Foto /palembang.tribunnews.com

SURABAYA | duta.co – Mengikuti Kalender Hijriah Global Tunggal (KHGT) bukan solusi untuk menghilangkan perbedaan dalam nenentukan 1 Ramadhan dan 1 Syawal. Di samping itu perbedaan adalah rahmat. Selama metodenya berbeda, hasilnya pasti berbeda.

“NU tidak pakai KHGT. Metode rukyatul hilal membatasi hal itu. Contoh, ketidaksamaan waktu antara Arab Saudi dengan Indonesia, ini bukan hal aneh. Kita semua mafhum. Contoh lain, bagaimana kita dengan New York (AS) yang selisih 11 jam. Kita salat Maghrib di sana (bisa-bisa) belum subuh,” tegas Penasehat Lajnah Falakiyah PWNU Jawa Timur ini.

Menurut Gus Wahid, agama jangan mengikuti arus politik pentingan kelompok, meski politik (baca: demi kemaslahatan) itu bukan barang tabu dalam agama. Ia kemudian merujuk adanya kepentingan sebuah organisasi untuk menyatukan dunia Islam melalui kalender. “Kalau agama masuk politik kepentingan, pasti rusak,” tegas Wakil Rais Syuriyah Pengurus Cabang Nahdlatul Ulama (PCNU) Sidoarjo ini.

Masih menurut lelaki asal Jombang tersebut, Nahdlatul Ulama tidak pernah tertarik pada ittihadul mathali’ (penyatuan kesatuan wilayah hukum). “Karena memang berbeda (waktu) satu wilayah dengan wilayah yang berjauhan. Saya melihat dalam KHGT itu ada unsur politik,” pungkasnya.

Seperti diberitakan, tahun depan, Muhammadiyah sudah meninggalkan metode hisab. Penentuan awal puasa Ramadhan dan 1 syawal Muhammadiyah bakal menggunakan Kalender Hijriah Global Tunggal (KHGT). Meski diakui, Muhammadiyah selama ini telah menggunakan hisab hakiki wujudul hilal.

Dilansir situs Muhammadiyah, Minggu (30/3/2025), penetapan Lebaran tahun ini menandai berakhirnya penggunaan hisab hakiki wujudul hilal. Mulai tahun 1447 H, Muhammadiyah akan beralih menggunakan KHGT.

Hal tersebut dibenarkan Ketua Biro Komunikasi dan Pelayanan Umum PP Muhammadiyah, Edy Kuscahyanto. “Betul (tahun depan Muhammadiyah menggunakan KHGT), nanti akan ada peluncuran resmi,” kata Edy saat dihubungi detikHikmah, Minggu (30/3/2025).

Dalam sistem KHGT, bumi dianggap sebagai satu kesatuan matlak global sehingga seluruh dunia akan menetapkan awal bulan Hijriah pada hari yang sama. Perubahan ini diharapkan membawa kesatuan umat Islam dalam aspek waktu dan ibadah, menjawab tantangan modernitas, serta memperkuat integrasi umat di tingkat global.

Merujuk laman Tarjih, keputusan ini ditetapkan melalui Munas Tarjih Pekalongan 23-25 Februari 2024. Ada dua hal yang melandasi Muhammadiyah kemudian menjadikan KHGT sebagai rujukan untuk menetapkan tanggal-tanggal penting dalam Islam, termasuk Idul Fitri.

Pertama, setelah ribuan tahun, umat Islam belum memiliki kalender yang reliabel sebagai acuan dalam amal ibadah, seperti Ramadhan, Idul Fitri, dan Idul Adha karena pada event-event tersebut kalender bisa berubah akibat kemampuan rukyat manusia yang juga kurang reliabel.

Kedua, untuk ibadah salat sehari-hari waktu atau jam telah mampu mengkonversi fenomena alam ke dalam hitungan. Buahnya, umat Islam tidak perlu lagi untuk melihat posisi matahari secara langsung untuk menjalankan ibadah salat.

Oleh karena itu, pikiran untuk melakukan unifikasi kalender Hijriyah telah menjadi perhatian Majelis Tarjih maupun pimpinan Persyarikatan. Dalam buku Unifikasi Kalender Hijriyah yang diterbitkan Majelis Tarjih dan Tajdid tahun 2015 ditegaskan bahwa upaya penyatuan kalender Islam itu bukan sekedar untuk menyikapi perbedaan awal Ramadhan dan Syawal.

Diakui, kekurangan KHGT adalah pertama, membuat Muhammadiyah seolah membuang Kriteria Wujudul Hilal yang selama ini diamalkan dan dipertahankan. Kedua, ada beberapa isu yang masih menimbulkan proses penerimaan dari sebagian kalangan di Persyarikatan sendiri, yaitu: perpindahan hari yang terjadi pada jam 00.00.00 dan hilangnya hilal sebagai variabel penentu perpindahan bulan. Selama ini sudah mengakar di kalangan masyarakat satu pemahaman bahwa hari dan bulan Hijriyah dimulai setelah Maghrib.

“Perubahan awal hari menjadi jam 00.00.00 dalam KHGT membawa norma baru yang berbeda dengan pemahaman yang mapan selama ini. Hal demikian bisa dimaklumi, meski sebenarnya tidak ada nash yang menyatakan secara jelas bahwa awal hari dalam kalender Hijriyah dimulai pada waktu Maghrib,” kutipnya.

NU Tidak Menerapkan KHGT

Sementara, Nahdlatul Ulama kosisten untuk tidak menerapkan KHGT yang tengah ramai diwacanakan di dunia Islam. Hal ini karena kesatuan hukum dan rukyatul hilal membatasi hal tersebut. Karenanya, NU konsisten menggunakan rukyatul hilal sebagai penentuan kalender Hijriah.

Hal tersebut pernah disampaikan Dr KH Abdussalam Nawawi, Wakil Ketua Lembaga Falakiyah Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (LF PBNU) dalam Webinar Falakiyah LF PBNU yang digelar secara daring dan luring di Gedung PBNU, Jalan Kramat Raya 164, Jakarta Pusat, Rabu (19/2/2025).

“Dengan demikian, dari awal berdiri sampai sekarang, NU tidak pernah tertarik pada ittihadul mathali’ (penyatuan kesatuan wilayah hukum),” katanya dalam agenda yang mengusung topik Mengapa Nahdlatul Ulama tidak Menerapkan Kalender Hijriah Global? itu.

Kiai Salam menjelaskan, NU telah secara tegas menyatakan bahwa rukyatul hilal sebagai metode penetapan awal bulan Hijriah yang absah. “Yang pertama, dulu tahun 1954, itu NU langsung punya pendapat bahwa penetapan awal bulan, pengumuman awal Ramadhan dan Syawal berdasarkan Hisab, mendahului penetapan atau siaran Departemen Agama, hukumnya tidak boleh,” ungkapnya.

“Jika berdasarkan rukyatul hilal atau istikmal (penggenapan), maka itu (baru) sah,” imbuh Dosen Fakultas Syariah dan Hukum UIN Sunan Ampel Surabaya itu.

Kiai Salam pun mengungkapkan bahwa persoalan menyangkut keberlakuan penentuan awal bulan diputuskan dalam Muktamar ke-30 di Lirboyo tahun 1999. Salah satu putusannya larangan bagi umat Islam dan pemerintah Indonesia untuk memedomani rukyat hilal internasional atau global. Sebaliknya, dianjurkan untuk merujuk kepada satu wilayah negara.

“Karena Indonesia tidak berada dalam kesatuan hukum dengan negeri-negeri yang mengalami rukyat,” terangnya.

Sejalan dengan itu, Anggota LF PBNU Khafid menjelaskan, KHGT lahir dari pertemuan sejumlah pakar fiqih, astronomi, dan pemerhati kalender Islam di Istanbul, Turki tahun 2016. Salah satu putusannya soal penyelarasan sistem KHGT.

Menurutnya, hal ini jauh panggang dari api. Ia mempertanyakan pihak mana yang akan bertanggung jawab mengaturnya. “Iya, karena kalau kita bicara masalah mathla’ global ini, pertanyaannya adalah siapa yang akan menjadi otoritas dalam hal ini. Negara mana yang akan mengkoordinir ini? Apakah masing-masingnya akan berjalan sendiri-sendiri?” ujarnya.

Sistem global semacam itu, terang Khafid, dapat tercapai jika ditopang dengan kekuatan otoritas memadai. Pandangan ini ia sandarkan kepada penetapan kalender hijriah yang dilakukan Umar bin Khatab sebagai pemegang otoritas (khalifah). “Artinya, untuk bisa memperlakukan suatu sistem, itu memerlukan otoritas,” tegasnya.

Padahal, Saudi Arabia sendiri tidak mau tunduk pada Kalender Global. Kerajaan Arab Saudi lebih memilih memakai metode rukyatul hilal. Meski hasilnya sering tidak sama dengan kita (Indonesia). (mky,nu.or.id)

Bagaimana reaksi anda?
Like
Love
Haha
Wow
Sad
Angry