“Kalau Tim Hukum AMIN tidak melakukan kontra quick count, tetapi, lebih berdasarkan raihan suara pasangan 02 kurang dari 50%, maka, sangat logis jika Pilpres bakal digelar dua putaran. Tetapi, berlaku syarat dan ketentuan seperti ini.”
Oleh Dr H Syarif Thayib, SAg, MSi
PERSIS prediksi saya pada tulisan “Game Over Pilpres 2014” (duta.co, 12/2), bahwa Pilpres 2024 tidak se-seru Pilpres dua periode sebelumnya, di mana secara head to head pasangan Jokowi-JK menurut hasil real count (penghitungan manual/final) di KPU menang tipis dari pasangan Prabowo-Hatta Rajasa (Pilpres 2014, selisih 6,3%) dan Jokowi-Ma’ruf juga menang dari Prabowo-Sandi (Pilpres 2019, selisih 11%).
Ini berbeda dengan Pilpres 2024 sekarang, hasil akhir penghitungan cepat (quick count) menurut mayoritas lembaga survei pasangan Prabowo–Gibran meraih suara sekitar 58%, sehingga menang telak dari pasangan 01 Anies–Muhaimin (AMIN: 25%), terpaut sekitar 33%, dan selisihnya sekitar 41% dengan pasangan 03 Ganjar-Mahfud (17%). Jika perolehan pasangan 01 dan 03 digabung sekalipun, selisih suaranya masih menang pasangan 02, yaitu sekitar 16%.
Saya percaya 99% atas kebenaran quick count oleh lembaga survei kredibel, seperti LSI Denny JA, Saiful Mujani Research and Consulting (SMRC), Charta Politika, Indikator Politik Indonesia, dll karena penghitungan mereka based of research, memiliki dasar ilmiah yang kuat. Ibarat menghitung kadar gula darah seseorang, cukuplah dengan mengambil sampel sedikit darah saja dari tubuhnya.
Apalagi pemilik lembaga survei seperti: Denny JA., Saiful Mujani, M. Qadari, Burhanuddin Muhtadi, dll diketahui sudah ribuan kali melakukan survei-survei Pemilu dan lain-lain. Kalaupun mereka disebut-sebut oleh yang kalah sebagai Peneliti “bayaran”, yang penting hasil prediksinya selama ini selalu mirip dengan hasil real count mereka, dan seterusnya. Kalau tidak percaya dengan hasil quick count tidak mungkinlah para peserta Pilpres 2024 bersama Tim Kampanye Nasional (TKN)nya berkumpul menyaksikan penghitungan versi quick count.
Seperti Tim Nasional pasangan 01 yang berkumpul di Rumah Pemenangan AMIN di Jalan Diponegoro 10, Menteng, Jakarta Pusat. Lalu Tim Kampanye Nasikonal (TKN) pasangan 02 di Djakarta Theater, Jakarta. Sedangkan Tim Pemenangan Nasional (TPN) 03 berkumpul di Posko Pemenangan Jalan Teuku Umar Nomor 9, Menteng, Jakarta Pusat. Sekali lagi, semua peserta Pilpres pada dasarnya sangat percaya dengan hasil quick count. Hanya saja bagi yang kalah selalu menuding yang menang melakukan rekayasa, kecurangan dll.
“Setiap Pemilu yang dilakukan selalu dituduh curang oleh yang kalah dan apapun yang dilakukan oleh KPU selalu salah di mata yang kalah,” demikian mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Mahfud MD di banyak flyer Medsos yang beredar.
Walau begitu, katanya, saya tetap menyisakan ketidakpercayaan pada lembaga survei 1% saja untuk hak preogratif Tuhan bernama takdir, meski dalam firman-Nya, Tuhan memberi ruang adanya perubahan takdir (lihat QS. Ar-Ra’d: 39) dengan do’a (lihat hadits riwayat Ahmad dari Tsauban radhiyallahu’anhu yang dinilai hasan oleh al-Albany).
Celah Kesalahan Lembaga Survei
Kebenaran hasil survei memang tidak mutlak 100% karena masih ada celah antara dua sampai tiga persen drajat kesalahan dalam pengambilan sampel, atau yang biasa disebut dengan margin of error. Pada hasil quick count Pilpres 2024, Indikator Politik Indonesia menyebut margin of errornya 2%, Charta Politika 2,82%, LSI Denny JA. 2,9%, dan seterusnya.
Pengalaman Pemilihan Gubernur (Pilgub) Provinsi Jawa Timur pada 2008 menjadi pelajaran berharga, dimana hasil quick count pasangan Khofifah-Mujiono (KAJI) dinyatakan menang tipis sekitar 2% dari pasangan Soekarwo-Saifullah (KARSA), tetapi karena margin of errornya sekitar 2,5%, maka begitu dilakukan penghitungan manual di KPU, hingga kedua kubu saling gugat di MK, akhirnya KARSA dinyatakan menang tipis 0,2% atau selisih 60.223 suara saja (https://id.wikipedia.org).
Hal itu dianggap wajar karena selisih kemenangannya berkutat di angka margin of error. Berbeda dengan hasil quick count Pilpres 2024 sekarang, selisih kekalahan suara Pasangan 01 AMIN dari pasangan 02 terpaut sekitar 33%, padahal margin of errornya berkisar dua sampai tiga persen saja, maka mustahil jika hasil penghitungan manual (real count) di KPU nanti pasangan Anies menyalip dan mengungguli pasangan 02 PrabowoGibran.
Oleh karena itu, TKN dan Tim Hukum AMIN fokusnya bukan melakukan kontra quick count bahwa AMIN menang suara dari 02, tetapi yang Tim AMIN lakukan adalah bahwa Pilpres harus dua putaran karena sangkaan raihan suara pasangan 02 kurang dari 50%. Nah, kalau opini yang dibangun seperti itu, sangat logis jika Pilpres bakal digelar dua putaran. Tentunya berlaku syarat dan ketentuan.
Pertama, hasil penghitungan akhir manual KPU pada sekitar 20 Maret 2024 nanti diperoleh fakta bahwa pasangan 02 raihan suaranya kurang dari 50%, dan atau raihan tebaran kemenangannya kurang dari separuh Provinsi se-Indonesia. Meski kemungkinan yang pertama ini sangat kecil, mengingat hasil quick count semuanya menyebut bahwa 02 hanya kalah di 2 atau 3 provinsi saja dari total 38 provinsi se-Indonesia.
Kedua, jika perolehan suara pasangan 02 jelas-jelas seperti hasil quick count (58%), kemudian TKN dan Tim Hukum AMIN dan atau pasangan 03 Ganjar-Mahfud mengajukan gugatan sengketa hasil Pemilu ke MK, hingga mampu membuktikan sangkaan adanya kecurangan terstruktur, sistematis, dan masif oleh Tim pasangan 02 sampai terjadi penggelembungan 8,1% atau sekitar 17 juta suara, sehingga perolehan suara sah pasangan 02 menjadi kurang dari 50% dari total suara, maka, Pilpres 2024 putaran kedua pada 26 Juni 2024 wajib digelar. Tapi, mission impossible? Let’s see. (*)
*Dr H Syarif Thayib, SAg, MSi adalah Dosen UINSA, Anggota Panwaslu Jatim 2002-2004.