
“Jika hari ini NU terasa gaduh, boleh jadi bukan karena relnya salah, tetapi karena terlalu banyak yang ingin menjadi masinis. Padahal, pesan Abah Hasyim sederhana : cukup satu masinis yang paham peta.”

CATATAN PINGGIR ROMADLON SUKARDI
ADA masa ketika organisasi besar tidak sedang kekurangan kader, tidak pula kekurangan massa, tapi justru kekurangan arah. Ramai suara, padat agenda, penuh rapat—namun yang sering terlupa: menuju ke mana sebenarnya.
Di titik seperti itulah, petuah orang-orang tua menjadi penting, bukan untuk disakralkan, tapi untuk dijadikan cermin. Salah satu cermin paling jernih itu bernama KH Dr Ahmad Hasyim Muzadi atau akrab dipanggil Abah Hasyim Muzadi.
Abah Hasyim bukan tipe ulama yang gemar menghardik. Ia lebih suka menggelitik. Tidak frontal, tapi tepat sasaran. Kritiknya jarang berbentuk kemarahan, lebih sering berupa metafora—tentang kendaraan, dapur, mercusuar, hingga remote televisi. Bahasanya ringan, tapi maknanya berat. Seperti guyon kampung yang kalau dipikir-pikir, kok rasanya nusuk sampai ke ruang rapat elite.
Dalam berbagai kesempatan, Abah Hasyim membaca NU bukan sebagai organisasi kertas dan struktur, melainkan sebagai makhluk sosial hidup: bergerak, bernapas, kadang lelah, kadang salah jalan. Karena itu, ia selalu bicara soal sistem, disiplin, dan adab kepemimpinan. Bukan soal siapa duduk di kursi, tapi bagaimana kursi itu diarahkan—dan apakah kursinya masih menghadap umat atau sudah membelakangi rel sejarah.
Catatan pinggir ini mencoba menghadirkan kembali cara Abah Hasyim menasihati NU: dengan analogi sederhana, humor yang jujur, dan kecintaan yang tidak ribut. Sebab barangkali, di tengah kebisingan hari ini, kita justru perlu mendengar ulang suara yang tenang—suara masinis tua yang paham benar bahwa membawa jutaan penumpang tidak cukup dengan klakson, tapi dengan tanggung jawab dan adab.
Mudah Menjelaskan Tentang Apa itu Organisasi NU
Mendiang Abah Hasyim kerap mengibaratkan Nahdlatul Ulama sebagai kereta api (KA) besar—panjang gerbongnya, ada masinisnya, jelas relnya (AD/ART, visi-misi, Tujuan dan programnya), pasti jadwalnya, tahu di mana harus berhenti (stasiunnya). Kereta Api (KA) NU ini membawa jutaan penumpang dengan rupa dan warna yang beragam: *dari qori’ hingga “korak”, dari kiai sepuh alim, hingga yang baru “mirip kiai” atau “meh Kiai”.
Dari pegawai, pekerja, petani, buruh tani, pedagang sayur, kaki lima, sampai profesi-profesi yang kadang tak sempat disebut di formulir sensus penduduk.
“NU itu komplet-plit—ada semua.”, ujarnya yang disambut ketawa ngakak seluruh hadirin.
Ada seorang keluarga ulama besar di Surabaya bernama KH Thohir Syamsuddin. Ketika ada acara reuni/silaturrahim keluarga Bani Syamsuddin. Beliau dawuh, “Alhamdulillah. Keluarga besar Bani Kiai Thohir Syamsuddin ini mayoritas NU, minimal Muhammadiyah,” ujarnya yang disambut ketawa para pengurus NU yang hadir di acara pembinaan. Muhammadiyah kok jadi minimal.
Bahkan ada guyonan versi Madura: ketika ditanya agamanya apa, jawabnya bukan agama Islam, tapi agamanya NU. Atau cerita lain yang lebih satir: ketika seorang teetan tibik mencuri dan ditangkap oleh polisi. “Waduh Lek, Sampean itu Agamanya Islam, tapi kok mencuri? Jawabnya: Bo abo pak polisi, Agama Islam (NU), lha mencuri itu sebagai pekerjaan pak .” ujarnya pada polisi.
Bagi Abah, humor ini bukan ejekan—ini potret sosial yang jujur, bahwa NU adalah rumah besar yang menampung realitas umat apa adanya.
Dalam kereta NU, masinisnya jelas: ulama yang menguasai ilmu dan adab. Relnya tegas: khittah, akhlak, dan tujuan jam’iyyah. Stasiunnya ada: forum musyawarah tempat penumpang naik dan turun secara tertib. Kereta boleh panjang, penumpang boleh ramai, tapi arah tetap satu. Tidak ada belok mendadak karena teriak penumpang, tidak ada berhenti sembarangan karena sopir ingin setor cepat. Inilah NU ideal versi Abah: besar, disiplin, dan melayani—tanpa kehilangan martabat.
Sebaliknya, Abah sering mengingatkan: NU jangan berubah jadi taksi online. Di taksi, pemilik kendaraan justru dikendalikan penumpang. Disuruh belok ke mana saja asal dibayar. Rating ditentukan pelanggan, bukan nilai. Kalau NU jadi taksi, kata Abah, maka arah perjuangan ditentukan siapa yang membayar lebih dulu. Ulama berubah jadi pengemudi aplikasi, khidmah bergeser jadi orderan, dan prinsip bisa turun tarif sewaktu-waktu. Itu bukan pelayanan umat, itu komersialisasi jam’iyyah.
Lebih berbahaya lagi, kata Abah, jika NU menjelma bus antarkota tak bertuan. Jadwal tak jelas, jalan cepat atau pelan tergantung sopir. Ada yang ugal-ugalan demi setoran, ada yang berhenti seenaknya menurunkan penumpang di tengah jalan. Kadang sopirnya punya SIM, kadang cukup pede. Pemilik bus tak mau tahu: yang penting setorannya masuk. Soal nabrak, mogok, atau penumpang trauma—itu urusan nanti. Dalam metafora ini, Abah menyindir keras: organisasi besar yang tak disiplin akan mengorbankan umat demi kelancaran elite.
Karena itu, pesan Abah sederhana tapi strategis: NU harus tetap kereta api—bukan taksi, bukan bus liar. Kereta boleh tua, tapi relnya harus lurus. Penumpangnya boleh beragam, tapi tujuan harus sama. Dalam dunia yang makin cepat dan gaduh, NU justru dituntut tenang, tertib, dan berwibawa. Sebab umat tak butuh kendaraan yang paling kencang, mereka butuh kendaraan yang pasti sampai tujuan.
“Masinis Bernama Adab: Metafora Kepemimpinan NU ala Abah Hasyim Muzadi”
Bagi Abah Hasyim Muzadi, kepemimpinan NU bukan soal siapa paling keras meniup peluit, melainkan siapa paling paham peta perjalanan. Ia kerap mengibaratkan pemimpin NU seperti masinis kereta malam: tidak banyak teriak, tidak sering tampil di depan kamera, tapi tangannya tak pernah lepas dari tuas kendali. Masinis tahu kapan harus ngebut, kapan harus melambat, dan kapan wajib berhenti meski penumpang menggerutu. Sebab keselamatan lebih penting daripada tepuk tangan. Dalam logika Abah, pemimpin NU itu bukan influencer, melainkan guardian.
Di kesempatan lain, Abah meminjam metafora penjaga mercusuar. NU, katanya, bukan kapal pesiar yang sibuk menghibur penumpang elite, melainkan cahaya penunjuk arah bagi kapal-kapal kecil di tengah badai. Pemimpin NU tidak boleh ikut mabuk ombak kekuasaan; tugasnya justru berdiri tegak saat semua goyah. Mercusuar tidak ikut berlayar, tapi tanpanya banyak kapal karam. Inilah kepemimpinan sunyi versi Abah: tak populer, tapi menentukan.
Abah juga gemar menyentil dengan perumpamaan dapur besar. NU itu seperti dapur umum: asapnya tebal, apinya besar, dan yang masak sering berkeringat. Pemimpin NU bukan koki selebritas yang sibuk plating, melainkan kepala dapur yang memastikan semua kebagian makan. Kalau ada nasi gosong sedikit, jangan langsung demo. Kalau lauk kurang asin, jangan banting panci. Yang penting umat tidak kelaparan nilai dan akhlak. Dalam dapur NU, kritik boleh, tapi adab tetap jadi bumbunya.
Dalam nada satire khasnya, Abah pernah menyindir kepemimpinan yang terlalu reaktif seperti remote TV rusak: dipencet dikit pindah channel, ditekan keras malah mati.
NU, kata Abah, tidak boleh dipimpin dengan emosi sesaat. Keputusan NU harus lahir dari musyawarah, bukan dari notifikasi. Dari istikharah, bukan dari *trending topic*. Kalau NU ikut zig-zag mengikuti viral, maka rel akan patah sebelum stasiun tujuan.
Maka benang merah semua metafora Abah Hasyim Muzadi jelas: kepemimpinan NU adalah kepemimpinan peradaban. Ia menuntut ilmu, kesabaran, humor sehat, dan keberanian untuk tidak selalu disukai. NU tidak butuh sopir ugal-ugalan, apalagi calo penumpang. NU butuh masinis yang paham rel sejarah, tahu Bu beban gerbong umat, dan setia pada tujuan akhir. Sebab bagi Abah, NU itu bukan milik hari ini—NU adalah titipan masa depan.
Meski Disindir, Tidak Tersinggung
Materi ceramah di berbagai forum silaturahmi –pembinaan pengurus NU– atau presentasi di forum ilmiah dan akademik, pejabat, politisi sering kali memuat kritik tajam dan sentilan mendalam yang, jika disampaikan secara kaku, bisa melukai perasaan audiens. Namun ketika kritik itu dibungkus dengan kecerdasan bahasa, keluhuran adab, dan niat mendidik, sentilan justru menjelma menjadi cermin yang jujur. Peserta tidak merasa diserang, melainkan diajak bercermin bersama. Yang tersentuh bukan harga diri, melainkan kesadaran—sebuah proses intelektual yang membuat orang mengangguk pelan sambil tersenyum.
Di situlah letak keindahan komunikasi ilmiah yang matang: kritik tidak menimbulkan amarah, tetapi kegembiraan berpikir. Alih-alih tersinggung, peserta merasa dihargai karena diajak naik kelas—secara intelektual dan moral. Sentilan yang menghantam perasaan pun berubah menjadi energi positif, memantik tawa reflektif dan diskusi bermutu. Sebab ilmu yang disampaikan dengan adab dan empati tidak melukai, justru menyembuhkan.
Pada akhirnya, semua metafora Abah Hasyim Muzadi itu bukan untuk ditertawakan, apalagi diperdebatkan tanpa henti. Ia adalah alarm sunyi—tidak berisik, tapi berbunyi tepat ketika kita mulai lengah. Kereta api, taksi online, bus tak bertuan, masinis, mercusuar, dapur besar—semuanya bukan soal kendaraan, melainkan soal kepemimpinan dan amanah. Abah sedang bertanya pelan: NU ini sedang berjalan di relnya, atau sedang asyik berbelok karena sopirnya ugal-ugalan dan semua penumpang berteriak paling keras?
Catatan pinggir ini tidak hendak menunjuk siapa salah dan siapa benar. NU terlalu besar untuk disempitkan pada satu nama, satu periode, atau satu konflik. Tapi NU juga terlalu berharga untuk dibiarkan melaju tanpa kompas. Sebab sejarah selalu mencatat: organisasi besar runtuh bukan karena kekurangan massa, melainkan karena kehilangan adab, disiplin, dan kejelasan arah.
Barangkali inilah saatnya kita berhenti sejenak di stasiun bernama muhasabah. Turun sebentar, meneguk air kebijaksanaan para pendahulu, lalu naik kembali dengan kesadaran baru. Bahwa berbeda pendapat itu rahmat, tapi memperebutkan pendapatan bisa jadi bencana. Bahwa khidmah bukan panggung, dan jabatan bukan tujuan akhir.
Maka jika hari ini NU terasa gaduh, boleh jadi bukan karena relnya salah, tetapi karena terlalu banyak yang ingin menjadi masinis. Padahal, pesan Abah Hasyim sederhana dan tegas: cukup satu masinis yang paham peta, cukup banyak penumpang yang mau tertib, dan cukup adab untuk sampai tujuan bersama. Selebihnya, biarlah sejarah yang menjadi saksi—apakah NU tetap menjadi rumah besar umat, atau sekadar terminal persinggahan ambisi. *Wallahu A’lamu Bisshawab.(*)





































