Oleh: Suparto Wijoyo*
SOAL PILGUB Jatim, ditayang agar semua dapat menikmatinya.  Berita aktivitas para paslon terus diviralkan, disemliwerkan kepada publik dengan senyum sungging yang mengesankan. Tim sukses dibentuk dengan dukungan teknologi informasi agar dapat bersilaturahmi ke semua jamaah di mana pun berada. Dunia medsos disesaki pekabaran tentang apa yang tengah dipikirkan, diucapkan, dan dikerjakan, bahkan yang masih dalam imaji nan mimpi-mimpi, acap kali diunggah. Ini adalah soal memainkan peran dengan kosa kata: watak dipanggungkan, niat dihelatkan, langkah digerakkan, semua harus tampak sempurna. Tragedi “balita mati” akibat buruknya layanan kesehatan di Asmat dan Pegunungan Bintang, Papua, serta gempa 6,1 SR yang mengguncang Jakarta terekam hanya hadir sekelebatan.
Dan untuk kegiatan paslon ditimang akan menggelembungkan gelombang energi yang menyebar sebagai berkah bagi rakyat. Jalanan menjadi ramai dengan keriuhan yang membahana dan kehadiran paslon dinanti meski kadang-kadang tidak dikehendaki apabila tanpa ada “jampi-jampi pakta integritas”. Rombong-rombong bakso, nasgor, pentol, gorengan, dan ragam jajanan disiapkan para penjual sekelebatan datangnya selebaran akan ada “safari paslon ke daerahnya”. Kerawuhannya  sangat diharapkan untuk mampu “menggoda geliat” perdagangannya, syukur-syukur paslon mampir selfie dan timses  memborongnya. Inilah demokrasi yang kemunculannya selalu dinanti melalui ajang Pilkada dengan niscaya amat memberi manfaat pertumbuhan ekonomi melalui angka-angka yang distatistikkan bahwa bahasa “janji itu mantra demokrasi”.
Amboi … Warung-warung kuliner  disesaki dan arena  car free day  di setiap sudut kota bila perlu juga diselenggarakan menjadi teritori paslon  “membidik” calon pemilih. Gempita sambutan melalui ragam swafoto mesti diunggah memenuhi “trayek medsos” yang dipersiapkan. Cara ketawa digayakan sambil mengulum bibir penuh sumeh yang direkah-rekahkan agar rakyat tahu inilah paslon yang pantas “disedekahi suara”. Para artis diboyong untuk “diedarkan” dalam gelanggang Pilkada yang hendak dipertontonkan kepada khalayak agar warga  semburat memenuhi lapangan. Pilkada “dicetak  sebagai wadah goyangnya artis Jakarta” untuk memantik  orang-orang bergerombol sambil berjingkrak. Pokoknya Pilkada telah menjadi bukti bahwa demokrasi memang dibutuhkan untuk menggembirakan rakyat melihat “artis berjoget secara terhormat”. Suara kendang dan seruling disahutkan dengan tetabuhan yang sangat pikuk dari hiruk yang diciptakan. Kerumunan massa dipotret sebagai sinyal terang bahwa paslon ini adalah pemenangnya.
Kalaulah ramainya tampilan musik dangdut dianggap  mewakili segmen pemilih dan menandakan adanya “wahyu keprabon” yang singgah untuk paslon penanggapnya,  dikhawatirkan kelak rapat-rapat birokrasi diramaikan “peminta lagu” di ruang senandung “pemandu lagu”. Ok … lah … Pilgub jangan dikritisi dengan jargon yang sangat melangit, cukup dipertandingkan dengan “senda gurau saja” sambil menikmati suara merdu biduanita. Kebungahan hati adalah ajaran yang harus dosorongkan agar pilgub jangan menegangkan seperti Jakarta.
Ya … Selama ini memang ada pengaburan narasi bahwa Pilgub DKI Jakarta adalah Pilkada paling “gaduh dan sangat rasis”. Ungkapan demikian sering terlontar dari para “penilik” yang “tidak bisa move on” sampai hari ini. Pilgub Jakarta juga dapat dikatakan sebagai wujud “pergerakan pendulum” bahwa kuasa rakyat tak bisa dibendung gelombangnya” dan sesungguhnya telah berbicara tentang “diri yang bermartabat”. Pemilihan yang mampu membuka tabir terselubung aneka problema yang kini penduduk negeri memahaminya: proyek reklamasi yang dilegalisasi dengan kilat, sertifikatnya “cetar mengagetkan” sambil mencantumkan  hak guna tanpa batas waktu di lahan jutaan hektare. Gelembung jual beli aset Pemprov DKI Jakarta di rezim lama  semakin mencuat ke permukaan dan warga Jakarta “seolah-olah  tenggelam” dalam “banjir  fenomena”: betapa tanah Jakarta diserobot, dicaplok, diserbu, dengan hukum sebagai kelambu.
Pilgub Jatim tidak akan membawa ontran-ontran apa pun. Ramainya celoteh paling-paling hanya di medsos yang  “gesekannya” tidak lebih dari “elusan kerinduan”. Para paslon yang bertanding di kenduri persandingan untuk saling mempersilakan siapa yang pantas meraih tahta Grahadi. Paslon yang lahir dan hadir dari tradisi NU pastilah tidak akan bicara menang kalah, tetapi ikhlas menjemput takdir bagi sosok yang diperjalankan singgah di Kantor Gubernur Jalan Pahlawan, Surabaya, dengan “kerumun pegawai yang siap bersimpuh menundukkan kepala” tanda hormat.
Para calon sudah khatam mengaji kitab suci dan saya yakin mampu menyimaknnya sambil rengeng-rengeng ke setiap tahapan Pilkada yang kini ritmenya sudah kedengaran “berisiknya”. Anak-anak NU ini memang berhasrat untuk menduduki tampuk kekuasaan yang kini sedang ditimang-timang untuk salah satunya memang. Tetapi yakinlah bahwa  mereka yang berlaga tidak akan “melakukan demonstrasi massal” merusak tatanan, tetapi pasti akan menjalankan “demokreasi” untuk menjaga Jawa Timur aman terkendali.
Kedua paslon  yang hendak meraih kursi kekuasaan Jatim-1, haqqul yaqin sudah  membaca QS Ali Imran ayat 26 yang berbunyi: qulillaahumma maalikal-mulki tu’til-mulka man stasyaaa’u wa tanzi’ul-mulka mim man tasyaaa’u wa tu’izzu man tasyaaa’u wa tuzillu man tasyaaa’, biyadikal-khoiir, innaka ‘alaa kulli syai’ing qodiir. Arti yang leksikalnya sudah umum: “Katakanlah (Muhammad): Wahai Tuhan Pemilik Kekuasaan, Engkau berikan kekuasaan kepada siapa pun yang Engkau kehendaki, dan Engkau cabut kekuasaan dari siapa pun yang Engkau kehendaki. Engkau muliakan siapa pun yang Engkau kehendaki dan Engkau hinakan siapa pun yang Engkau kehendaki. Di tangan Engkaulah segala kebajikan. Sungguh, Engkau Maha Kuasa atas segala sesuatu”.
Dengan demikian, marilah kita semua menyimak Pilkada ini dengan penuh syukur dan melihat berita-berita yang dikabarkan sambil istirah, leyeh-leyeh, usai fokus serius pekerjaan masing-masing untuk kesejahteraan keluarga. Kenapa keluarga, karena dari keluarga inilah Anda dapat dipanggil oleh bangsa dan negara. Untuk selanjutnya mari kita  “nobar demokreasi” paslon selakon “duta masyarakat” dalam rangka melindungi dan menyejahtarakan rakyat.
* Kolomnis, Akademisi Fakultas Hukum, dan Koordinator Magister Sains Hukum & Pembangunan Sekolah Pascasarjana Universitas Airlangga

 

Express Your Reaction
Like
Love
Haha
Wow
Sad
Angry