
“Donald Trump setelah melihat dukungan internasional atas Palestina sedemikian besar, tidak ada lagi pilihan baginya kecuali ikut arus dan memfasilitasinya. Kondisi yang ada tidak memungkinkan baginya untuk melawan arus demi Israel.”

Oleh Achmad Murtafi Haris
SEBANYAK 157 negara dari 193 negara anggota PBB mengakui Palestina sebagai sebuah negara pada September kemarin. Ini merupakan kemajuan besar dalam perjuangan kemerdekaan Palestina. Pada 1988, Yasser Arafat, pemimpin organisasi Pembebasan Palestina (PLO) mendeklarasikan berdirinya negara Palestina dan mendapat pengakuan dari 78 negara (40%). Dengan total dukungan 80% anggota PBB tampak berdirinya negara Palestina yang berdaulat sudah di depan mata. Besarnya dukungan ini membuat Hamas menerima rancangan perdamaian Donald Trump dan akan melepaskan semua sandera (48 orang) dan memberikan kekuasaannya atas Gaza pada lembaga peralihan yang kemungkinan akan dipimpin oleh Tony Blair. Mantan mantan perdana menteri Inggris yang mundur 2007 itu telah lama mewakili kuartet kekuatan dunia (Amerika,Uni Eropa, Rusia dan PBB) dalam urusan Timur Tengah. Di balik kritik atas keterlibatan dirinya dalam penyerangan Irak pada 2003 yang berujung penangkapan Sadam Husein yang ternyata tidak ditemukan senjata kimia, dia masih dianggap yang mengerti dan mampu mewujudkan kepentingan Palestina.
Penerimaan Hamas atas proposal Trump untuk menghentikan perang secara permanen, selain karena telah tercapainya dukungan mayoritas anggota PBB, juga karena faktor kehancuran yang dahsyat atas Gaza dan jumlah korban nyawa yang terlampau besar (66.000 jiwa). Hamas juga kehilangan seluruh pimpinan tertingginya seperti Yahya Sinwar dan Ismail Haniyah, juga pimpinan kelompok pendukungnya di luar negeri dari Libanon, Hautsi Yaman, dan Iran. Tercapainya dukungan mayoritas anggota PBB tampak menjadi balasan setimpal bagi Hamas dalam perjuangan senjata melawan Israel. Kerelaan Hamas untuk melimpahkan Gaza ke komisi internasional juga tidak lepas dari peran Mesir dan Qatar selaku mediator Arab. Bersikerasnya Hamas bertahan di Gaza, menjadikan Israel tidak berhenti menyerang Gaza. Dan yang menjadi harga mati bagi Israel selain masalah sandera adalah masalah keberadaan Hamas di Gaza yang baginya harus enyah.
Donald Trump setelah melihat dukungan internasional atas Palestina sedemikian besar, tidak ada lagi pilihan baginya kecuali ikut arus dan memfasilitasinya. Kondisi yang ada tidak memungkinkan baginya untuk melawan arus demi Israel. Dia memilih bermain dua kaki dan menunjukkan kepiawaian dalam mewujudkan perdamaian. Keahlian mendua ini, kata ahli Hubungan Internasional Universitas Indonesia, Prof. Suzie Suparin Sudarman, dikenal dengan sebutan creative ambiguity. Yaitu kemampuan bergeser ke kiri ke kanan bergantung pendulum kekuatan global. Atau dengan memainkan standar ganda dengan tetap menjaga kepentingan Israel sebagai anak emasnya. Selain itu Amerika memiliki mentalitas menang (winning mentality) yang membuatnya harus tetap berada di atas meski dengan terpaksa mengalah. Hal ini membuat Trump memilih untuk memimpin peralihan menuju kemerdekaan Palestina sesuai hasil polling PBB dan memaksa Israel untuk benar-benar menghentikan serangan atas Gaza.
Menanggapi dukungan dunia atas kemerdekaan Palestina, Benjamin Netanyahu mengatakan bahwa dunia memberikan sesuatu yang terlalu mahal kepada Hamas. Perang ini diawali oleh serangan Hamas pada 7 Oktober 2023 yang merenggut seribu lebih nyawa dan menyandera ratusan warga Israel. Banyaknya jatuh korban di kalangan sipil Gaza bukan atas kehendak Israel tapi Hamas yang sengaja menjadikan warga sebagai tameng, kata Netanyahu. Tentara Israel selalu menghimbau warga untuk pindah sebelum dimulai serangan. Bagi Israel kematian warga sipil Gaza adalah tragedi tapi bagi Hamas itu justru strategi untuk mengecam Israel jika jatuh korban dari kalangan sipil Gaza. Jika pembebasan sandera tidak kunjung dilakukan oleh Hamas maka selama itu Israel akan terus memburu Hamas di manapun.
Pasca voting PBB yang memposisikan Israel di kursi pesakitan, Israel tetap menyerang Gaza dan memangsa ratusan nyawa dengan dalih 48 sisa sandera belum dibebaskan. 60 ribu lebih nyawa melayang tidak membuat Israel menghentikan serangan. 60 ribu lebih nyawa melayang tidak juga membuat Hamas menyerahkan semua sandera segera. (*)