Dr. Endah Tri Wahyuningtyas, S.E., M.A., CSRS., AWP
Ketua Program Studi S1 Akuntansi, FEBTD

DALAM lima tahun terakhir, kepercayaan publik terhadap pasar modal Indonesia menghadapi tantangan serius. Munculnya berbagai kasus, mulai dari penyalahgunaan dana hasil penawaran umum perdana (IPO), indikasi gratifikasi terhadap pegawai Bursa Efek, hingga manipulasi laporan keuangan dan kasus gagal bayar yang disengaja kini menjadi sorotan utama yang mencoreng integritas ekosistem pasar modal nasional.

Berbagai kasus tersebut sejatinya mencerminkan lemahnya penerapan prinsip good corporate governance oleh sebagian emiten. Buruknya tata kelola perusahaan dan penyimpangan perilaku direksi menjadi akar dari persoalan ini. Ketika aspek transparansi, akuntabilitas, dan integritas diabaikan, maka pasar kehilangan ruh kepercayaannya.

Padahal, setiap investor memiliki ekspektasi yang wajar saat membeli saham, yakni memperoleh imbal hasil baik dalam bentuk dividen maupun capital gain dari kenaikan harga saham. Kepercayaan investor terhadap emiten sangat krusial, apalagi dalam konteks Indonesia di mana banyak perusahaan bergantung pada dana dari hasil penerbitan saham untuk ekspansi maupun pembiayaan operasional.

Salah satu kasus yang cukup mengemuka adalah penyimpangan penggunaan dana IPO oleh beberapa emiten. Dana yang seharusnya dialokasikan untuk pengembangan usaha, justru dialihkan ke deposito atau tidak digunakan sama sekali sesuai prospektus. Praktik ini sangat merugikan investor karena dana yang “diparkir” tidak menghasilkan nilai tambah, yang pada akhirnya menggerus potensi laba dan kepercayaan pemegang saham.

Infografis sederhana mengenai beberapa kasus IPO bermasalah antara tahun 2021 hingga 2024 menunjukkan pola yang berulang: mulai dari ketidaksesuaian penggunaan dana oleh PT X Tbk, penempatan dana IPO ke deposito oleh PT Y Tbk, hingga laporan keuangan yang tidak transparan oleh PT Z Tbk. Bahkan pada tahun 2024, ditemukan dugaan penggunaan dana IPO oleh PT A Tbk untuk transaksi afiliasi ilegal. Semua ini memperkuat dugaan bahwa sebagian emiten belum mengutamakan tanggung jawab fidusia terhadap pemegang saham.

Peran Otoritas Jasa Keuangan (OJK) sebagai pengawas pasar modal menjadi sangat vital. OJK diharapkan dapat menjalankan fungsi pengawasan dengan lebih proaktif, menegakkan kepatuhan atas regulasi, serta memastikan bahwa informasi pasar disampaikan secara terbuka dan jujur kepada publik.

Terdapat lima fungsi utama yang menjadi pilar pengawasan OJK di pasar modal, yaitu: (1) pengawasan kepatuhan emiten terhadap aturan pasar modal, (2) penerbitan peraturan dan pedoman teknis, (3) transparansi informasi kepada publik, (4) penegakan hukum serta pemberian sanksi terhadap pelanggaran, dan (5) perlindungan terhadap investor. Kelima fungsi ini harus berjalan sinergis agar tercipta iklim investasi yang sehat dan berintegritas.

Sayangnya, dalam beberapa kasus, penegakan hukum masih dipandang lemah. Contoh nyata adalah skandal suap pegawai Bursa Efek Indonesia (BEI) yang hanya berujung pada pemecatan oknum tanpa konsekuensi terhadap perusahaan yang terlibat. Ketidaktegasan seperti ini tidak hanya mencederai prinsip keadilan, tetapi juga membuka celah bagi pelanggaran serupa di masa mendatang.

Kejadian-kejadian ini merupakan peringatan keras bahwa membangun kepercayaan di pasar modal bukan hanya soal pertumbuhan indeks, melainkan juga soal integritas sistem. Diperlukan pembenahan serius, baik dari sisi regulasi, penegakan hukum, hingga peran serta investor dan masyarakat dalam mengawasi jalannya pasar.

Ke depan, reformasi tata kelola perusahaan harus menjadi prioritas. Pasar modal yang sehat hanya dapat terwujud jika semua pihak yaitu emiten, regulator, investor, dan penegak hukum, memiliki komitmen yang sama untuk menjunjung tinggi transparansi dan integritas.

Karena pada akhirnya, pasar modal bukan sekadar tempat jual-beli saham, melainkan cermin kepercayaan terhadap masa depan ekonomi bangsa. *

 

Bagaimana reaksi anda?
Like
Love
Haha
Wow
Sad
Angry