SURABAYA | duta.co –  Viral, ‘Ngaji Online’ Gus Baha melalui video pendek SantriGayeng.com, Sabtu (9/5/2020) malam di grup WA, berlangsung viral. Kali ini, putra Kiai Nur Salim, pengasuh pesantren Alquran di Kragan, Narukan, Rembang itu, membahas penyakit orang banyak, NETRAL ketika menghadapi suatu masalah.

Penyakit ini, jarang yang membahasnya. Sehingga sikap NETRAL seakan bijak. Apalagi netral ini sudah menjadi ciri orang Jawa. Padahal, itu bertentangan dengan perintah agama. Gus Baha memberikan jawaban gamblang melalui video berdurasi 3:46 menit yang rekam SantriGayeng.com.

“Saya pernah ditanya. Dan, ini kisah nyata: Gus, orang netral itu baik, tidak? Misalnya (ada) orang berkelahi, kita tidak ikut mencampuri?,” demikian Gus Baha mengawali dengan sebuah pertanyaan.

Apa jawaban Gus Baha? “Rasulullah tidak pernah menjadi orang netral. Misalnya, Musthofa berkelahi dengan Rukhin, maka, nabi pasti membela salah satunya (yang benar). Nabi tidak punya kebiasaan ‘Gak tahu ah, urusan mereka ini..” jelasnya.

Mengapa harus berpihak? “Karena jika tidak ikut campur, tidak berpihak, artinya? Begini: Andaikan ada gajah berkelahi dengan kucing, lalu tidak ikut campur, berarti (dia) ikhlas kalau ada kucing diinjak gajah. Padahal yang pasti menang gajah.”

“Rukhin berkelahi dengan Musthofa, dan Rukhin yang salah, lalu kamu tidak ikut campur, itu sama dengan membiarkan kebenaran dan kesalahan itu sama. Padahal, tugas Nabi itu furqon (pemisah antara Haq dan Bathil). Makanya, nabi pasti mengambil sikap. Membela Musthofa karena dia benar,” tegasnya.

Jadi, jelas Gus Baha, dirinya setuju, kalau misalnya ada para habiab ketika memilih (bersikap) itu jelas. Kalau A ya A, kalau B ya B. Dan harus menjelaskan (pilihannya). “Misalnya menolak ini, tidak apa-apa harus jelas. Meskipun orang lain bisa beda, tidak apa-apa, asal jelas. Seperti orang Islam di Jakarta menolak A, ya harus menolak A. Ciri utama kebenaran: Benar itu benar! Salah itu Salah! Bahwa kemudian kita harus menerima karena konstitusi, itu karena kita orang Indonesia (tidak masalah),” jelasnya.

Tetapi, urainya, ciri kebenaran itu harus bilang: A itu salah, B itu benar. “Tidak boleh kamu netral: Ah sama saja! Tidak bisa. (Kalau netral seperti itu) akibatnya perkara haq bisa setara dengan perkara bathil. Paham ya?,” tanya Gus Baha.

Makanya, lanjutnya, cirri utama Nabi itu alfariq (pemisah antara haq dan bathil). Alquran juga alfurqon, pemisah antara haq dan bathil. “Tapi tradisi Jawa ini, berbeda. Jika tidak ikut-ikut, justru dianggap hebat. Di Jawa tidak ikut-ikut itu, seperti orang bijak. Itu tidak boleh. Meskipun kita sendiri sebagai orang Jawa tidak punya keberanian tampil sebagai alfariq, tapi, jangan sampai kita mendukung sikap netral. Itu tidak baik,” demikian Gus Baha.

Itu Ciri Kebenaran

Mengapa tidak boleh netral? “Jika kamu netral, itu sama saja membuat yang bathil itu sama dengan yang haq. Nah, cirri kesalahan termasuk itu, adalah orang yang menyejajarkan hukum Allah dengan perkara bathil.”

Karena itu, Gus Baha kemudian mengutip pendapat Imam Ahmad bin Hanbal: “Jika ada orang akrab dengan ahli bid’ah atau maksiat, maka, saksikan orang seperti itu jauh dari Tuhan. Masak dengan orang sholeh akrab dengan orang jelek juga akrab. (Kalau begini) nanti orang jelek akan menganggap, ternyata baik dan buruk itu sama saja. Tetapi, kalau ada perlakuan berbeda, ini benar, ini salah, maka, menjadi jelas,” tegasnya.

Lalu bagaimana solusinya, ketika kita tidak bisa bersikap sinis (ekstrem)? Begini kata ulama: “Ketika Anda berdoa, maka, berdoalah yang sesungguhnya, salam bagi kami dan hamba-hamba Allah yang soleh. Allah menyaksikan kita, hingga hati kita, bahwa kita hanya berkawan dengan mereka yang soleh (assalamulaina wa ala ibadillahissholihin).”

Jadi? Harus fariq. Harus tegas. “Saya mohon kepada Anda, meskipun kita tidak bisa menjadi ekstrem, tapi minimal punya sifat fariq (pemisah haq dan bathil).  Karena itu ciri kebenaran, Alquran diturunkan untuk alat pemisah, antara haq dan bathil,” pungkasnya. (mky)

Express Your Reaction
Like
Love
Haha
Wow
Sad
Angry