Oleh: Husain Latuconsina *

KEHIDUPAN manusia di muka bumi dihebohkan dengan kasus pandemi Corona Virus (Covid-19) yang menyerang manusia di berbagai belahan dunia. Virus yang ditenggarai berasal dari kelelawar sebagai inangnya kemudian bermutasi dan menjangkiti manusia.

Bermula dari seorang wanita yang terjangkiti Covid-19 di pasar seafood Hunan, Kota Wuhan, Provinsi Hubei-Cina, kemudian mulai tersebar luas pada berbagai negara dengan memanfaatkan mobilitas manusia yang tinggi antar wilayah, negara bahkan antar benua. Mulai dari negara-negara berkembang di benua Asia, Afrika, dan Amerika, sampai negara-negara besar dan modern di benua Eropa dan Amerika tidak luput dari serangan Covid-19.

Virus ini pun tanpa kompromi menjangkiti manusia dari berbagai golongan dan strata sosial, mulai dari rakyat jelata sampai para bangsawan, dari pedagang kaki lima sampai pengusaha besar, dari pegawai rendahan sampai pejabat pemerintah dan pimpinan daerah, menteri sampai kepala pemerintahan, bahkan menyerang ratusan tenaga medis yang berupaya menyelamatkan nyawa ratusan orang yang menderita gangguan pernafasan akut akibat serangan virus ini.

Sejak mulai menginfeksi 1 orang di Wuhan-Cina pada akhir tahun 2019, kini sudah mencapai 1,5 juta orang di dunia yang positif terinfeksi Covid-19, dan telah menewaskan 88.280 orang sampai dengan minggu pertama April tahun 2020. Kapan sebaran virus ini akan berakhir ?, belum ada yang mengatahui dengan pasti, masih sebatas prediksi para ahli dengan berbagai pendekatan analisis berdasarkan tren penyebaran di setiap wilayah dan disesuaikan dengan perubahan musim serta dikondisikan dengan pola penanganan dan pemeberantasannya di setiap negara. Sementara sampai dengan sekarang ini belum ada satupun para peneliti di dunia medis yang mengklaim temuannya sebagai “panacea” untuk mengobati penderita gangguan sistem pernafasan akut akibat terinveksi Covid-19.

Sebagian besar aktivitas manusia di dunia nyaris terhenti, sebagai upaya untuk memutus rantai penyebaran Covid-19. Semua negara di dunia seakan tidak siap menerima serangan masif Covid-19. Banyak korban yang berjatuhan pada negara-negara maju, sementara negara berkembangan seperti Vietnam justru terbukti berhasil menghindari sebaran masif Covid-19 yang mematikan. Fenomena ini menunjukkan bahwa bukanlah negara maju yang mampu menghadang sebaran Covid-19 yang mematikan, namun negara yang disiplinlah yang mampu menghentikan sebarannya.

Di balik serangan Covid-19, ternyata terselip kabar yang cukup menggembirakan bagi pencinta dan pemerhati lingkungan hidup. Cina sebagai salah satu negara penghasil emisi gas rumah kaca terbesar di dunia, justru mengalami penurunan polusi udara pasca menerapkan lockdown untuk menghentikan sebaran Covid-19 di negaranya. Hasil pemantauan citra stelit menunjukkan bahwa tingkat polusi udara di langit negeri tirai bambu ini mengalami penurunan cukup signifikan, bahkan emisi nitrogen dioksida dari kendaraan bermotor, pembangkit litrik dan pabrik mengalami penurunan sebesar 40%. Begitu pula dengan Italia yang menunjukkan tren penurunan polusi nitrogen dioksida sebesar 26-35% pada Maret 2020, setelah pemberlakuan lockdown jika dibandingkan dengan periode yang sama pada tahun lalu.

Di Venesia-Italia cukup mencengangkan, dimana kawasan yang sangat padat merayap dan terkenal di dunia dengan wisata kanalnya, namun semenjak sepi akibat pemberlakuan lockdown untuk membatasi sebaran Covid-19 justru berdampak positif. Kanal yang agak kumuh dan kotor telah berubah lebih bersih dan airnya jernih serta terlihat gerombolan ikan pada dasar kanal. Sekumpulan angsa juga terlihat pada kanal-kanal tersebut, seakan menikmati kebebasan di tengah pembatasan aktivitas manusia.

Lumba-lumba juga teramati di pelabuhan Cagliari, Ibu Kota Sardinia salah satu wilayah di negara pizza Italia yang sepi dari hingar bingar penyeberangan kapal feri akibat penerapan lockdown di kota pesisir tersebut. Lumba-lumba dengan bebas dan riangnya bermain di sekitar pelabuhan tanpa merasa terganggu dengan beberapa orang yang mengabadikan momen tersebut.

Di Brazil, tepatnya pada 33 Maret 2020, di pantai Paulista yang terletak di kota kecil pada negara bagian Pernabuco wilayah timur laut Brazil, bermuculan puluhan anakan (tukik) penyu sisik (Eretmochelys imbricata) yang merangkak perlahan dari gundukan pasir menuju laut, di tengah-tengah sepinya pengunjung pantai akibat lockdown yang diterapkan di negara bagian tersebut pasca serangan Covid-19 yang mematikan.

Beberapa fenomena ini menjunjukkan bahwa ada yang salah dengan dominasi umat manusia terhadap bumi selama ini. Manusia  dengan serakah dan tindakannya yang sangat antroposentris selalu menganggap merekalah yang berhak mendominasi bumi. Bumi hanya dipandang sebagai ladang eksploitasi untuk memenuhi kebutuhan dan keinginan manusia yang tidak pernah terbatas.

Manusia merambah hutan, mengeksploitasi laut secara besar-besaran, mengeksploitasi perut bumi untuk mendapatkan sumber bahan bakar fosil yang banyak digunakan dalam industri, pembangkit listrik, dan kendaraan bermotor, justru berdampak buruk terhadap pencemaran udara dan peningkatan konsentrasi gas rumah kaca di atmosfer bumi.

Keserakahan manusia untuk memenuhi kebutuhan dan keinginan mereka justru membawa dampak buruk bagi keseimbangan bumi dan berdampak negatif bagi manusia. Sudah sangat banyak hewan dan tumbuhan yang punah akibat keserkahan manusia yang mengeksploitasi bumi untuk memenuhi keinginannya yang tidak pernah terbatas, padahal bumi memiliki batas untuk mendukung kehidupan makhluk hidup termasuk manusia.

Daya dukung bumi semakin terbatas, sumberdaya alam semakin tergerus, sumber kehidupan seperti air semakin menyusut dan berdampak pada krisis air bersih. Perambahan hutan secara besar-besaran tanpa mempertimbangkan daya dukungya justru semakin menurunkan kemampuan bumi untuk menyerap air, dan juga menurunkan kemampuan bumi untuk mengurangi laju pemanasan global melalui serapan karbon dioksida oleh vegetasi untuk kebutuhan fotosintesis, dimana sebagian besar hasil fotosintesis berupa oksigen yang sangat dibutuhkan oleh manusia dan hewan untuk aktivitas pernafasan.

Dampak dari perambahan hutan secara besar-besaran adalah terjadi fragmentasi habitat dari satwa liar dan memacu pemanasan global yang tidak terkendali, akibat tingginya konsentrasi gas rumah kaca di atmosfer bumi. Dampak pemanasan global adalah terjadi perubahan iklim, kekeringan dan kelaparan, dan juga menimbulkan berbagai wabah penyakit.

Intergovernmental Panel on Cilimate Change (IPCC) sejak awal tahun 2001 sudah memprediksikan dampak serius dari perubahan iklim akibat pemanasan global, salah satunya adalah muculnya berbagai wabah penyakit. Pandemi Covid-19 ini membuktikan kebenaran dari prediksi IPCC. Sekarang ini kita tidak lagi bertanya apakah perubahan iklim dapat berdampak pada kesehatan manusia?, namun kita sudah harus bertanya seberapa besar dampak perubahan iklim bagi kesehatan manusia?, dan strategi apa yang harus dilakukan untuk mengurangi laju pemanasan global serta dampaknya bagi bumi?.

Munculnya pandemi Covid-19 tentunya mengakar dari pola pemanfaatan sumberdaya alam dan sanitasi lingkungan yang buruk, sehingga virus yang awalnya menjadikan hewan sebagai inangnya, kemudian bermutasi dan menyerang manusia. Mungkinkah pandemi Covid-19 adalah cara bumi mencari keseimbangan baru setelah dieksploitasi tanpa batas oleh manusia?, dan mungkinkan ini adalah cara bumi untuk menyampaikan pesan untuk mengurangi keserakahan manusia?, pertanyaan ini tentunya harus menjadi bahan renungan kita bersama.

Bumi adalah tempat hidup paling ideal bagi mahkuk hidup di alam semesta. Hanya dengan merawat bumi maka kehidupan manusia dan makhluk hidup lainnya akan terus berlanjut. Bumi akan memberikan respon positif terhadap segala tindakan manusia yang diberi tugas mulia oleh Allah SWT Tuhan penguasa alam untuk mengelola bumi agar tetap layak huni. Sebaliknya bumi akan memberikan respon negatif jika manusia dengan serakah mengeksplotasi dan merusak bumi tanpa terkendali.

Marilah bersama-sama merawat bumi, agar tetap memberikan rasa aman dan nyaman bagi kehidupan kita. Bumi membutuhkan kehidupan yang harmonis di antara para penghuninya. Keharmonisan hidup melalui interaksi yang seimbang antara seluruh makhluk hidup di muka bumi hanya bisa diatur oleh manusia yang dibekali akal dan budi pekerti yang baik, untuk memanfaatkan dan mengelola bumi secara berkelanjutan dan bertanggungjawab. Rawatlah bumi seakan kita ingin hidup selamanya, “Selamat Hari Bumi 22 April 2020”.

*Penulis adalah Associate Professor pada Departemen Biologi, Fakultas MIPA, Universitas Islam Malang.

Express Your Reaction
Like
Love
Haha
Wow
Sad
Angry