Oleh: Abdul Wahid*

KITA pernah diperkenalkan, setidaknya sebelum serbuan Covid-19,  oleh banyak kondisi yang tidak memberdayakan dan memanusiakan buruh (pekerja), baik yang bekerja di dalam negeri maupun di negara lain. Saat mereka bekerja di negara asing demi panggilan pengabdian memenuhi hajat diri atau keluarga misalnya, mereka sering dilecehkan yang tak ubahnya sekumpulan budak, yang kemudian diantaranya menghasilkan stigma yang mnejatuhkan marwah bangsa, dimana negeri ini diantaranya dikenal sebagai “eksportir budak”.

Mereka itu sejatinya tidak ingin digolongkan sebagai manusia-manusia pemalas dan parasit. Mereka bermaksud menunjukkan kesejatian sebagai sekumpulan orang  yang bisa berperan membebaska hajatnya di era apapun, termasuk di era milenial ini. Di era ini, mereka tidak ingin terjerumus dalam zona perbudakan, yang faktanya zona ini masih ada, atau setidaknya potensial “diadakan”.

Di era sekarang, dimana negara bermaksud mengeksistentikan instrument yuridus yang dibuatnya seperti UU Cipta Kerja (Omnibus Law), logis jika kita bertanya, apakah kita ini nantinya akan bisa menjadi kekuatan strategis yang  benar-benar punya komitmen tinggi terhadap nasib pekerja?

Dalam  pertimbangan Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia disebutkan, bahwa mengabaikan dan memandang rendah hak-hak manusia telah mengakibatkan perbuatan-perbuatan bengis yang menimbulkan rasa kemarahan hati nurani umat manusia, dan terbentuknya suatu dunia tempat manusia akan mengecap nikmat kebebasan berbicara dan beragama serta kebebasan dari rasa takut dan kekurangan telah dinyatakan sebagai cita-cita yang tertinggi dari rakyat biasa.

Dalam Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia itu sudah jelas, bahwa setiap diri manusia, termasuk para pekerja mempunyai hak untuk bebas dari rasa takut dan kekurangan. Mereka tidak boleh sampai terbiarkan jalani hidup dalam kemiskinan, kelaparan, atau banyak ketidakberdayaan. Merka tidak boleh jadi korban instrumen hukum apapun yang berpotensi, apalagi jelas-jelas memberi ruang dan menyemaikan terjadinya perbudakan gaya baru, diskriminasi, dan dehumanisasi.

Sayangnya, selama ini, masyarakat (sekelompok orang) dan khususnya elitis negara ini sudah demikian sering abai atau “kurang serius” terhadap kewajiban atau tanggungjawabnya terhadap hak-hak pekerja, khususnya ketika mereka dihadapkan pada problem yuridis (perlindungan Kesehatan dan keselamatan, politik pengupahan, dan ekonomi (kesejahteraan).

“Berikan upah kepada pekerjamu (buruhmu) sebelum keringatnya menetes” atau “berikanlah pakaian dan makan kepada pekerjamu sebagaimana apa yang engkau makan dan pakai”, adalah diantara sabda Nabi Muhammad SAW, yang mewajibkan kepada setiap majikan, tuan, perusahaan atau Negara untuk menunjukkan sikap dan perilaku responsibilitas humanitas terhadap pekerjanya.

Seseorang (pekerja) yang melakukan pekerjaan untuk majikan, tuan, atau perusahaan (korporasi), telah ditempatkan oleh agama (Islam) sebagai subyek yang  wajib dimanusiakan, baik dalam aspek “kewajiban” maupun “hak”.  Mereka sudah bertekad menunaikan kewajiban sesuai dengan yang disepakati, namun saat berurusan dengan hak-haknya, mereka sering ditinggalkannya.

Dalam Hadis itu juga secara filosofis dan humanistic dapat dipahami, bahwa buruh atau pekerja, wajib hukumnya untuk diperlakukan secara manusiawi. Mulai dari sandang, pangan, dan kebutuhan buruh lainnya, majikan, tuan (perusahaan) atau Negara terikat secara moral keagamaan untuk memenuhinya.

Tuntutan pada Negara itu suatu kewajiban, apalagi yang dihadapi oleh pekerja internasional tergolong sebagai kasus serius.  Kita juga mestilah paham, bahwa dalam dimensi kewajiban, pekerja atau buruh sudah otomatis terikat kontrak kerja yang harus dilaksanakan atau diselesaikan, karena dari kewajiban yang dilaksanakan ini, apa yang ditunjukkan oleh pekerja akan memberikan nilai tambah, keuntungan, dan memediasi kemaslahatan majikan atau tuannya.

Majikan, perusahaan, atau Negara-negara lain hingga Negara Indonesia  membutuhkan kehadiran pekerja, yang berarti mereka menggantungkan peran-peran yang dilakukan oleh pekerja untuk mengurai, memberi solusi, dan setidak-tidaknya meringankan problem yang dihadapinya, apalagi di era milenial yang justru potensial menyengsarakannya.

Sebagai refleksi, saat para pekerja ini hadir dengan peran-perannya, majikan atau Negara mendapatkan konstribusi enegeri besar untuk keluar dari problemnya. Majikan atau Negara bukan hanya mendapatkan suntikan kekuatan besar, tetapi juga dapat memperoleh keuntungan luar biasa. Kalau pekerja ini bisa menjalankan pekerjaaannya dengan baik di Negara lain, maka martabat Negara bisa terjaga.

Dalam ranah idealistuk-humanistik, di dalam aspek kewajiban ini, majikan, korporasi,  atau Negara juga harus “membaca” atau mempertimbangkan sisi gumanisasinya untuk mengukur antara realitas kemampuan fisik maupun non-fisik yang melekat dalam diri pekerja dibandingkan dengan kewajiban yang dibebankan kepadanya.

Jika kemampuan atau skill pekerja tidak cukup kapabel (distandarkan dengan kondisi dan situasi) untuk menjalankan kewajiban, maka eharusnya majikan, korporasi dan negara  tidak meneruskan ke tahap eksploitasi, apalagi sampai mentolelir terjadinya praktik-praktik dehumanisasi  atau perbudakan (Baca: peniadaan penghormatan terhadap harkat kemanusiaan pekerja).

Yang terbaca, ada kecenderungan yang sering mencuat di tengah masyarakat, bahwa tatkala para pekerja sudah terikat kontrak kerja, maka apa yang sudah masuk dalam materi kontrak tersebut harus mutlak dilaksanakan atau dipenuhinya. Ironisnya lagi, apa yang tidak ada di luar kontrak kerja ini kerapkali juga dipaksakan oleh majikan atau korporasi supaya dilakukan oleh pekerja dalam kondisi apapun.

Kalau nanti UU Cipta Kerja betul-betul diberlakukan, logis jika mencuat ketakutan sejak dini terhadap nasib pekerja, jangan-jangan bukan kondisi sejahtera dan manusiawi yang dirasakan pekerja, melainkan kondisi yang makin   menyengsarakan, karena belajar dari pengalaman, ternyata menciptakan “kemanusiaan yang adil dan beradab” untuk pekerja ternyata bukan hal mudah, apalagi jika dalam rumusan norma yuridis disediakan :ruang” untuk mendehumanisasikannya.

Secara a contrario, setiap subyek negara yang mendapatkan amanat dalam mengonstruksi norma yuridis (lewat politik pembaruan hukum), punya kewajiban sangat istimewa (exstra ordinary) untuk memasukkan, menghidupkan, dan menguatkan substansi yang memanusiakan, mengadabkan, dan menyejahterakan para pekerja.

*Penulis adalah Pengajar Fak Hukum Universitas Islam Malang dan pengurus AP-HTN/HAN dan penulis sejumlah buku hukum dan agama.

Express Your Reaction
Like
Love
Haha
Wow
Sad
Angry