DEMO : Petani tembakau protes rencana diberlakukannya  PP Nomor 28 Tahun 2024 yang salah satunya poinnya mengatur secara ketat produksi dan pemasaran produk berbahan tembakau (dok/duta.co)

SURABAYA | duta.co – Polemik mengenai Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 28 Tahun 2024 yang salah satunya poinnya mengatur secara ketat produksi dan pemasaran produk berbahan tembakau terus bergulir liar. Pasalnya kalau diterapkan banyak masalah yang akan ditimbulkan, mulai hilangnya cirikhas rokok Indonesia dan lebih parahnya banyak pengangguran.

Peneliti ahli utama Pusat Riset Hortikultura dan Perkebunan Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Prof Djajadi mengatakan, PP 28/2024 yang merupakan Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan ini sangat represif terhadap tembakau dan industri hasil tembakau. Salah satunya terkait kadar tar dan nikotin yang diatur dalam aturan tersebut.

Dikatakan Prof Djajadi, kadar tar dan nikotin tembakau dengan kadar tar dan nikotin yang disyaratkan di kemasan rokok itu berbeda.

”Yang dicantumkan di kemasan itu diukur dari asap rokoknya. Sementara rokok sendiri adalah campuran beberapa jenis tembakau. Yang kadar nikotinnya tinggi, dicampur yang sedang dan rendah sehingga blending tembakau menghasilkan rasa dan aroma yang disukai konsumen. Jadi kalau kadar tar dan nikotinnya diubah akan berdampak ke rasanya,” tuturnya.

Ia mengatakan tembakau lokal umumnya memiliki kadar nikotin tinggi. Misalnya tembakau Temanggung yang termasuk tembakau aromatis seperti tembakau Srintil, kadar nikotinnya bisa sampai 8 persen. Lalu tembakau Madura bisa sampai 5 persen, tembakau Kasturi Jember sekitar 4 persen. Jenis-jenis tembakau tersebut umumnya digunakan untuk rokok kretek. Sedangkan tembakau virginia yang banyak diimpor kadar nikotinnya sekitar 3 persen.

Ia menuturkan, tinggi rendahnya kadar dan nikotin dipengaruhi beberapa faktor. Selain faktor intrinsik yang ada secara genetik di tembakau tersebut, kadar nikotin juga dipengaruhi faktor lingkungan. Seperti, ketinggian lahan, sinar matahari, penggunaan pupuk hingga apakah tanaman tembakaunya dilakukan pemangkasan atau tidak.

Industri rokok selama ini memodifikasi kadar tar dan nikotin menggunakan filter dengan kerapatan tertentu dan kertas yang digunakan. Tapi jika kedua teknik tersebut sudah mentok, tentu mereka akan menyerap tembakau-tembakau yang kadar nikotinnya lebih rendah agar bisa memenuhi aturan yang ditetapkan. Akibatnya tentu saja serapan tembakau petani akan menurun.

Dampaknya tidak hanya mengurangi atau bahkan menghilangkan pendapatan petani tembakau, tetapi juga industri rokok yang memiliki ribuan bahkan jutaan karyawan juga akan ikut terdampak.

“Dampaknya besar. Mulai aspek ekonomi, sosial hingga keamanan. Dari sisi ekonomi, perputaran uang yang dibelanjakan petani dan karyawan industri rokok akan berkurang. Lalu, bisa terjadi peningkatan pengangguran yang akan menjadi beban sosial bagi pemerintah. Terakhir, aspek keamanan juga,” kata Prof Djajadi.

Ia lalu mencontohkan di Lombok timur bagian selatan yang dulunya rawan, menjadi daerah yang aman setelah warganya menanam tembakau. Mereka yang dulu tidak memiliki penghasilan kini mendapatkan hasil dari tembakau.

Ia juga menceritakan tentang survey yang dilakukan di Jawa Barat seperti Garut, Sumedang, Majalengka dan Kabupaten Bandung yang menunjukkan kontribusi tembakau ke penghasilan petani lebih besar dibandingkan padi. Perbandingannya, dengan luasan yang sama, nilai jual padi hanya sepertiga dari tembakau. Padahal, padi merupakan tanaman yang disubsidi pemerintah.

 “Petani tembakau lebih banyak mandirinya. Petani tembakau saja tidak mendapat pupuk subsidi. Jadi aturan itu harus dilihat secara menyeluruh. Bukan melarang sepenuhnya. Mematikan itu namanya,” kata Prof Djajadi.

Sementara para petani tembakau di Jember merasa khawatir implementasi PP 28/2024 ini nantinya bisa membunuh mata pencaharian mereka. Mereka mendesak agar regulasi tersebut segera direvisi, karena dinilai dapat mematikan industri tembakau yang telah lama menjadi andalan ekonomi daerah tersebut. Komoditas tembakau disamakan dengan zat adiktif berbahaya dalam regulasi ini, yang menurut mereka adalah kebijakan yang tidak adil.

“Kami, petani tembakau yang tergabung dalam APTI Jember, menolak peraturan yang berupaya menerapkan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan,” ujar Ketua Asosiasi Petani Tembakau Indonesia (APTI) Jember, Suwarno.

Suwarno menjelaskan, aturan ini akan mengancam mata pencaharian petani tembakau di Kabupaten Jember, yang sebagian besar bergantung pada tembakau sebagai sumber pendapatan utama.

“Selama ini, tembakau telah menjadi hidup bagi banyak orang di Jember. Bahkan, logo Pemkab Jember pun menampilkan gambar tembakau,” tambah Suwarno. Saat ini, sekitar 40 ribu petani tembakau di Jember mengelola sekitar 22 ribu hektare lahan tembakau jenis Na Oogst, Kasturi, dan rajang.

Suwarno juga khawatir bahwa regulasi ini bisa membuka pintu bagi produk tembakau impor, yang akan semakin menyulitkan petani lokal.

“Kami khawatir ini akan membuka jalan bagi produk luar negeri untuk masuk, termasuk di Jember. Tembakau Na Oogst yang berstandar internasional hanya tersisa di Jember. Kita harus mempertahankan ini,” tegasnya.

Suwarno meminta agar PP Nomor 28 Tahun 2024 direvisi untuk memberi kesempatan kepada petani tembakau agar tetap bisa menanam. “Jika mencabut aturan itu tidak memungkinkan, maka kami meminta agar PP tersebut direvisi,” katanya. (imm)

Express Your Reaction
Like
Love
Haha
Wow
Sad
Angry