Dalam perjalanan yang ke-seratus tahun ini, NU telah ikut mewarnai negeri. Jejak karyanya ada di mana-mana. Maka tak mungkin lagi membincangkan Indonesia tanpa NU. Sebaliknya juga benar, tak laik membincangkan NU tanpa Indonesia.
Oleh Pdt. Leonard Andrew Immanuel dan Pdt. Martin K. Nugroho

HARI ini Nahdlatul Ulama (NU) berusia 100 tahun. Ia lebih tua dari Republik kita dan bertumbuh karena dirawat oleh doa dan dedikasi kerja berlaksa-laksa pengikutnya, entah yang tumbuh dalam didikan pesantren atau masyarakat. Atau yang bergiat di ormas atau partai politiknya.

Pada awalnya, NU lahir untuk mendidik umat dengan melembagakan amalan-amalan dunia dan akhirat. Jutaan warga nahdliyin memulai hari dengan bangkit dari tidur saat adzan berkumandang. Mereka pergi melawan dingin dan membersihkan diri untuk Sholat Subuh.

Mereka mendirikan Sholat Jumat di masjid dan berhimpun saban malam untuk sholat tarawih di bulan puasa. Dan masih banyak lagi amalan-amalan yang dianjurkan dan diwajibkan terkait kelahiran, pernikahan hingga kematian.

Lengkaplah sudah peran NU sebagai pemberi makna atas setiap les rites de passage, tahap-tahap peralihan hidup manusia. Melalui amalan-amalan ini, NU membuat dirinya signifikan bagi jutaan orang yang mencari arti dan penguatan atas hidup personal dan komunal, khususnya jika hidup kian susah ditanggung.

Namun NU lahir dalam konteks pergumulan sebuah bangsa. Di satu sisi, bangsa yang masih muda itu ingin menegaskan diri entah dengan berpisah dari kuasa kolonial maupun melalui siasat moderat di tengah pertarungan global blok kapitalis dan komunis serta fasisme dan feodalisme.

NU juga menunjukkan dinamika internal saat merespon kehadiran negara Orde Baru dengan agenda pembangunannya namun juga secara kreatif merumuskan ulang khittahnya ketika republik ini berada pada momen-momen perubahan menjelang dan melewati ambang milenium ketiga.

Dalam perjalanannya yang ke-seratus tahun ini, NU telah ikut mewarnai negeri. Jejak karyanya ada di mana-mana. Maka tak mungkin lagi membincangkan Indonesia tanpa NU. Sebaliknya juga benar, tak laik membincangkan NU tanpa Indonesia.

Pada titik inilah NU, sebagaimana semua lembaga yang ada di bawah langit, senantiasa diuji: apakah ia bukan hanya signifikan bagi umatnya namun sekaligus mampu relevan bagi tetangga-tetangganya sendiri, sesama anak bangsa, entah yang seiman maupun tidak.

Mari kita mendoa bagi NU, harta bersama kita.

Panjang umur NU. Selamat memasuki abad kedua anda.

Tuhan memberkati(*)

Pdt. Leonard Andrew Immanuel adalah Ketua Umum Badan Pekerja Majelis Sinode Wilayah GKI SW Jawa Timur. Pdt. Martin K. Nugroho adalah Sekretaris Umum Badan Pekerja Majelis Sinode Wilayah GKI SW Jawa Timur.

 

Express Your Reaction
Like
Love
Haha
Wow
Sad
Angry