UBN (Ustad Bachtiar Nasir) (FT/hidayatullah.com)

JAKARTA | duta.co – Pakar hukum pidana dari Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta, Muzakir menanyakan langkah kepolisian yang kembali memeriksa mantan Ketua Gerakan Nasional Pengawal Fatwa Majelis Ulama Indonesia (GNPF MUI) Ustad Bachtiar Nasir.

“(Pemeriksaan) ini tidak tepat. Dulu sudah dinyatakan ditutup, sekarang kenapa dibuka lagi, dicari-cari lagi kesalahannya, ini masalahnya apa?” kata Muzakir kepada IndonesiaInside, saat dihubungi, Selasa (7/5/2018).

Ya! Penyidik Direktorat Tindak Pidana Ekonomi dan Khusus Bareskrim Polri, memang menjadwalkan pemeriksaan terhadap Ustad Bachtiar Nasir di kantor Bareskrim Polri, Jakarta, pada Rabu (8/5/2019).

UBN, demikian inisial populernya, diperiksa sebagai tersangkat kasus dugaan tindak pidana pencucian uang dengan tindak pidana asal pengalihan aset Yayasan Keadilan untuk Semua.

Pemanggilan pemeriksaan itu tertera dalam Surat Panggilan Nomor: S. Pgl/1212/V/RES.2.3/2019/Dit Tipideksus, yang ditandatangani oleh Direktur Tindak Pidana Ekonomi dan Khusus Bareskrim Polri Brigjen Rudy Heriyanto.

Informasi pemanggilan pemeriksaan ini dikonfirmasi oleh Wakil Direktur Tindak Pidana Ekonomi dan Khusus Bareskrim Polri Kombes Pol Daniel Tahi Monang Silitonga di Jakarta, Selasa (7/5/2019).

Dalam kasus ini, polisi telah menetapkan Bachtiar sebagai tersangka. “Ya betul (sebagai tersangka),” kata Daniel. Menurut dia, kasus yang menjerat Bachtiar ini merupakan kasus lama yang diselidiki Bareskrim pada 2017.

UBN diketahui mengelola dana sumbangan masyarakat sekitar Rp 3 miliar di rekening Yayasan Keadilan untuk Semua (YKUS). Dana tersebut diklaim untuk mendanai Aksi 411 dan Aksi 212 pada 2017 serta untuk membantu korban bencana gempa di Pidie Jaya, Aceh, dan bencana banjir di Bima dan Sumbawa, Nusa Tenggara Barat.

Namun polisi menduga ada praktik pencucian uang dalam penggunaan aliran dana di rekening yayasan tersebut. Inilah yang menurut pakar hukum pidana dari Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta, Muzakir merupakan sebuah keanehan.

Terlebih, di tahun politik kerap terjadi politisasi kasus yang menimpa para ulama dan tokoh. Karenanya, Muzakir meminta agar penegakan hukum tidak dikaitkan dengan sesuatu apapun, apalagi kasus ini sudah diselesaikan sejak tahun 2017.

“Jangan sampai dihubungkan dengan Pilpres karena sekarang ada tuduhan curang dan kasus itu diangkat kembali. Jangan sampai itu terjadi,” ujarnya.

Istilahnya Satu Kampung

Sementara, jelas Muzakir, meninggalnya 440 petugas Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS) sampai hari ini tidak diusut jelas. Belum lagi korban di pihak polisi dan Bawaslu. Padahal, ia menemukan banyak keanehan dan kejanggalan akibat meninggalnya ratusan KPPS yang diduga karena kelelahan dan sakit tersebut.

“Kalau menurut saya orang mati sampai 440 ini yang menjadi masalah. Istilah bahasanya ‘satu kampung’, tapi kenapa adem-ayem, kenapa Ustadz Bachtiar yang malah dipersoalkan, relevansinya dimana?,” tuturnya heran.

Berita ini mendapat banyak komentar warganet.  Benarkah ‘permainan’ telah dimulai? Salah seorang warganet menulis ‘wejangan panjang’, agar bangsa ini tidak mudah diprovokasi. (Sumber: ANTARA dan Indonesiainside.id)