JOMBANG | duta.co – Di balik megahnya gedung DPRD Jombang, Kamis (16/10/2025) lalu, seorang ibu rumah tangga bernama Nur Hayati duduk menunduk. Wajahnya letih, tapi tetap menyimpan harapan. Ia datang bukan mencari sensasi, melainkan memenuhi undangan Ketua DPRD Jombang, Hadi Atmaji, untuk mencari keadilan atas tagihan denda listrik hampir Rp6,9 juta yang dianggapnya tidak masuk akal.

Mediasi antara PLN dan keluarga Nur Hayati difasilitasi langsung oleh Hadi. Tujuannya sederhana, mencari jalan damai atas masalah yang menjerat warga kecil ini. Namun, hingga berita ini ditulis, Selasa (21/10/2025), belum ada hasil konkret yang bisa melegakan.

Meskipun dalam pertemuan itu pihak PLN berjanji akan memberi keputusan yang dapat meringankan, takdir berkata lain. Orang tua Nur Hayati meninggal dunia tak lama setelah mengetahui anaknya mendapat denda di luar batas kemampuan keluarga. Suaminya sendiri hanya kuli bangunan dengan penghasilan pas-pasan.

“Kami sadari memang belum bisa langsung tuntas hari ini. Tapi mediasi ini membuka ruang untuk diskusi lanjutan. Kami akan terus pantau dan dorong agar ada keputusan yang adil,” ujar Hadi saat memimpin pertemuan.

Pihak PLN hadir dengan dua perwakilan dari UP3 Mojokerto dan ULP Jombang. Mereka menegaskan masih perlu melakukan kajian dan koordinasi internal sebelum mengambil keputusan. Di sisi lain, keluarga Nur Hayati pulang dengan perasaan menggantung tanpa kepastian kapan beban itu akan diselesaikan.

“Kami datang dengan harapan ada solusi jelas. Tapi sampai selesai belum ada keputusan. Buat kami ini belum selesai,” kata Joko Tri Basuki, keponakan Nur Hayati yang mendampinginya.

Menurut Joko, sang bibi adalah ibu rumah tangga yang hidup sangat sederhana. Setiap bulan ia selalu membayar tagihan listrik tepat waktu. Namun, Agustus lalu, listrik rumahnya diputus sepihak. Petugas PLN menyebut adanya lubang kecil di bawah penutup kWh meter, yang dikategorikan sebagai pelanggaran kategori dua. Tanpa proses panjang, Nur Hayati langsung dikenai denda Rp6.944.015.

“Ibu Nur Hayati hidupnya pas-pasan. Kalau tiba-tiba dihukum dengan denda hampir tujuh juta tanpa bisa menjelaskan asal-usul pelanggarannya, kami benar-benar bingung dan kecewa,” lanjut Joko.

Keluarga merasa nama baik mereka tercemar, sebab pemutusan dilakukan tanpa sosialisasi atau peringatan. “Kami bukan pencuri listrik, kami orang awam dan bingung disuruh tanda tangan, kami tanda tangan,” tegas Joko. “Kami cuma ingin keadilan dan perlakuan yang manusiawi,” ujarnya.

Dari pihak PLN, Manajer UP3 Mojokerto, Muhamad Syafdinur, memastikan bahwa perusahaan tidak menuduh pelanggan mencuri listrik, namun tetap harus mematuhi prosedur internal.

“Kami tidak bisa serta-merta mengambil keputusan dalam satu pertemuan. Tapi kami terbuka untuk terus membangun komunikasi. Setelah ini, kami akan lakukan rapat internal untuk mencari solusi terbaik,” ujarnya.

Kini, Nur Hayati dan keluarganya hanya bisa menunggu. Listrik yang bagi sebagian orang adalah hal biasa, bagi mereka justru menjadi sumber keresahan. (din)

Bagaimana reaksi anda?
Like
Love
Haha
Wow
Sad
Angry