“Inilah bukti PBNU telah merenovasi atau mengubah pondasi jatidiri, bentuk, arah dan orientasi gerakan NU kearah politik praktis. Sehingga, tampilan NU menjadi semacam kelompok partisan atau penganut parpol koalisi pengusung Jokowi-Ma’ruf.”

Oleh: Choirul Anam*

ARTI kata khitthah (خـطة) pakai kho’ (خ) bukan kha’ (ح) dalam kamus Arab adalah rancangan, sekema atau design. Di kalangan arsitek disebut blueprint atau cetak biru. Pinjam istilah Bung Karno saat sidang BPUPKI adalah philoshopische grondslag, falsafah/dasar regara.

Di kalangan warga kampus disebut paradigma (gugusan pemikiran atau kerangka konsep dasar). Sedangkan di komunitas para tukang bangunan disebut pondasi (dasar bangunan atau fondasi). Supaya gampang memahami, kita pakai saja bahasa tukang bangunan, yakni Pondasi.

Pondasi adalah bangunan dasar yang kokoh terdiri dari tiga unsur pokok, yaitu batu pasir, semen, besi dan sebangsanya. Di atas pondasi inilah didirikan sebuah bangunan rumah (NU) yang kokoh kuat, bisa menjulang dan tahan gempa.

Nah, pondasi itulah yang dalam tulisan ini disebut khitthah. Terdiri dari Muqaddimnah (pembukaan), Nawasila (Sembilan dasar/asas), dan Qonun asasi (AD/ART atau UUD). Jadi, jika disebut khitthah, itu berarti dasar pijak atau norma dasar yang terdiri tiga unsur tersebut.

Sama seperti dasar negara Indonesia terdiri dari Pembukaan, Pancasila dan UUD 1945. Ketiga unsur dasar itu merupakan satu kesatuan tak terpisahkan, dan tidak boleh dihadap-hadapkan untuk dipertentangkan. Dalam bahasa lalu lintas disebut three in one.

Muqaddimah

Muqaddimah Qunun Asasi atau Pembukaan AD/ART NU, adalah pidato Hadratussyaih KH Hasyim Asy’ari dalam bahasa Arab, ketika hendak mendirikan Jam’iyah Ulama (Organisasi para Kiai) pada 16 Rajab 1344 H, bertepatan dengan 31 Januaii 1926 M.

Atas dasar pondasi apa atau di atas landasan/pondasi apa rumah NU didirikan? Jawabannya adalah pidato atau uraian pemikiran yang disampaikan KH Hasyim Asy’ari, dan yang kemudian diterima bulat sebagai pusaka dasar oleh para ulama pendiri NU yang, kala itu, bangsa Indonesia masih dalam cengkeraman kolonial Belanda.

Meski demikian, sampai dengan masa pra-kemerdekaan, revolusi fisik, orde lama dan orde baru, hingga era reformasi saat ini, belum ada satu pihak pun dari kalangan ulama/kiai yang berani mengotak-atik bangunan pondasi tersebut. Baru di era pemerintahan Joko Widodo (Jokowi) inilah, tiga pembesar PBNU (KH Ma’ruf Amin, KH Miftakhul Akhyar dan Prof KH Said Aqil Siraj –SAS), mulai mencoba merenovasi pusaka pondasi bapak pendiri.

Pada awalnya pondasi dirawat keasliannya dan mulai diterjemahkan dalam bahasa Jawa (Arab pegon) oleh Ketua Umum PBNU (KH Machfudz Shiddiq, wafat 4 Muharram 1363 H/ 1 Januari 1944 M). Kemudian diteruskan oleh KH Achmad Abdul Chamid, Kendal, dan dibantu oleh Drs. Musjtahal Masjhud, Surakarta, dan Abdulkarien Husen, Kendal (putra KH. A. Abdul Chamid).

Atas prakarsa KH A Abdul Chamid inilah, Muqaddimah atau pondasi yang diletakkan sendiri oleh Rais Akbar hadratussyaikh KH Hasjim Asj’ari, berhasil disalin dalam bahasa Jawa (Arah pegon) dan bahasa huruf latin. Lalu kemudian dicetak dan disebarluaskan di kalangan nahdliyin sekitar tahun1969.

Karena dirasa sangat penting untuk menjadi pedoman, terutama bagi mereka yang secara formal menjadi pengurus NU, maka pada Januari 1971 Rektor IAIN Sunan Gunung Jati Bandung, Prof KH Anwar Musaddad, yang juga Wakil Rais Aam Syuriyah PBNU, meminta KH A Abdul Chamid Kendal untuk memperbanyak kembali dan disebarkan ke seluruh pengurus NU di semua tingkatan.

Selanjutnya, pada bulan Februari 1979, Ketua PWNU Jawa Timur, KH Hasjim Latief, yang masih menyimpan naskah asli Muqaddimah (berbahasa Arab), meminta KH Abdul Aziz Masyhuri, pengasuh pesantren di Jombang, untuk menyalin dalam bahasa Indonesia guna diterbitkan bersama naskah lain dengan judul “NU Penegak Panji Ahlussunnah wal jama’ah”. Buku tersebut dijadikan buku wajib bagi latihan kader NU secara regular di era kepemimpinan KH Hasjim Latief.

Isi Pokok Muqaddimah

Isi pokok Muqaddimah yang ditulis sendiri oleh Rais Akbar, yang adalah Bapak pendiri NU dan Bapak Ummat Islam Indonesia, terdiri dari 37 ayat dan dimulai dengan ayat suci Al-Qur’an yang menyatakan: ”Segala puja-puji hanya untuk Allah yang telah menurunkan Al-Qur’an kepada hamba-Nya (Nabi Besar Muhammad SAW) guna dijadikan peringatan bagi alam semesta (Q,S al-Furqan:1). Allah juga yang memberikan kekuasaan (kemampuan yang luar biasa) dan kebijaksanaan serta telah memberikannya pula pengetahuan tentang sesuatu yang Allah kehendaki-Nya (Q,S al-Baqarah:251).

Oleh karena beliau (Nabi Muhammad) seorang yang mendapat kepercayaan untuk memimpin dunia, maka sudah semestinya, beliau diberikan pula perlengkapan bekal dan ilmu pengetahuan yang cukup untuk memimpin. “Dan barang siapa diberi-Nya kebijaksanaan, maka banyak pula diberi-Nya kebaikan (Q,S al-Baqarah:26).

Artinya, segala tindakan Nabi serba benar dan tidak mengecewakan. “Sesungguhnya Allah mengutus engkau Muhammad untuk menjadi saksi dan untuk membawa kabar gembira bagi mereka yang mau menaati petunjuk-Ku, serta untuk memberi peringatan bagi mereka yang mengingkarinya. Dan juga, engkau Muhammad, Aku utus untuk mengajak dan membawa manusia guna menaati petunjuk-Ku dengan seizin-Ku, serta untuk menjadi pula penyuluh-Ku guna menerangi alam semesta ini.” (Q,S al Ahzab:45).

Alam semesta seisinya menjadi gelap disebabkan bergejolaknya kejahatan hawa nafsu dan kebodohan. Kehadiranmu Kanjeng Nabi Muhammad di dunia ini, dengan membawa hidayah dan petunjuk Allah guna menyingkap semua tabir kegelapan yang menutupinya. Dan manusia yang sedang diliputi kegelapan tadi, “Ajaklah mereka ke jalan yang telah diatur  dan ditentukan oleh Tuhan-mu, dengan cara yang bijaksana dan tutur kata yang baik sebab, apabila mereka engkau perlakukan dengan cara kekerasan, niscayalah mereka akan salah mengerti dan bertambah jauh darimu dan oleh karenanya, apabila mereka menentangmu berilah mereka keterangan dan penjelasan dengan mengemukakan alasan-alasan yang rasional, logis dan masuk akal, sehingga puaslah hati mereka dalam menerima keterangan dan penjelasan yang engkau berikan. Allah Maha Mengetahui siapa-siapa yang tersesat dari jalan petunjuk-Nya dan siapa-siapa pula yang mau menerimanya” (Q,S an- Nahl:125). Dan masih diteruskan dengan sejumlah ayat suci al-Qur’an yang sangat bermakna bagi membentuk perilaku nahdliyin.

Kemudian ditutup dengan dua ayat suci yang meingatkan, “Di antara tanda-tanda orang baik adalah mereka yang selalu menjalanlan secara konsekuen (konsisten, istiqamah) semua peraturan Tuhan-nya, mendirikan shalat dan mereka mau bermusyawarah atas semua persoalan yang menyangkut kepentingannya, serta mereka yang mau membelanjakan rizki yang diterima dari Allah,” (Q,S as Syro:25). “Dan orang-orang yang mengikuti jejak kebaikan (para sahabat Nabi), Allah SWT merestuinya dengan segala kerelaan,” (Q,S at-Taubah: 10).

Baru setelah itu, disusul dengan kata Amma ba’du:

Kemudian Rais Akbar menyampaikan beberapa nasehat penting bagi kehidupan nahdliyin maupun ummat Islam pada umumnya, terutama bagi perlunya membentuk jam’iyah atau organissi perkumpulan.

Namun, dalam tulisan ini, hanya akan disinggung inti pokoknya saja. Mengawali nasehatnya, Rais Akbar mengatakan: Bahwa sesungguhnya perkumpulan, perkenalan, persatuan dan kerukunan adalah hal yang tidak perlu lagi diragukan guna dan manfaatnya. Betapa tidak! Nabi sendiri bersabda: “Pertolongan Allah itu bersama-sama orang banyak. Maka orang yang menyendiri (mengisolasi diri) akan disambar syetan seperti halnya anjing hutan menyambar kambing (yang menyendiri)”. Tapi perkumpulan atau jam’iyah seperti apa yang selamat dari sambaran syetan, tentu perkumpulan yang senantiasa berada dalam koridor aturan Allah SWT.

Allah SWT, kata Rais Akbar sambil menyitir sabda Nabi, rela terhadap tiga hal dan benci terhadap tiga hal pula. Apa saja tiga hal itu? Allah SWT hanya rela apabila kalian:

  1. Hanya menyembah (berbakti) kepada-Nya dan tidak sekali-kali menyekutukan-Nya
  2. Berpegang teguh pada Agama Allah dan tidak sekali-kali bercerai-berai
  3. Saling memberi nasehat kepada orang yang telah diangkat menjadi pemimpin
Dan Allah SWT benci apabila kalian selalu:
  1. Bertengkar atau bermusuhan
  2. Memperbanyak pertanyaan
  3. Menghambur-hamburkan harta benda secara tidak bermanfaat

Kemudian, sebelum Rais Akbar menutup nasehatnya dengan mengutip tiga ayat suci Surat Ali Imron: 8, 193 dan 194, beliau berseru: “Marilah wahai para ulama sekalian beserta para pengikutnya, baik dari kalangan fakir dan kaya maupun lemah dan kuat, bersatu padulah ke dalam satu wadah yang dinamakan jam’iyah Nahdlatul Ulama.

Masuklah kalian menjadi warga jam’iyah NU dengan penuh I’tikad baik, dan kasih sayang serta bersatu rukun baik lahir maupun batin.

Sesungguhnya jam’iyah NU adalah suatu organisasi yang berdiri di atas landasan keadilan dan kebenaran, memperjuangkan kebaikan dan kesejahteraan bagi seluruh ummat. Oleh karenanya, bagi orang-orang yang beri’tikad baik tentu akan merasa senang dan puas bernaung dan masuk ke dalam organisasi ini, tetapi sebaliknya bagi orang-orang yang beri’tikad jahat, tentu akan merasa terhalang dengan jam’iyah ini.

Dan didalam jam’iyah ini, hendaknya kalian saling ingat mengingatkan dan saling tolong menolong dengan penuh kejujuran guna mencapai tujuan yang mulia secara bersama-sama, tiada lain kecuali dengan kata nasehat yang baik dan ajakan yang bijaksana yang disertai dengan mengemukakan hujjah (argumentasi) yang tepat”.

Nah, dari dua hal saja yang tertulis dalam Muqaddimah, sudah terlihat jelas ada upaya merenovasi atau bahkan membongkar pondasi yang telah dibangun bapak pendiri NU: Pertama, di atas pondasi tertulis jelas, bahwa di antara tanda-tanda orang baik adalah: mereka mau bermusyawarah atas semua persoalan yang menyangkut kepentingannya, dan Kedua: Bahwa NU adalah suatu organisasi yang berdiri di atas landasan kebenaran dan keadilan, memperjuangan kebaikan dan kesejahteraan bagi seluruh ummat/bangsa.

Percobaan perubahan pondasi yang dinahkodai tiga ulama besar: KH Ma’ruf Amin, KH Miftakhul Akhyar, dan Prof KH Said Aqil Siraj (SAS), terletak pada jatidiri dan arah gerakan serta orientasi yang justru tidak membawa peningkatan kebaikan bagi NU, tapi malah  menambah kerusakan di semua lini kehidupan kebersamaan dan kerukunan nahdliyin.

Contoh dan bukti nyata kerusakan itu adalah, ketika Kiai Ma’ruf Amin maju sebagai Cawapres mendampingi Capres Jokowi dalam Pilpres 2019, sudah tentu  menyangkut kepentingan seluruh nahdliyin, yang menurut Muqaddimah, harus dimusyawarahkan.

Apakah PBNU pernah melakukan musyawarah ulama dalam hal yang amat sangat penting ini? Lalu, kenapa Presiden Jokowi mencomot begitu saja pimpinan tertinggi NU tanpa mendengar suara ulama NU terlebih dulu? Apakah karena beliau presiden, sehingga boleh saja melakukan apa yang diinginkan? Ini juga harus dijelaskan kepada ummat NU agar tidak terpecah-belah. Karena fakta saat ini, pimpinan NU di semua level menambah persyaratan baru bagi orang bisa dianggap warga NU jika mendukung pasangan Jokowi-Ma’ruf. Jika tidak, berarti bukan warga NU dan bahkan dituduh menginjak-injak kepala ulama/kiai atau Islam. Coba!

Contoh dan bukti nyata lagi adalah, tiga pembesar: Kiai Ma’ruf Amin, Kiai Miftakhul Akhyar, Kiai Said Aqil Siraj (SAS), berpidato ke mana-mana bak melakukan indoktrinasi kepada PWNU (tingkat provinsi), PCNU (tingkat kabupaten/kota), dan bahkan sampai ke MWCNU (tingkat kecamatan) serta PR-PRt NU (tingkat desa, kelurahan dan kampung) yang isi pokok pidatonya: Bahwa posisi atau kedudukan NU sekarang ini naik kelas menjadi Ashabul Qoror—setingkat pemangku kewenangan, kebijakan pemerintah atau pemegang kata putus dalam urusan negara/pemerintah.

Inilah bukti PBNU telah merenovasi atau mengubah pondasi jatidiri, bentuk, arah dan orientasi gerakan NU kearah politik praktis. Sehingga, tampilan NU menjadi semacam kelompok partisan atau penganut parpol koalisi pengusung Jokowi-Ma’ruf.

Padahal dalam Muqaddimah, jelas sekali ditegaskan oleh hadratussyaikh Mbah Yai Hasjim Asja’ri, bahwa jam’iyah NU didirikan di atas pondasi atau landasan kebenaran dan keadilan guna memperjuangkan kebaikan dan kesejahteraan seluruh ummat atau bangsa Indonesia. Dan  ingat! Perubahan bentuk tersebut akan diminta pertanggungjawabannya kelak di darul qoror.

Perubahan bentuk NU dari ashabul haq wal ‘adl menjadi ashabul qoror berarti mengubah dasar pijak, norma dasar, paradigma atau pondasi bangunan. Sejak awal berdirinya, NU berpijak pada pondasi kebenaran dan keadilan—kuunuu qawwaamiina lillaahi syuhadaa-a bilqisthi, berorientasi pada kewajiban amar ma’ruf nahi munkar guna memperjuangkan kebaikan dan kesejahteraan ummat/bangsa, dan dioperasionalkan/dilaksanakan dengn cerminan perilaku at-tawasuth (sikap di tengah), al-I’tidal (berlku adil), at-tawazun (seimbang) dan at-tasamuh (toleran). Dan semua perilaku tersebut merujuk pada kutubus salaf.

Sedangkan perubahan bentuk NU menjadi ashabul qoror, berarti dasar pijakan NU berubah pada kepentingan dan kekuasaan. Orientasinya pun berubah pada soal menang atau kalah. Pelaksanaan atau operasionalnya juga bisa menghalalkan segala cara (menyebar hoax fitnah, permusuhan dan kegaduhan internal maupun eksternal). Dan rujukannya, bisa mengacu pada buku-buku filsafat politik terutama karya Nicollo Macheavelli, The Prince.

Sebagai warga NU yang mencintai jam’iyah ulama dengan sepenuh hati, dengan sangat terpaksa tulisan ini saya publikasikan karena sudah tidak ada lagi cara yang bisa ditempuh untuk ikut tawaashau bil haqqi. Dan saya sudah berkirim surat kepad SAS untuk tabayyun sejak 13 November 2016 dengan harapan mendapat jawaban yang benar dari tangan pertama.

Surat yang sama juga saya kirimkan kepada wakil sekjen PBNU yang dekat SAS agar ditindaklanjuti untuk segera dijawab, dan wakil sekjen menyanggupinya. Tetapi sampai dengan saat ini, surat saya tidak juga dibalas. Kemudian saya juga mengutus ketua PB PPKN (Pengurus Besar Pergerakan Penganut Khitthah Nahdliyah) menyampaikan surat resmi kepada Rais Aam KH Ma’ruf Amin di arena Munas Ulama dan Konbes NU di Pesantren Tuan Guru Turmudzi, di Lombok, Nusa Tenggara Barat (2017).  Dan semuanya tidak ada balasan. Mungkin saja dianggap surat cinta dari anak-anak belum dewasa.

Tapi saya tetap yakin haqqul yaqin masih banyak ulama/kiai yang bisa dan mampu serta mau menjaga marwah NU agar tidak terjerumus dua kali dalam lubang yang sama. Persoalannya, para ulama/kiai yang waratsatul ambiya’ senantiasa menjauhi keributan, apalagi hanya untuk kepentingan keduniawian. Tapi, untuk menata kembali demi kebaikan NU? Wallahu’alam bis-shawab.

*Choirul Anam adalah Ketua Dewan Penasehat PB PPKN (Pergerakan Penganut Khitthah Nahdliyah).

Express Your Reaction
Like
Love
Haha
Wow
Sad
Angry