
Rabu, 13 Agustus 2025, ruang sidang paripurna DPRD Jombang menjadi saksi langkah penting para wakil rakyat dan Bupati Jombang. Seluruh fraksi sepakat menerima dan menyetujui revisi Perda No. 13 Tahun 2023 tentang Pajak dan Retribusi Daerah. Keputusan itu menandai perubahan signifikan pada aturan main pemungutan Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan (PBB-P2), dengan dasar perhitungan yang mengacu pada Nilai Jual Objek Pajak (NJOP).
Sejak lahirnya era otonomi daerah, UU Nomor 28 Tahun 2009 memberikan kewenangan penuh kepada pemerintah kabupaten/kota untuk menentukan tarif PBB-P2. Secara teori, ini adalah bentuk kedaulatan fiskal daerah sebuah peluang untuk mengatur sumber pendapatan secara mandiri demi pembangunan. Namun, kewenangan besar itu menyimpan tantangan besar pula: bagaimana memastikan kebijakan fiskal tidak menjadi alat penekan ekonomi rakyat.
Kenaikan PBB-P2 yang berlaku di Jombang sejak 2024 berakar pada penyesuaian NJOP. Wajar bila pajak mengikuti perkembangan harga tanah, karena itulah salah satu prinsip penilaian objek pajak. Tetapi “wajar” di atas kertas sering berbeda dengan “nyata” di lapangan. Lonjakan yang mencapai ratusan hingga lebih dari seribu persen di beberapa titik jelas bukan sekadar penyesuaian. Bagi sebagian warga, ini bukan lagi pajak tahunan, melainkan “tagihan kejutan” yang mengguncang dompet.
Masalahnya bukan hanya pada angka, tetapi pada cara kebijakan ini dirumuskan dan disosialisasikan. Penetapan pajak yang hanya berpatokan pada lokasi tanpa mempertimbangkan kemampuan ekonomi wajib pajak menimbulkan jurang ketidakadilan. Di satu sisi, pemilik tanah luas yang berpenghasilan besar mungkin mampu membayar. Namun di sisi lain, ada pensiunan, petani kecil, atau keluarga berpenghasilan pas-pasan yang tanahnya kebetulan berada di area yang nilai pasarnya melonjak mereka ikut terseret arus kenaikan tanpa daya tawar.
Transparansi seharusnya menjadi prinsip utama sebelum kebijakan semacam ini diberlakukan. Pemerintah daerah tidak cukup hanya menyebut “penyesuaian NJOP” sebagai alasan. Masyarakat berhak mengetahui perhitungan, pertimbangan sosial ekonomi, serta rencana pemanfaatan dana yang dikumpulkan. Tanpa keterbukaan, kebijakan fiskal rawan dicurigai sebagai upaya instan mengejar PAD tanpa memikirkan efek jangka panjang.
Lebih bijak bila kenaikan tarif dilakukan secara bertahap, dengan evaluasi rutin untuk mengukur dampaknya terhadap daya beli masyarakat. Selain itu, skema keringanan atau pengecualian bagi kelompok berpenghasilan rendah harus menjadi bagian integral dari kebijakan pajak, bukan sekadar “kebijakan tambahan” yang diberikan setelah terjadi protes publik.
Pajak, dalam filosofi negara modern, bukan sekadar instrumen pengumpulan uang, tetapi juga wujud kontrak sosial. Ia adalah kontribusi bersama untuk membiayai layanan publik dan pembangunan, dengan imbalan rasa aman, fasilitas, dan kesejahteraan yang adil. Jika tarif pajak dipatok tanpa mempertimbangkan kekuatan ekonomi rakyat, maka pesan moral pajak keadilan sosial akan memudar.
Kepercayaan publik terhadap pemerintah daerah dibangun bukan dari pidato atau slogan, tetapi dari pengalaman nyata warga saat berhadapan dengan kebijakan. Bila pajak dirasakan sebagai beban yang tak sebanding dengan manfaat, maka kontrak sosial itu mulai retak. Pemerintah daerah harus ingat keberlanjutan PAD tidak bisa hanya mengandalkan kenaikan tarif, melainkan pada kemauan rakyat untuk taat membayar dan kemauan itu tumbuh dari rasa percaya bahwa pajak mereka dikelola dengan adil dan bermanfaat.
Di sinilah tantangan terbesar pasca revisi Perda No. 13/2023 bagaimana mengembalikan pesan moral pajak sebagai modal bersama, bukan sekadar kewajiban yang memberatkan. Tanpa itu, kebijakan fiskal akan mudah berubah menjadi sumber ketegangan antara rakyat dan pemerintahnya.
Oleh: Didin A Sholahudin
Ketua ICMI Jombang