Oleh: Moh. Muslim*

DIKETOKNYA palu legislator Senayan pada hari Senin, 5 Oktober 2020 sebagai penanda disahkannya Undang-Undang Omnibus Law Cipta Kerja telah mendatangkan awan hitam di atas negeri ini. Berbagai reaksi penolakan muncul dari berbagai kalangan masyarakat, mulai dari tokoh agama, tokoh masyarakat, pimpinan ormas, akademisi, asosiasi buruh, aktivis mahasiswa dan berbagai kelompok masyarakat lainnya. Undang-undang dengan komposisi 15 bab dan 174 pasal di dalamnya mengatur tentang tenaga kerja sampai lingkungan hidup.

Ekspresi penolakan masyarakat atas ditetapkannya undang-undang omnibus law cipta kerja dalam berbagai macam bentuk, ada yang secara damai prosedural mengajak masyarakat menolak dengan cara yang arif dan bijak sesuai dengan jalur hukum yang ada. Ada juga yang mengekspresikan penolakan dengan cara turun ke jalan melakukan unjuk rasa (tidak jarang berujung pada kericuhan). Ekspresi penolakan dengan menempuh cara damai prosedural seperti yang dilakukan oleh beberapa ormas Islam di Indonesia, yaitu PBNU dan PP Muhamadiyah yang intinya menyayangkan penegesahan undang-undang omnibus law cipta kerja, yang kruang memihak kepada rakyat. Dari akademisi tidak kurang 67 perguruan tinggi di Indonesia yang diwakili oleh Susi Dwi Harijanti, guru besar Universitas Padjajaran dalam konferensi pers Rabu, 7 Oktober 2020. (dikutip dari medcom.id).

Penolakan pengesahan UU omnibus law cipta kerja tidak hanya dalam bentuk pernyataan dengan mengirimkan surat keberatan kepada pemerintah, akan tetapi sebagian kalangan melakukan penggalangan masa untuk melakukan unjuk rasa. Aktivis  mahasiswa lebih dari 50 kampus di Indonesia turun kejalan melakukan demontrasi pada hari kamis, 8 Oktober 2020. Dari kalangan pekerja yang dimotori oleh  Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) dengan presidennya Said Iqbal telah menggerakkan tidak kurang dari 2 juta pekerja yang tersebar pada 23 daerah,  untuk melakukan mogok kerja dan melakukan unjuk rasa di berbagai daerah.

Respon pemerintah atas berbagai bentuk penolakan tersebut disampaikan oleh Menkopolhukam Mahfud MD pada hari Kamis malam tanggal 8 Oktober 2020 dengan 7 poin pernyataan sikap, yang intinya bahwa pemerintah merasa sudah melakukan proses akomodirisasi berbagai pokok masalah yang diperjuangkan oleh para demonatran atau penolak.

Berbagai ekpresi penolakan, dengan berkumpulnya masa dalam satu titik tertentu tentu sangat kontradiktif dengan situasi negeri ini yang sedang berjuang di dalam menghadapi wabah covid-19. Berbagai aktivitas masa tersebut, tentu akan sangat jauh dari upaya protokoler pencegahan covid-19 (social distance, cuci tangan, pakai masker, dll). Hal ini tentu akan berdampak pada melesatnya penyebaran covid-19.

Dari data yang disajikan dalam web gugus covid-19 per tanggal 9 Oktober 2020 total jumlah kasus positif sebanyak 324.658 dengan pasien sembuh 247.667 orang dan yang meninggal dunia sebanyak 11.677 orang. Untuk satu hari, pada hari tersebut, kasus positif baru Indonesia bertambah nyaris 5.000 orang, atau tepatnya 4.850 orang baru dinyatakan positif, yang merupakan rekor tertinggi kasus baru saat ini. Kasus meninggal juga meningkat sebanyak 108 orang baru meninggal. Potensi lonjakan penyebaran wabah covid-19 akan sangat dimungkinkan terjadi dalam beberapa hari ke depan, seiring dengan kasus unjuk rasa yang mengumpulkan ribuan masa. Seperti yang dinyatakan Epidemiolog UI Tri Yunis Miko Wahyono kepada CNBC Indonesia, Jumat (09/10/2020) “Di kerumunan demonstran kan mungkin saja ada kasus OTG atau gejala ringan, terbukti ada banyak yang positif. Saya tidak bisa membayangkan penambahan kasus di Jakarta, Surabaya, Semarang, Makassar yang banyak terjadi demo. Probabilitas penularannya besar. Penambahan kasus Covid-19 di 3-7 hari ke depan akan semakin banyak”.

Situasi dan kondisi demikian harus menjadi keprihatinan bersama bagi semua pihak, baik dari pemerintah, legislative maupun masyarakat. Baik pemerintah maupun masyarakat yang menolak harus mampu bersikap dan bertindak secara arif dan bijak. Jangan sampai masing-masing pihak mengedepankan ego dan kepentingan masing-masing yang pada akhirnya semua akan menjadi korban dan menanggung kerugian.

Usaha untuk menuntut keadilan atas ketidak terimaan terhadap isi undnag-undang ominus law cipta kerja, merupakan hak setiap individu anak bangsa ini. Sebagaimana yang diatur dalam UU nomor 9 tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum adalah penjaminan terhadap salah satu hak asasi manusia. Mereka berhak melakukan upaya-upaya hokum yang konstitusional di dalam memperjuangkan tuntutan mereka. Karena negara menjamin kebebasan setiap individu bangsa ini untuk meiliki kebebasan bersuara dan menyampaikan pendapatnya, tentu dengan tetap tidak merampas hak orang lain jelasnya. Hal ini selaras dengan isi UUD 1945 Pasal 28 yang intinya negara menjamin Kemerdekaan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan dan sebagainya.

Berbagai peristiwa yang mengiringi pemgesahan undang-undnang omnibus law cipta kerja oleh pemerintah, mulai dari pernyataan sikap, mogok kerja, unjuk rasa dan mengajukan tuntutan judicial review.  Sebagai reaksi atas ketidaka setujuan sebagian masyarakat terhadap penegsahan tersebut. Ekspres penolakan dengan berbagai bentuk tersebut, tentu wajar dan memang itu merupakan hak asasi mereka di dalam menyalurkan ketidak setujuannya selama apa yang mereka laukuan tidak merugikan hak orang lain serta dalam situasi dan kondisi yang tepat.

Peristiwa yang cukup menjadi perhatian dalam pengesahan undang-indang omnibus law cipta kerja ini adala tentang disahkannya undang-undang tersebut dan reaksi maysrakat yang melakukan peneolakan dengan melakukan unjuk rasa dengan diantaranya berujung pada kerusuhan. Dua peristiwa inilah yang emnurut saya menjadi pemicu “kegaduhan” di tengah masyarakat, yang notabenenya masyarakat sedang mengalami masa keprihatinan dalam berbagai bidang seiring dengan adanya pandemic covid-19.

Pengesahan Undang-Undang

Pemerintah dengan “tiba-tiba” mengumumkan pengesahan undang-undang omnibus law cipta kerja, yang menurut sebagian masyarakat poin-poin yang ada di dalam undang-undnang tersebut dirasa  masih berpeluang untuk menyebabkan kerugian/ketidak adilan pada masyarakat khususnya kaum pekerja/buruh. Terlepas dari ketidak setujuan masyarakat terhadap isi dari undang-undang tersebut, tentu yang perlu menjai catatan adalah “kenapa” pemerintah melakukan proses pengesahan undang-undang yang di dalamnya masih mengandung potensi adanya penolakan dari masyarakat pada saat bangsa ini sedang berjuang untuk mengatasi wabah covid yang terus mengalami peningkatan. Apakah mungkin pemerintah tidak tahu atau tidak mendeteksi peluang terjadinya penolakan dari masyarakat tersebut, tentu ini hal yang cukup naif kalau memang benar-benar terjadi, ataukah pemerintah memiliki argumentasi lain yang tentunya telah diantisipasi berbagai resikao yang akan dihadapi oleh bangsa ini dengan adanya pengesahan undang-undanng tersebut.

Tentu, berbagai pertanyaan tersebut hanya pemerintah sendirilah yang tahu, akan tetapi dari tulisan sederhana ini tentu sebagai rakyat biasa melihat bahwa pengesahan undang-undang pada situasi keprihatinan global ini menjadi persoalan yang patut disayangkan. Itikad baik pemerintah untuk menyegerakan pengesahan undang-undang omnibus law cipta kerja agar mampu memberikan peluang usaha dan peluang kerja bagi masyarakat agak ternodai dengan reaksi sebagian masyarakat. Sebagian masyarakat mengekspresikan penolakan pengesahan undang-undang omnibus law cipta kerja dengan melakukan unjuk rasa diberbagai daerah tentu menjadi keprihatinan tersendiri.  Dalam kondisi pandemic covid-19, yang secara normativnya salah satu upaya pencegahan penyebarannya dengan melakukan protokol kesehatan (jaga jarak, bermasker, cuci tangan, penggunaan hand sanitizer), namun protokol tersebut seolah tidak berlaku pada saat berlangsungnya unjuk rasa. Mereka berkumpul dengan jarak yang tidak sesuai dengan anjuran, tidak cuci tangan, tidak menggunakan hand sanitizer dan tidak semua menggunakan masker. Hal ini tentu sangat membahayakan bagi kesehatan pengunjuk rasa, dan masyarakat pada umumnya. Mereka berpotensi untuk tertular dan menularkan virus covid-19. Tidak hanya itu, mereka juga berpeluang untuk menularkan virus covid-19 kepada masyarakat luas, baik melalui keluarga, tetangga, kerabat dan masyarakat lain. Tentu hal ini akan semaki mempersulit upaya pemerintah dan masyarakat untuk mencegah terjadinya penyebaran virus covid-19, yang notabenenya virus ini sangat berbahaya dan dapay mengakbatkan pada kematian.

Pemerintah sebagai penangung jawab dan pengmban amanah rakyat, tentu harus melakukan evaluasi dengan adanya peristiwa ini, jangan sampai itikad baik untuk meningkatkan ekonomi dan kesejahteraan rakyat melalui pengesahan undang-undang omnibus law cipta kerja menimbulkan resiko besar bagi keselamatan rakyat itu sendiri. Usaha tersebut dapat menjadi kontra produktif terhadap tujuan mulia pemerintah. Pemerintah harus berupaya untuk meminimalisir berbagai potensi yang berpeluang untuk mengancam kehidupan bangsa, apalagi keselamatn rakyat.

Unjuk Rasa (demo)

Ekspresi penolakan sebagian masyarakat terhadap pengsahan undang-undang omnibus law cipta kerja, dilakukan dengan jalan unjuk ras (demonstrasi). Mereka melakukan konsolidasi masa dengan berkumpul dalam satu titik tertentu, kemudian melakukan konvoi menuju pusat pemerintahan (Kantor Bupati/Wali kota dan DPRD). Setelah sampai dilokasi, mereka melakukan orasi untuk menyampaikan aspirasinya. Dalam konteks ini, tentu sah-sah saja dan tidak menjadi persoalan masyarakat menyuarakan haknya melalui cara unjuk rasa (demonstrasi), akan tetapi yang menjadi persoalan adalah momentum pelaksanaanya yang tidak tepat. Masyarakat saat ini sedang berjuang untuk keluar dari jerat wabah covid-1 9. Salah satu cara untuk pencegahnya adalah dengan melakukan protocol kesehatan, sebagaimana yang dianjurkan oleh pemerintah yaitu dengan  cara; jaga jarak, cuci tangan, bermasker dan menggunakan hand sanitizer.

Namun dalam kenyataannya, masyarakat yang melakukan aksi unjuk rasa, hamper mayoritas tidak mematuhi anjuran tersebut, mulai dari berkumpulnya masa dengan jumlah besar dalam satu lokasi, cuci tangan, menggunakan masker dan menggunakan hand sanitizer. Penerapan protocol kesehatan pada saat unjuk rasa tentu akan sangat sulit untuk dilakukan dan hal tersebut sangat membahayakan bagi mereka sebagai peserta aksi. Mereka bisa tertula ataupun menularkan virus covid-19. Proses migrasi covid-19 antar peseta unjuk rasa tentu akan berlangsung secara massif dan sangat cepat. Bahaya yang muncul dari aksi yang tidak mengikuti protocol kesehatan tersebut tidak hanya kepad dirinya sendiri, akan tetapi juga membahayakan orang lain dilingkungan sekitar mereka.

Untuk itu perlu menjadi perhatian serius bagi sebagian masyarakat yang tidak setuju (menolakterhadap pengesahan undang-undang omnibus law cipta kerja, untuk mengekspresikan bentuk penolakannya dengan cara yang lebih elegan . kalua memang ada jalur perjuang lain , yang mampu memebrikan peluang keamanan dan keselamatan yang lebih besar lagi, mungkin langkah itulah yang lebih baik untuk di ambil. Upaya untuk memerjuangkan kebaikan jangan sampai menimbulkan perkara baru yang lebih membahayakan. Keselamatan manusia itu lebih asasi untuk dijaga dan diperjuangkan. Hak untuk menyuarkana pikiran dan pendapat merupakan hak asasi yang dimiliki oleh setiap individu di negeri ini, akan tetapi jangan sampai hak asasi yang kita miliki mengorbankan jak asasi orang lain.

Dalam pandemic covid-19, unjuk rasa (demonstrasi) terbuka dimuka umum yang dilakukan secara tertib dan dami saja masih memunculkan potensi mengancam keselamatn manusia, apalagi unjuk rasa yang dilakukan dengan cara anarkis. Se. Seperti yang terjadi saat unjuk rasa pada hari Kamis, tanggal 8 Oktober 2020. Dibeberapa daerah unjuk rasa yang dilakukan berakhir dengan kericuhan  dan perusakan berbagai fasilitas umum. Tidak sedikit pula korban yang berjatuhan akibat peristiwa kerusuhan tersebut. Situasi ini tentu kontradiktif dengan misi utama dari perjuangan itu sendiri. Perjuangan yang hakikatnya menuntut keadilan atas hak rakyat, disi lain dinodai dengan peristiwa yang merugikan rakyat itu sendiri. Lebih ironi lagi, bila dijumpai peserta aksi yang ternyata secara substansi mereka tidak faham atau tidak tahu terkait misi dari aksi yang dilakukan. Mereka hanya ikut-ikutan tanpa mengetahu mengapa mereka melakukan aksi tersebut. Tentu hal ini menjadi preseden buruk bagi generasi bangsa ini. Mereka yang notabenenya adalah generasi-generasi harapan bangsa dimasa dating, akan tetapi mereka tidak emiliki kesadaran kritis analitis terhadap fenomena yang ada. Ketidak mampuan untuk melakukan pengkajian secara  fundamen dan komprehensif atas berbagao fenomena, namun telah melakukan aksi dan reaksi cukup frontal tentu menjadi problem tersendiri bagi pendidikan generasi ini. Mudahnya untuk menjastifikasi, menghakimi dan bahkan berekasi terhadap berbagai pesoalan yang belum dipahami secara detail, mendalam dan komprehensif perlu menjadi catatan pemimpin bangsa ini.

Berbagai peristiwa yang terjadi di negeri ini, seiring dengan pengesahan undang-undang omnibus law cipta kerja dan reaksi yang dimunculkan oleh sebagaian masyarakat, perlu menjadi bahan renungan dan instropeksi diri. Kurangnya rasa empati dan simpati antar masyarakat serta kurangnya rasa tenggangrasa di bangsa ini mengindikasikan bahwa nilai-nilai kebersamaan dan kerukunan bangsa ini sudamh mulai tercerabut. Ketidak pekaan terhadap situasi dan kondisi yang sedang terjadi serta berbagai reaksi yang terkadang lebih relevan dengan arogansi tentu perlu diwaspadai. Bangsa ini membutuhkan orang yag bijak dalam berfikir, bersikap,  bertindak, dan bereaksi untuk menghadapi tantangan bangsa.

*Penulis adalah Dosen Fakultas Agama Islam (FAI) Universitas Islam Malang (Unisma)

Moh.muslim@unisma.ac.id

Express Your Reaction
Like
Love
Haha
Wow
Sad
Angry