SURABAYA | duta.co – Pembentukan Komite Khitthah NU 1926 yang dimotori dzurriyah muassis  (anak-cucu pendiri) NU sebagai bentuk keprihatinan terhadap pelanggaran Khitthah NU, mendapat respon kalangan pengamat.

Pengamat politik Universitas Trunojoyo Madura (UTM) Surokim Abdus Salam, menilai upaya dzurriyah pendiri NU itu, sangat bisa dipahami. Karena posisi NU (khitthah) itu paling ideal menyangkut relasi dengan kekuasaan.

Pengamat politik Universitas Trunojoyo Madura (UTM) Surokim Abdus Salam.

Dengan berpegang teguh pada khitthah, maka, NU ada di mana mana dan tidak perlu ke mana-mana. Posisinya teguh lurus menjalankan amanah mandatory tugas keumatan, dengan begitu NU akan selalu berada dalam posisi di atas kekuasaan.

“Dengan khitthah, NU menghargai keberagaman warganya, dan memberi keseimbangan dalam bandul politik praktis. Posisi NU bisa semakin dinamis dan luwes serta bisa melatih rasionalitas daya kritis serta kecerdasan politik yang bisa menjadi antitesis terhadap politik NU yang, selama ini anut grubyuk,” terang Dekan FISIP UTM saat dikonfirmasi Sabtu (27/10/2018).

Lebih jauh, Surokim menjelaskan, bahwa takdzim kepada ulama dan kiai, bagi warga NU itu pasti. Sebab relasi itu sudah sejak lama dibangun dan terpelihara. Bahkan  tanpa harus dimobilisasi pun, warga NU sudah melek berpolitik dan memiliki preferensi cukup.

Dalam pilpres warga  NU juga sudah terlatih. “Kealamiahan berpolitik akan membuat warga NU semakin respek dan tawadlu dan tidak harus dimobilisasi seolah-olah warga NU belum melek politik,” tegas pria berpenampilan kalem ini.

Sebaliknya, jika sekarang ada gerakan dan membuat bandul NU ke tengah kembali (khitthah) agar tidak terseret arus perebutan kekuasaan yang terlampau jauh, kata Surokim, ini seharusnya warga nahdliyin menghormati sebagai ghirah menjaga marwah NU dalam politik.

Tentu saja, jelasnya, dalam posisi seperti itu akan membuat calon NU kesulitan, semakin sulit memobilisasi warga NU, semakin sulit mendekat pada NU. Bisa jadi begitu, jika ukurannya hanya soal dukung-mendukung. Tetapi posisi itu kian mentasbihkan NU genuine sebagai gerakan kemasyarakatan yang tidak mudah dipolitisasi kekuasaan politik.

Baru Sekarang Rais Aam Maju Cawapres

Apakah posisi seperti itu akan mengerus paslon yang berasal dari NU? Menurut pengamatan Surokim, tidak mutlak, sebab tabiat warga NU tetap takdzim tidak akan tega apalagi terhadap kiainya sendiri. Tetapi, semua itu asal ada kealamiahan termasuk  ketulusan dan wira’i dalam berpolitik.

“Jadi kalau posisi itu dianggap merugikan mohon dipahami hati hati, jika niatnya lurus untuk menarik bandul agar NU tetap berada dalam posisi khittah, itu harus dihormati demi menjaga marwah NU,” beber Surokim.

Keresahan dzurriyah pendiri NU itu, sangat bisa dipahami. “Sejak NU berdiri tahun 1926, baru sekarang seorang Rais Aam PBNU memilih mengundurkan diri karena tergiur maju dalam kontestasi Pilpres dengan menjadi Cawapres, Baru sekarang,” dalihnya.

Sementara, pengamat politik dari Unesa Surabaya, Agus Mahfud Fauzi, yakin upaya dzurriyah ini menjadi obat bagi warga NU tulen, bukan NU-NU an.  Kecuali bagi warga NU yang tidak memahami sejarah khittah NU, maka, keberadaan komite khittah itu tidak akan berpengaruh.

Agus Mahfud Fauzi

“Pengurus NU yang sadar khittah akan netral, apalagi pilihan politik itu sifatnya personal. Secara organisatoris, NU pada dasarnya tidak ada masalah, sebab secara formal tidak mendukung ke dua pasangan calon, tetapi secara personal pengurus memang benar, apalagi terekspresikan para sikap mereka,” ujar Agus Mahfud Fauzi.

Dampak dari sikap personal pengurus NU itu, lanjut Agus Mahfud mengakibatkan NU secara organisatoris terpengaruh dalam percaturan politik praktis, sehingga seakan-akan NU mendukung pada pasangan Jokowi-Ma’ruf Amin di Pilpres 2019.

“Persoalan khittah semakin rumit karena Pilpres berbarengan dengan Pileg. Padahal kader NU tersebar di berbagai parpol bukan hanya di parpol koalisi pengusung Jokowi-Ma’ruf,” terang dirut lembaga survey Bangun Indonesia ini.

Terpisah, pengamat komunikasi politik dari Unair Surabaya, Sukowidodo menambahkan bahwa pengurus NU jika sadar terhadap khittah NU 1926, maka, mereka akan bersikap netral, karena pilihan politik itu sifatnya personal bagi warga NU.

“Pengaruhnya terhadap Pilpres mungkin saja tak besar, tapi pengaruh terhadap pilihan parpol bisa besar. Bisa jadi mereka bergeser pada pilihan parpol lain. Atau malah malah bisa golput pada Pilpres dan Pileg,” ujar Suko.

Pengamat Politik dari Unair Surabaya, Sukowidodo. (kiri0.

Menurut Suko, pengaruh suara warga NU di kontestasi pemilu dipengaruhi banyak faktor. Salah satunya adalah eksistensi gusdurian yang tak bisa diabaikan oleh segmen pemilih NU.

“Setidaknya pengaruh pada pembentukan persepsi pemilih NU terhadap parpol yang berupaya menggiring pilihan politik. Atau bisa jadi mereka akan Golput pada Pilpres dan Pileg karena tidak adanya kesamaan ide,” pungkasnya. (ud)

Express Your Reaction
Like
Love
Haha
Wow
Sad
Angry