Keterangan gambar hersubenoarief.com

“Sudah waktunya otoritas yang berwenang turun tangan mengatasi ketidakadilan ini. KPU dan Bawaslu harus bekerja sama dengan Dewan Pers, Komisi Penyiaran Indonesia (KPI), asosiasi media dan wartawan harus membuat regulasi.”

Oleh : Hersubeno Arief

SEJUMLAH media online pekan lalu memberitakan, Ketua Umum PAN Zulkifli Hasan diteriaki mahasiswa ketika mempromosikan Prabowo-Sandi. Peristiwa itu terjadi di Purwokerto, Jawa Tengah ketika cawapres Sandiaga Uno tampil sebagai pembicara pada seminar yang digelar di sebuah hotel.

Sandi berbagi tips bagaimana menjadi pengusaha pemula sukses, di hadapan ribuan mahasiswa Universitas Muhammadiyah Purwokerto (UMP). Ruangan ball room hotel sangat padat. Mahasiswa yang datang membludag. Utamanya kalangan mahasiswi.

Sudah bisa diduga berita adanya “teriakan” itu langsung digoreng. Politisi kubu pendukung inkumben ramai-ramai berkomentar. Uniknya berita semacam itu mendapat porsi pemberitaan besar, dan menjadi running issue. Sekjen PDIP Hasto Kristiyanto yang berada di Jakarta bahkan “mengaku” mendengarnya. “Ya soraknya sangat keras. Terdengar sampai Jakarta,” ujarnya.

Hasto sebagai politisi menggunakan bahasa hiperbola. Membesar-besarkan fakta. Bagi sebagian besar mahasiswa yang hadir bahkan sama sekali tidak mendengar adanya teriakan. Mereka tenggelam dalam sebuah eforia. Seperti dalam setiap kunjungannya, Sandi selalu disambut histeria kalangan wanita. Utamanya emak-emak, apalagi remaja wanita. Calon emak-emak muda.

Tapi histeria itu tak muncul di media massa mainstream. Di sejumlah media sosial kita bisa menyaksikan betapa Sandi disambut sangat antusias, bak bintang K-Pop. Jika Anda seorang pria dan sempat menyaksikan video tersebut, pasti sepakat bahwa Sandi tiba-tiba telah menjelma menjadi “ancaman dan bahaya laten, bagi semua pria!.”

Apa sebenarnya yang sedang terjadi pada media kita, terutama media-media mainstream milik para taipan media? Dalam teori media inilah yang disebut sebagai framing, atau media framing.

Mereka membingkai sebuah peristiwa, sesuai dengan cara pandang atau kepentingan politik tertentu. Bisa saja hal itu merupakan sikap politik wartawan secara pribadi, sikap pemilik media, atau titipan pihak tertentu. Titipan itu bisa langsung dari pemilik ke para pemimpin redaksi, editor. Atau jalurnya langsung ke wartawan di lapangan.

Framing bukanlah kebohongan. Namun mereka mencoba membelokkan fakta secara halus. Caranya dengan memilih angle (sudut pandang) yang berbeda. Framing bisa dilakukan dengan cara menyeleksi berita mana yang mereka pilih, mana yang tidak. Menonjolkan unsur tertentu, menambahkan kata, bunyi, atau gambar tertentu. Tujuannya meniadakan, atau setidaknya mengaburkan informasi sebenarnya.

Dalam kasus Zulhasan fakta bahwa Sandi disambut dengan gegap gempita, dan histeria diabaikan begitu saja. Mereka justru memilih angle adanya beberapa mahasiswa yang berteriak huu…

Mereka bisa berargumentasi menganut jargon “Bila anjing menggigit manusia, itu bukan berita. Tapi bila manusia menggigit anjing. Itu baru berita.” Jadi kalau Sandi disambut secara histeria, itu biasa, bukan berita. Memang begitulah Sandi adanya. Sebaliknya kalau ada yang berteriak huu… itu baru berita. ha….ha…ha…

Framing sangat erat kaitannya dengan agenda setting. Sebuah pemilihan fakta yang disajikan kepada pembaca/pemirsa, sesuai dengan kebijakan redaksi (editoral policy). Jadi itu adalah sikap politik media tersebut.

Sandi telah menjadi sebuah fenomena yang mengkhawatirkan. Karena itu dia menjadi sasaran framing, agenda setting lawan politiknya.

Di Indonesia belakangan ini publik sudah mulai akrab dengan soal ini. Sampai-sampai ada sebuah stasiun televisi yang banyak dimusuhi, karena kebijakan redaksi. Mereka sering disebut memelintir berita.

Dalam literatur media dan komunikasi, framing digambarkan sebagai sebuah fakta : seseorang yang sedang dikejar-kejar oleh orang lain yang membawa pisau. Namun karena kamera menangkap dengan angle tertentu, gambar yang sampai ke pemirsa, menjadi sebaliknya. Si terancam, menjadi pengancam. Korban menjadi pelaku. Itulah kira-kira yang kini sedang banyak terjadi.

Penguasaan media pada suatu kelompok

Bergabungnya sejumlah pemilik media ke kubu inkumben pada pilpres kali ini, semakin menunjukkan adanya kecenderungan kuat media membuat agenda setting dan framing.

Berdasarkan media monitoring harian, sangat terlihat share atau porsi pemberitaan antara pasangan inkumben Vs Prabowo-Sandi sangat njomplang. Porsinya bisa mencapai 70-30%. Porsi pemberitaan tv, media online, dan cetak sepenuhnya dikuasai oleh inkumben. Sebaliknya di media sosial Prabowo-Sandi bisa mengimbangi inkumben, bahkan dalam beberapa isu jauh lebih kuat.

Ada beberapa faktor yang bisa menjelaskan hal ini.

Pertama, sebagai inkumben, utamanya Jokowi sangat leluasa muncul di media. Jokowi bisa menggunakan semua aktivitas kenegaraan untuk selalu muncul dan mendapat liputan media. Semakin banyak kegiatan pemerintah, termasuk mengunjungi tempat bencana, maka peluang Jokowi muncul di media, semakin besar. Ingat bagaimana Jokowi tampil dalam siaran langsung penutupan Asian Games 2018 dari lokasi bencana di Lombok. Sungguh dramatis.

Kedua, bergabungnya para pemilik media di kubu inkumben, jelas sangat mempengaruhi kebijakan redaksional. Mereka all out mendukung inkumben melalui media masing-masing. Para pemilik media ini melihat historinya, ada yang benar-benar memang mendukung karena kalkulasi politik. Tapi banyak diantaranya yang terpaksa mendukung karena terbelit kasus. Politik sandera. Siapa saja mereka? Silakan di-googling, datanya banyak tersedia.

Ketiga adanya kebijakan black out terhadap beberapa berita yang dinilai merugikan pemerintah, atau memihak oposisi. Contohnya adalah minimnya liputan aksi unjuk rasa mahasiswa, dan editing video pengeroyokan supporter Persija yang disisipi kalimat tauhid. Berita menarik itu tidak kita temukan di media mainstream. Kalau toh mereka akhirnya mereka menulis, atau menayangkan, beritanya  sudah  di-framing. Angle-nya menguntungkan pemerintah, atau kubu pendukung pemerintah.

Keempat, beberapa media yang mencoba bersikap seimbang mendapat tekanan. Contoh paling nyata adalah beberapa kali gagal tayangnya program ILC di TV One. Program yang dipandu wartawan senior Karni Ilyas ini memang sering memilih topik yang dinilai sensitif oleh penguasa.

Kelima, media buying, membeli halaman atau slot tayangan televisi. Dengan kekuatan sumberdaya keuangannya, inkumben bisa leluasa membeli halaman, dan slot tayangan. Kemewahan semacam itu tidak dimiliki oleh kubu oposisi.

Keenam, penggalangan wartawan di lapangan. Sudah menjadi rahasia umum, sebagian wartawan di lapangan bisa digalang, diarahkan untuk hanya memberitakan sesuai dengan kepentingan pemesan.

Tidak semua wartawan seperti ini. Masih banyak yang idealis. Namun mereka sering terpentok dengan kebijakan redaksi yang memihak.

Dengan kondisi media seperti itu, memang agak sulit bagi pasangan Prabowo-Sandi bersaing secara fair dan seimbang dengan inkumben. Andalan pasangan Prabowo-Sandi saat ini selain medsos, juga pada media-media non mainstream.

Hanya saja yang perlu dicatat, media sosial adalah fenomena perkotaan. Sementara untuk pedesaan, televisi tetap yang paling kuat penetrasinya. Hal itu menjelaskan mengapa dukungan inkumben sangat kuat di kalangan pedesaan. Sementara di kalangan perkotaan, terdidik, dan kritis sangat lemah.

Sudah waktunya otoritas yang berwenang turun tangan mengatasi ketidakadilan ini. KPU dan Bawaslu harus bekerja sama dengan Dewan Pers, Komisi Penyiaran Indonesia (KPI), asosiasi media dan wartawan harus membuat regulasi. Pertandingan yang tidak seimbang ini bila dibiarkan akan memunculkan ketidakadilan. Demokrasi yang bersih dan jujur sangat jauh dari kenyataan.

Menyadari betapa  dahsyatnya kekuatan media, vokalis The Doors Jim Morrison sampai menyatakan : Whoever controls media, controls the mind.

Dengan menguasai media, inkumben pasti berpikir mereka telah berhasil mengontrol pikiran dan pilihan publik. (sumber: hersubenoarief.com)