kebendaan” namun di dalamnya bernilai “mal” ini boleh dan sah. Seperti jual beli merek, hak cipta, lisensi, pulsa, dll.

“Aplikasi yang dijual Paytren berguna untuk mempermudah transaksi. Mulai bayar listrik, PDAM, Pajak, Pulsa, dst dengan harga mulai Rp25.000 s/d Rp10.000.000,” katanya.

Dalam forum tersebut, seorang bernama Jasman AMD yang mengaku sebagai duta Paytren bercerita bahwa dia lulusan ITS. Awalnya menjadi penjual siomay. Namun, setelah dia bergabung dengan PayTren mengalami banyak kemajuan ekonomi.

“Saya bisa umrah bersama lima anggota keluarga saya, bisa beli rumah, bisa beli mobil juga berkat bergabung dengan PayTren,” ujar Jasman yang mendapat aplaus tepuk tangan dari hadirin.

Jasman yang telah memiliki banyak downline di PayTren mengatakan, dia tidak memperoleh semua yang dia dapat itu dengan enak-enakan, tetapi kerja keras.

“Saya menghadiri seminar-seminar PayTren tanpa dibayar atau mendapat akomodasi. “Saya biayai akomodasi sendiri,” ujar Jasman.

Jasman juga sempat mengkritisi acara diskusi atau seminar yang tidak dihadiri manajemen PayTren. Dia sendiri tak bisa duduk di kursi pembicara karena tidak ada tugas atau delegasi dari pihak PayTren.

Namun, Mokhammad Kaiyis selaku Direktur Duta Masyarakat saat membuka acara sudah menjelaskan bahwa undangan kepada PayTren sudah sampai di meja pihak PayTren. Hanya karena waktunya mendadak, pihak PayTren tidak bisa mengirimkan wakil.

“Pihak PayTren ingin menggelar seminar lagi dengan pembicara yang sama dengan yang diundang hari ini (kemarin-red). Kita siap. Nanti bisa kita kerja samakan dengan Fakultas Ekonomi Syariah Unair, UINSA Surabaya, atau Unesa,” ujar Kaiyis. imm

 

Express Your Reaction
Like
Love
Haha
Wow
Sad
Angry