“Apapun yang dibawa atau dibeli dari tanah suci memiliki “keberkahan” paling dahsyat bagi yang menikmati atau menggunakannya.”
Oleh Syarif Thayib*

JUJUR, judul di atas terinspirasi dari tema Kajian Rutin Ahad Pagi di Masjid Nasional Al Akbar Surabaya (MAS) oleh KH. Imam Chambali, pengasuh Pesantren Mahasiswa Al Jihad, yang penulis baca di Flyer WAG pengurus MAS, 21 Juli 2024 lalu.

Kesannya kontras dengan foto penulis yang duduk di depan Ka’bah sambil kedua tangannya mengangkat tasbih Masjidilharam. Ya, tasbih dari kayu berwarna coklat gelap dan kuning keemasan itu memang belinya di jalanan depan Masjid terbesar dan paling sakral itu. “Shalat di Masjidilharam lebih utama daripada 100.000 shalat di masjid lain” (HR. Ibnu Majjah).

Foto tersebut diambil spontan usai menyempurnakan Umroh Sunnah bersama rombongan Jemaah haji Kloter 95 Surabaya yang penulis pimpin. Sekalian mumpung lagi bawa tasbih “viral” disana.

Di luar dugaan, foto bersama Tasbih Masjidilharam depan Ka’bah ini cocok dengan rencana penulis untuk memberikan oleh-oleh Haji asli langsung dari tanah suci, bukan oleh-oleh yang sudah dibeli dari Ampel atau toko oleh-oleh Haji/Umroh yang banyak buka di Surabaya.

Penulis sangat yakin, bahwa apapun yang dibawa atau dibeli dari tanah suci Makkah dan Madinah memiliki “keberkahan” paling dahsyat bagi yang menikmati atau menggunakannya (user). Bahkan penulis pun percaya kalau oleh-oleh dari sana menjadi daya magnet kuat untuk bisa mengantarkan sang “user” segera berangkat Haji/ Umroh.

Maka begitu foto penulis yang baru gundul pelontos itu dishare ke beberapa WhatsApp Group (WAG) menjelang kembali ke tanah air, banyak kolega dan keluarga langsung Wapri. Untungnya, penulis sudah memborong ratusan Tasbih “keramat” itu sebagai oleh-oleh Haji bagi tamu-tamu yang datang ke rumah, selain Qurma Ajwa dan air Zam-Zam, hehe..

Tetapi bukan oleh-oleh dalam foto itu yang dimaksud dengan tulisan kali ini. Penulis justru ingin menyampaikan oleh-oleh “ilmu kehidupan” yang diperoleh dari seorang ibu Probolinggo ketika penulis temui di dalam pesawat kepulangan dari bandara internasional Amir Muhammad bin Abdul Aziz (AMAA) menuju bandara Juanda Surabaya.

Ibu itu bernama Sukma. Satu-satunya Jemaah haji Kloter kami yang dari Probolinggo. Jemaah lainnya mayoritas dari Kabupaten Gresik, Trenggalek, dan Ponorogo.

Ibu Sukma berangkat sendirian. Ia adalah Jemaah haji “susulan” H-2 keberangkatan. Staf PHU (penyelenggaraan haji dan umroh) Kemenag Probolinggo menjelaskan kepada penulis di Asrama Haji Sukolilo sebelum jam keberangkatan, bahwa ibu Sukma adalahJemaah haji susulan yang mengisi kebutuhan satu Porsi Jemaah haji yang meninggal dari Probolinggo.

Sebenarnya Porsi ibu Sukma ini berdua bersama Almarhum suaminya yang kemudian digantikan putranya. Tetapi karena Porsi yang kosong cuma satu, maka ibu Sukma memutuskan untuk berangkat sendirian, tanpa pendamping.

“Kalau saya berangkat sama pendamping, bisanya tahun depan (2025). Iya, kalau saya masih ada umur, kalau meninggal? Lha, berarti seumur hidup saya tidak pernah ber-Haji.” Tegas Ibu Sukma kepada penulis.

Usia ibu Sukma hampir menyentuh angka 7 (tujuh). Pekerjaan sehari-harinya adalah pedagang keripik atau kue/roti kering keliling kampung pakai sepeda ontel. Sehari pagi dan sore bisa menempuh jarak total 10 kilometer menelusuri gang-gang kecil menjajakan jajanan.

Meski keberangkatan hajinya mendadak, tanpa pernah mengikuti Manasik sama sekali, ibu Sukma tampak sangat percaya diri. Penulis tidak pernah melihat raut wajah ibu Sukma seperti orang susah atau galau. Bawaannya ceria terus. Merasakan bahagianya seperti tanpa syarat. Baik ketika di Makkah, ARMUZNA (Arofah, Muzdalifah, Mina), maupun selama di Madinah.

Pernah ketika ziarah ke Masjid Quba Madinah, ibu Sukma nyasar bersama rombongannya. Begitu ketemu dari perburuan petugas Rombongan, wajah ibu Sukma tetap tenang, padahal wajah ibu-ibu lainnya tampak panik dan tegang.

Selain itu, fisik ibu Sukma sangat prima. Meski usianya tergolong lanjut (Lansia), tetapi dia tidak pernah minta pakai kursi roda sama sekali ketika mengikuti kegiatan ziarah atau city tour di Makkah dan Madinah, termasuk saat menjalankan umroh-umroh sunnah. Kemampuan adaptasinya luar biasa. Ia bisa luwes berbaur dengan jemaah KBIHU (kelompok bimbingan ibadah haji dan umroh) di Kloter 95, meski ia adalah Jemaah mandiri.

Ibu Sukma memiliki 4 (empat) putra-putri yang sudah bekerja dan memberinya cucu-cucu lucu. Secara ekonomi, keempat putra-putrinya tergolong cukup mapan. Bahkan salah satu putranya menjadi dosen, alumni penerima beasiswa kuliah S2 Australia.

Beberapa “prinsip” hidup yang ia pedomani sehingga memiliki fisik prima, kebahagiaan tanpa syarat, kelenturan diri dalam beradaptasi, dan putra-putri sukses sempat penulis gali dalam perbincangan ringan di dalam pesawat.

Pertama, orang baik bakal ketemu orang baik. Ibu Sukma berkali-kali menyampaikan ini kepada penulis, sekaligus penguat alasan mengapa ia berani berangkat sendiri tanpa pendamping atau teman. _“Aku iki lek, gak pernah jahati wong. Aku berusaha ngapiki kabeh wong. Lamun onok wong utang ditagih pisan gak bayar, aku ikhlas. Aku gak nagih maneh. Kadang dibayar, kadang yo ilang. Jadi aku budal kaji iki yakin, insyaAllah aku wong apik, yo bakal petuk wong apik maneh lek..”_ Tegas ibu Sukma, dengan Bahasa Jawa aksen Madura

(Saya ini nak, tidak pernah jahati orang. Saya selalu berusaha berbuat baik kepada siapapun. Kalau ada orang hutang saya tagih sekali gak mau bayar, saya ikhlas. Saya tidak menagih lagi. Akhirnya kadang dibayar, ya kadang hilang. Jadi saya yakin berangkat Haji ini, karena insyaAllah saya orang baik, ya bakal ketemu orang baik juga, nak..).

Kedua, jangan sibuk berburu urusan orang. Bagi ibu Sukma, terlalu sering nonggo (main ke rumah tetangga) itu tidak baik, nanti tidak dihargai orang. Tetapi kalau ada orang main atau bersilaturahim ke rumah kita, perlakukanlah dengan sangat baik. Hal ini sesuai anjuran Rasulullah SAW, bahwa kita dianjurkan untuk menghormati tamu, karena setelah tamu itu mendapat jamuan dari kita, kemudian mereka pergi, maka seluruh kesialan rumah tangga kita hilang.

Ketiga, usahakan tidak gampang meminta tolong (menyuruh) anak, karena kuatir mereka tidak bisa atau tidak mau, sehingga kita mangkel atau marah. Kemudian berbuntut ucapan buruk terhadap anak. Jadilah doa negatif untuk mereka. “Na’udzubillah min dzalik (aku memohon perlindungan kepada Allah agar dijauhkan dari hal-hal buruk)” tandas Ibu Sukma.

Sebenarnya masih banyak lagi pedoman “ilmu kehidupan” atau yang biasa penulis sebut dengan “ilmu tua” dari ibu Sukma.

Terakhir, ibu Sukma meminta penulis menyebut nama lengkap berikut nama ibu kandung penulis. Kemudian beliaupun berdoa untuk penulis, panjang sekali.
Maturnuwun ibu Sukma. Jazakumullahu ahsanal jaza’.*

Express Your Reaction
Like
Love
Haha
Wow
Sad
Angry