TOLAK ANGKET KPK:, Bambang Saptono, menggelar aksi di Bundaran Gladag, Jalan Slamet Riyadi, Solo, Rabu (3/5) pagi. Dia membawa peti mati, spanduk, dan bunga tabur. Usai aksi, Bambang berjalan ke Kantor Pos Besar Solo yang berjarak 150 meter untuk mengirimkan peti mati itu ke Gedung DPR RI, di Jalan Gatot Subroto, Senayan, Jakarta. Peti itu simbol matinya nurani pendukung angket KPK. (ist)

JAKARTA | duta.co – Pansus angket KPK berencana memanggil paksa komisioner KPK untuk hadir dalam rapat. Bahkan menurut Wakil Ketua Pansus Hak Angket KPK, Eddy Wijaya Kusuma mengancam akan memanggil paksa  KPK jika kembali mangkir.

Menurut Politikus PDI Perjuangan, panggilan paksa itu akan meminta bantuan kepolisian sesuai amanat Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD dan DPRD (UU MD3).

“Setelah ketiga tidak hadir, kita akan minta bantuan Polri untuk panggil paksa. Itu UU, bukan ngarang-ngarang,” kata Eddy kepada wartawan di Gedung DPR, Jakarta, Rabu (18/10/2017).

Ketentuan Pasal 204 ayat (3) UU MD3 yang menyebutkan, dalam hal warga negara Indonesia dan/atau orang asing sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak memenuhi panggilan setelah dipanggil 3 (tiga) kali berturut-turut tanpa alasan yang sah, panitia angket dapat memanggil secara paksa dengan bantuan Kepolisian Negara Republik Indonesia.

Untuk itu, meski Kapolri Jenderal Tito Karnavian masih akan mengkaji penggunaan UU MD3 itu karena dinilai belum memiliki hukum acara yang jelas dalam aturan KUHAP, namun kepolisian tidak memiliki pilihan lain.

“Sudah disampaikan juga oleh komisi III tidak semua hukum administrasi itu punya hukum acara. Yang punya hukum acara itu cuma hukum perdata dan pidana,” katanya.

Dirinya menyebutkan, solusi terbaik untuk polemik KPK dan Pansus Hak Angket, adalah lembaga antikorupsi datang ke DPR memenuhi undangan.

“Sebetulnya yang paling elegan itu, KPK ada kesadaran, patuh hukum, sehingga kita bisa memperbaiki ini,” katanya.

Terkait alasan KPK tidak memenuhi undangan Pansus Hak Angket karena masih menunggu putusan uji materi di Mahkamah Konstitusi (MK), menurut Eddy, hal itu bisa saja dilakukan. “Ya itu kan sambil berjalan. Tapi nanti waktunya akan jadi panjang,” kata Eddy.  net

 

Express Your Reaction
Like
Love
Haha
Wow
Sad
Angry