“Penulis buku ini tak lagi diam. Ia menumpahkan semua uneg-unegnya bagaimana masyarakat serta elit AS menanggapi masalah Palestina.”

Oleh Rosdiansyah

SEJAK akhir 2023 masalah Palestina kembali menyita perhatian masyarakat internasional. Tak terkecuali penulis buku ini. Karam Dana adalah Palestina diaspora. Ia tinggal di AS. Sebagai gurubesar ilmu riset transformatif di Universitas Washington Bothell, Karam punya akses luas ke sumber-sumber informasi penting untuk penulisan buku ini. Baginya, masalah Palestina bukan sekadar menguras duka masyarakat internasional, namun yang tak kalah penting adalah mengetahui bagaimana sebenarnya masyarakat dan elit AS melihat Palestina saat ini.

Identitas Palestina tak hanya eksklusif bagi mereka yang tinggal di wilayah Gaza dan sekitarnya. Sebab, identitas itu faktanya juga tetap dilestarikan oleh keluarga-keluarga Palestina yang menetap di berbagai negara. Termasuk di AS, keluarga Palestina tetap menjaga tradisi, kebiasaan serta kisa-kisah menarik tanah nenek moyangnya nun jauh di seberang lautan. Warisan budaya Palestina terus dijaga dalam memori kolektif keluarga Palestina diaspora.

Mereka ini menyaksikan betapa bias reportase media massa AS terhadap konflik Palestina-Israel yang saat ini terus memanas. Media-media AS acap menyudutkan Palestina lewat konten reportase yang tak berimbang. Bahkan sering sulit dipilah, mana reportase bermutu jurnalistik dan mana reportase disinformatif. Ada kesengajaan pengelola media massa untuk menyajikan berita sumir tentang Palestina. Sebaliknya, media massa AS begitu bersimpati pada Israel. Situasi ini sudah lama dirasakan warga AS keturunan Palestina. Sayangnya, mereka cenderung diam selama ini.

Tapi, penulis buku ini tak lagi diam. Ia menumpahkan semua uneg-unegnya bagaimana masyarakat serta elit AS menanggapi masalah Palestina.

Dalam lima bab plus pendahuluan serta kesimpulan, Karam mengupas respon tersebut. Ia bukan saja melihat konstelasi politik domestik AS merespon isu Palestina, yang seringkali isu ini memantik ketegangan bernuansa politis antar warga masyarakat sendiri.

Namun, yang lebih penting lagi adalah hasil dari upaya berbagai komunitas AS memperjuangkan keberpihakan pada keturunan Palestina diaspora yang menetap di AS. Sebagai warganegara AS, mereka ini berhak memperoleh perlakuan setara.

Karam juga mengungkap bagaimana pemerintah AS mendadak kikuk saat vaksinasi anti-COVID 19 mulai bergulir di dunia sejak 2021. Pemerintah Israel yang telah memperoleh bantuan militer senilai 38 milyar dolar dari AS sejak 2016 untuk sepuluh tahun mendatang (hlm 185), ternyata cuek terhadap empat juta warga Palestina yang tinggal di wilayah yang dikuasai Israel. Tekanan dunia internasional pada Israel tak dipedulikan negeri zionis tersebut. AS diam tak berkutik.

Bagi Karam, sikap Israel terhadap Palestina mirip dengan sikap kulit putih di AS terhadap warga kulit hitam. Sejarah pendudukan Israel atas tanah Palestina selalu diikuti dengan prasangka, ada kecurigaan terhadap Palestina. Situasi ini terus dipelihara oleh baik politisi-politisi tertentu AS terhadap warga kulit hitam, maupun politisi Israel terhadap warga Palestina. Kesamaan ini juga terjadi pada sikap pemerintah AS menghadapi penduduk asli AS.

Belakangan, muncul retorika anti-Semit dalam panggung politik AS. Dikatakan, siapapun yang benci terhadap Israel, maka otomatis ia telah memperlihatkan sikap anti-Semit. Artinya, ia cenderung menolak holocaust, menolak sejarah penderitaan bangsa Israel dalam perang dunia kedua.

Oleh karena itu, sikap anti-Semit berbahaya karena bisa merusak kehidupan harmonis masyarakat. Retorika ini sebenarnya dalih usang mempertahankan sikap AS yang pro-Israel. Jika benar, anti-Semit itu berbahaya, lalu bagaimana dengan sikap represif Israel terhadap warga Palestina? Yang justru jumlah warga Palestina korban Israel terus meningkat.

Secara keseluruhan, isi buku ini menggambarkan secara lengkap perkembangan mutakhir perjuangan Palestina diaspora di AS. Mereka hidup di negara yang justru mendukung Israel, dan nyaris tiap hari mereka harus berhadapan dengan perilaku disinformatif media, miskonsepsi para politisi serta propaganda pro-Israel. Uniknya, dalam situasi itulah, Karam menunjukkan berbagai upaya yang masih bisa dilakukan warga AS keturunan Palestina untuk memperjuangkan aspirasi Palestina.*

Express Your Reaction
Like
Love
Haha
Wow
Sad
Angry