Direktur RSI Surabaya Ahmad Yani, dr Samsul Arifin MARS, berbincang dengan pasien HD, Arif. DUTA/endang

Manfaat besar dirasakan masyarakat terutama penderita penyakit katastropik dengan adanya BPJS Kesehatan. Semula mereka harus mengeluarkan uang puluhan juta untuk mengobati penyakitnya, kini semua itu gratis alias tidak bayar, hanya membayar iuran tiap bulan sesuai kelas yang dipilih. Semua karena adanya layanan BPJS Kesehatan.

Endang Lismari – Surabaya

Senin (24/6) siang, ruang layanan hemodialisis (HD) di lantai 1 Graha RSI Surabaya Ahmad Yani penuh pasien. Semua tempat tidur yang tersedia tidak ada yang kosong.

Rata-rata di setiap tempat tidur, pasien didampingi satu orang keluarganya. Mereka dilayani perawat-perawat yang sangat cekatan.

Walau tidak sebanyak jumlah pasien, namun para perawat itu melayani dengan sangat cepat. Mereka beranjak gesit dari satu tempat tidur ke tempat tidur lainnya.

Mengecek peralatan cuci darah jikalau ada kendala sehingga menghambat proses pengobatan. Tidak lupa mereka selalu tersenyum pada pasien yang dilayaninya.

Di satu tempat tidur paling ujung kiri dekat tembok, ada seorang pasien laki-laki. Dari wajahnya, usianya tidak lebih dari 30 tahun. Dia sendirian tanpa ada keluarga yang mendampingi, tidak seperti pasien lainnya.

Dia tidak berbaring melainkan duduk bersila di atas kasurnya. Tangan kirinya penuh selang yang terlihat mengaliri cairan warna merah. Wajahnya sedikit pucat. Tapi dia masih bisa tersenyum.

“Istri lagi hamil besar, jadi tidak bisa menemani saya di sini (berobat,red),” ujarnya mengawali pembicaraan ketika didatangi Direktur RSI Surabaya Ahmad Yani, dr Samsul Arifin, MARS.

Pasien itu bernama Arif. Usianya baru 27 tahun. Dia ketahuan menderita gagal ginjal sejak lima tahun lalu, tepatnya saat usianya 22 tahun. Waktu itu dia belum menikah.

“Ketahuannya saya sering muntah-muntah, setelah diperiksakan ternyata gagal ginjal dan termasuk akut.  Karena itu saya harus tiga kali cuci darah dalam seminggu,” tandasnya.

Ketika ketahuan gagal ginjal, cuci darah menjadi satu-satunya cara untuk mempertahankan agar kondisi tidak semakin parah.

Memang penyakit ini tidak bisa disembuhkan, namun dengan cuci darah setidaknya kondisi pasien tidak semakin memburuk.

Cuci darah dilakukan Arif waktu itu, di rumah sakit swasta yang cukup bergengsi di Surabaya. Setiap bulan, kata Arif, dia harus mengeluarkan dana Rp 15 juta lebih untuk 12 kali cuci darah dalam sebulan.

“Selama lima tahun itu tidak menjadi soal. Tapi di akhir-akhir ini baru terasa (mahal, red),” ujar Arif.

Menurut Arif, dia mulai berpikir mahalnya pengobatan setelah istrinya hamil anak kedua. Dia berpikir, biaya hidup dengan dua anak tentunya sangat berat jika harus dibebani dengan biaya berobat dirinya.

Direktur RSI Surabaya Ahmad Yani, dr Samsul Arifin MARS, berbincang dengan pasien HD, Toni Toniru. DUTA/endang

“Akhirnya ada saran dari teman-teman untuk ikut BPJS Kesehatan. Sebenarnya saya sudah tahu lama cuma saya  khawatir tentang layanannya. Takutnya layanannya dibedakan antara yang bayar sendiri dengan BPJS Kesehatan,” jelasnya.

Namun Arif berpikir tidak ada salahnya dicoba. Dia pun mendaftar BPJS Kesehatan kelas satu.

Dan dia mencoba melakukan cuci darah di RSI Surabaya Ahmad Yani sebagai rumah sakit yang menerima BPJS Kesehatan.

Kesan pertama membuat Arif kagum. Ternyata layanan HD di RSI Surabaya Jemursari sangat luar biasa. Dia dilayani di ruangan yang sangat luar dan bersih.

Perawat yang melayani sangat ramah dan sabar. Serta kualitas alat-alat yang sangat terjaga.

“Kalau tahu begini, saya menyesal tidak dari dulu ikut program ini. Sama persis dengan yang dulu saya bayar sendiri. Dulu bayar puluhan juta  sebulan, kini saya cuma bayar iuran Rp 60 ribuan untuk BPJS Kesehatan kelas satu,” tukasnya.

 Apa yang dialami Arif juga dialami Toni Toniru (60). Lelaki ini berasal dari Jakarta. Selama libur lebaran dia mengunjungi rumah anaknya yang ada di Surabaya.

Karena riwayat penyakit ginjal, dia pun harus cuci darah tiga kali dalam seminggu. Dia pun membawa surat rujukan dari rumah sakit tempatnya berobat ke rumah sakit tujuan.

“Saya dirasankan ke RSI sini sama rumah sakit di Jakarta. Ternyata layanannya bagus, tidak menghambat walau saya pasien dari luar kota,” ungkap Toni.

Toni mengaku sudah tujuh tahun didiagnosa gagal ginjal. Dan sejak pertama ada program BPJS Kesehatan, Toni sudah mendaftarkan diri.

“Jadi tahu banget pelayanan BPJS Kesehatan, makanya saya berterimakasih pengobatan ini bisa gratis,” tukasnya.

Cuci darah memang menjadi salah satu klaim terbesar rumah sakit kepada BPJS Kesehatan. Cuci darah menjadi salah satu dari penyakit katastropik yang menyebabkan utang BPJS Kesehatan menggunung.

“Lebih dari 60 persen tagihan ke kita ini karena penyakit katastropik itu, salah satunya cuci darah,” ungkap Kepala Cabang BPJS Kesehatan Surabaya, Herman Dinata Miharja.

Walau utang sangat banyak, namum rumah sakit tetap harus memberikan layanan yang maksimal kepada masyarakat.

Direktur RSI Surabaya Ahmad Yani, dr Samsul Arifin, MARS, mengatakan pihaknya tetap memberikan yang terbaik untuk masyarakat.

Untuk layanan HD misalnya. Layanan ini yang semula berada di gedung lama, kini sudah dipindah ke gedung baru di lantai 1.

Dulu yang jumlahnya hanya beberapa tempat tidur kini menjadi 15 tempat tidur. Alat cuci darahnya juga ditambah dengan model dan teknologi terbaru. Harganya Rp 300 juta per unit.

Tidak hanya itu, untuk layanan ini, RSI Surabaya Ahmad Yani menggunakan selang dan perlengkapan cuci darah hanya satu kali untuk satu pasien. Padahal di rumah sakit lain bisa digunakan untuk tujuh pasien.

“Kita tidak mau asal-asalan, kasihan pasiennya. Karena pasien HD itu adalah pasien yang hopeless, tidak ada harapan lagi, hanya bergantung pada alat-alat cuci darah itu. Karenanya kita memang tidak mencari untung di situ,” kata dr Samsul.

Diakui dr Samsul, layanan HD di RSI Surabaya Ahmad Yani memang terus bertambah dari waktu ke waktu. Ini tak lain karena akses masyarakat ke kesehatan kesehatan semakin terbuka.

Di mana masyarakat yang dulunya tidak mampu untuk ke dokter, sekarang sudah bisa menikmati berbagai jenis pemeriksaan kesehatan.

“Kalau dulunya tidak diketahui penyakitnya, sekarang ini semua ketahuan. Gagal ginjal, jantung, diabetes dan sebagainya,” ungkap Wakil Ketua Persi Jawa Timur ini.

Karena itu  dikatakan dr Samsul, pihaknya juga terus menambah jumlah tempat tidur dan alat cuci darah itu. Dia tidak ingin pasien yang sudah terjadwal untuk  cuci darah harus menunggu lama karena alat tidak tersedia.

“Sehari 30 pasien untuk dua shift. Sehingga daftar tunggunya tidak lama, maksimal satu jam,” ungkapnya.

Ini dilakukan karena para pasien HD memang tidak bisa menunggu lama untuk cuci darah. Mereka kalau telat untuk melakukan itu akan mengalami kondisi yang cukup memprihatinkan. Lemas, pucat dan kesakitan.

“Cuci darah itu memperpanjang harapan hidup mereka. Mereka tergantung sama alat. Kita harus bisa memfasilitasi dan memberikan kesempatan bagi mereka agar bisa bertahan,” jelasnya.

Bagi RSI Surabaya Ahmad Yani, pasien dengan BPJS Kesehatan dilayani sama dengan pasien umum lainnya. Ini dilakukan karena rumah sakit di bawah Yayasan Rumah Sakit Islam Surabaya (Yarsis) itu tidak ingin hanya mencari keuntungan semata.

“Kita ingin ada kesan di masyarakat bahwa layanan di RSI Surabaya Ahmad Yani itu bagus. Kalau sudah ada kesan begitu, pastinya mereka akan menularkannya pada orang lain. Dengan cara itu, akan ada benefit lebih yang kami rasakan, salah satunya jumlah kunjungan semakin meningkat. Itu yang kini kita rasakan,” jelasnya.

Dampak dari itu semua, walau 70 persen melayani pasien BPJS Kesehatan, namun setiap bulan RSI Surabaya Ahmad Yani bisa menyisihkan keuntungan Rp 10 miliar. *

Express Your Reaction
Like
Love
Haha
Wow
Sad
Angry