KUALITAS EKSPOR: Produk furniture Indonesia potensial menjadi pilihan utama di pasar global dengan kualitas SDM dan bahan baku yang masih melimpah (duta.co/dok)

JAKARTA | duta.co – Kemenperin mencatat, pada 2015 terdapat 139.544 industri furnitur berskala kecil dan menengah. Ekspor furniture pada 2015 tercatat 1,21 miliar dolar AS. Namun, pada 2016 angkanya turun menjadi hanya 1,04 miliar dolar AS.

Menteri Perindustrian Airlangga Hartarto akan mengusulkan keringanan biaya Sertifikasi Verifikasi Legalitas Kayu (SVLK) bagi industri mebel skala kecil dan menengah. Hal itu disampaikan Airlangga usai menerima pengurus pusat Himpunan Industri Mebel dan Kerajinan Indonesia (HIMKI).

Menperin juga berjanji akan mencari mekanisme pengurusan SVLK yang lebih sederhana dan fleksibel, namun dangan biaya yang lebih murah. Sebab, Airlangga mengaku banyak menerima keluhan soal tingginya biaya SVLK dan tidak adanya fleksibilitas dari sisi pembeli.

“Kita akan cari titik tengah, angka berapa yang industri berkenan untuk mengganti biaya. Karena ini ada ongkos ganti kerja, jadi harus ada pergantian yang normal,” ujarnya.

Selain itu, Kemenperin memandang kewajiban SVLK harusnya tak diterapkan di sektor hilir. Sebab, jika bahan baku sudah legal, maka produk turunannya terjamin berasal dari kayu yang legal pula.

Dalam kesempatan yang sama, Ketua Umum HIMKI Soenoto membenarkan bahwa industri furnitur merasa terbebani dengan kewajiban untuk menyertakan produk mereka dengan SVLK karena biayanya yang tinggi. Ia khawatir kebijakan tersebut akan menghambat tumbuhnya industri furnitur.

Soenoto sendiri menyebut bahwa saat ini ada kelesuan di industri mebel. “Saya dulu bisa kirim 70 kontainer sebulan. Kalau sekarang paling 70 kontainer itu setahun.” Oleh karena itu, Soenoto mendorong agar pemerintah segera merevisi aturan SVLK sehingga menjadikannya lebih sederhana dan rendah biaya. (imm)

 

Express Your Reaction
Like
Love
Haha
Wow
Sad
Angry