“Orang miskin bukan hanya tak punya akses, tetapi bahkan tak punya keberanian untuk merasa berhak. Betapa mengerikannya sebuah masyarakat ketika “ditindas” dan “takdir” berdampingan di kepala warganya tanpa saling mencurigai.”
Catatan Cak AT*

DALAM sejarah panjang sinema Indonesia, jarang ada film yang berani menatap kemiskinan bukan sebagai statistik BPS yang dibacakan pejabat sambil tersenyum, tetapi sebagai jeritan yang duduk manis. Ah, ironis —di pangkuan negara, sejumlah warga “terpaksa” menyerahkan nasib yang menindas.

Film On Your Lap (Pangku) karya Reza Rahadian, debut panjang seorang aktor yang telah malang melintang di jagat layar, tiba seperti tamu tak diundang dalam pesta nasionalisme palsu. Ia mengetuk pintu, masuk, lalu mematikan lampu. Kita dipaksa melihat betapa gelapnya ruangan itu.

Reza, entah kerasukan roh siapa, memilih memulai karier penyutradaraannya bukan dengan drama percintaan yang bertebaran bunga sakura atau komedi keluarga yang selesai dalam dua tawa. Ia memilih kopi pangku —tradisi yang oleh banyak orang dianggap rahasia umum, tapi tetap diperlakukan seperti hantu: semua tahu, tapi pura-pura tak melihat.

Dan di tengah gemuruh krisis 1998, ia menempatkan Sartika, seorang perempuan muda yang mencoba hidup dengan meminjam sebidang pangkuan dunia yang tak pernah ramah kepadanya. Sartika, yang diperankan dengan baik oleh Claresta Taufan, seperti seorang penyelam letih yang tetap berenang meskipun oksigen menipis.

Christine Hakim hadir sebagai Maya, ibu pelindung sekaligus simbol perempuan yang sudah terlalu lama hidup berdampingan dengan luka hingga tak sempat lagi menghitung jumlahnya. Sementara Fedi Nuril menjadi Hadi, sopir truk yang hatinya lebih becek dari jalur Pantura seusai hujan besar.

Film ini bukan air mata. Ia lumpur. Kental, pekat, menenggelamkan. Jika kita taruh dalam lanskap sinema dunia, _Pangku_ pantas disejajarkan dengan saga-saga gelap tentang kelas pekerja dan perempuan marjinal.

Ingat Shoplifters (2018) karya Hirokazu Kore-eda? Keluarga miskin Jepang yang hidup dari kehangatan seadanya, sambil menari di tepian sistem sosial yang tak mau mengakui keberadaan mereka. Bedanya, Sartika di Pangku tidak menari. Ia berjalan terseok, memeluk dinding, sambil memohon sebungkus harapan yang tak pernah dijual di toko mana pun.

Ada pula gema dari Peach Blossom Land (Taiwan), Nobody Knows (Jepang), hingga Roma (Meksiko) karya Alfonso Cuarón, yang sama-sama merayakan ketabahan perempuan dengan kesunyian yang memekakkan.

Namun Pangku membawa kita ke tanah sendiri —tanah yang entah sejak kapan berubah menjadi warisan kolonial yang terselip di antara meja kopi, tikar anyam, dan aroma laut yang tak pernah benar-benar mengenyangkan.

Dari Asia Tenggara, semangatnya dekat dengan ILO ILO (Singapura) atau Tang Wong (Thailand), film-film yang memperlihatkan bagaimana orang kecil dipaksa berdamai dengan struktur sosial yang sudah membusuk sejak nenek moyang para pejabat mengikat kain samping.

Tapi _Pangku_ punya satu kelebihan. Yaitu, keberaniannya untuk menatap negara —bukan sebagai pelindung, tetapi sebagai majikan yang lupa memperpanjang kontrak moralnya.

Secara sinematik, Pangku bergulir seperti catatan harian yang tidak pernah dibereskan: lamban, nyaris tanpa musik dramatis, dan sengaja tidak menawarkan jalan keluar yang bersih. Reza memilih kamera sebagai saksi, bukan hakim.

Maka kita pun melihat Sartika diturunkan dari truk dalam keadaan hamil tua, berjalan entah ke mana, seperti potongan CCTV yang tertinggal di meja penyidik. Inilah estetika anti-emosi yang justru menumbuhkan emosi paling liar di kepala penonton.

Para kritikus menyebut film ini sebagai “narasi datar dengan energi moral dahsyat”. Saya menyebutnya “tamparan berulang”. Sengaja. Karena negara, tampaknya, memang butuh diingatkan dengan pola repetitif: tampar-abaikan-tampar-abaikan-ulang.

Sampai suatu saat mungkin ada yang sadar bahwa orang miskin bukan fauna eksotis yang dipamerkan di festival film.

Dan tentu saja, film ini tak berhenti pada teori Oscar Lewis tentang culture of poverty atau gagasan Selo Soemardjan tentang kemiskinan struktural. Pangku melangkah lebih jauh, menyodorkan tesis pahit: Indonesia tak sekadar mengalami budaya kemiskinan, tetapi “budaya ketundukan”.

Orang miskin bukan hanya tak punya akses, tetapi bahkan tak punya keberanian untuk merasa berhak. Betapa mengerikannya sebuah masyarakat ketika “ditindas” dan “takdir” berdampingan di kepala warganya tanpa saling mencurigai.

Adegan Sartika meminta ikan di kampung nelayan adalah jilatan api yang sukar dipadamkan. Sebuah ironi antropologis kelas berat. Bagaimana mungkin ada warga hidup di depan laut, tapi kelaparan seperti hidup di gurun.

Bahkan bangsa Jepang yang bermartabat dengan diet ikan pun mungkin terperanjat. Bagaimana mungkin negara maritim terbesar di dunia gagal memberi warga pesisirnya sepotong protein yang berenang bebas hanya tiga meter dari kaki?

Ilmu sosial menyebutnya moral paradox of proximity. Saya menyebutnya “komedi gelap dari republik terang benderang”.

Di banyak negara Asia, film seperti ini sering menjadi pemantik perubahan atau setidaknya bahan perdebatan nasional. Korea Selatan memiliki Silenced, film yang mengguncang parlemen dan memaksa revisi UU.

India memiliki Pink dan Article 15, yang memaksa publik menatap diskriminasi dengan mata terbuka. Filipina punya Thy Womb dan Ma’ Rosa yang, seperti Pangku, menguliti kemiskinan kota tanpa sensor emosional.

Pertanyaannya: akankah Indonesia membiarkan Pangku hanya menjadi dekorasi festival? Atau berani melihatnya sebagai naskah dakwaan terhadap negara yang gagal menjalankan mandat konstitusi?

Film ini, dengan polos namun tajam, menegaskan satu hal: keadilan di negeri ini bukan kurang, tetapi salah alamat. Ia dikirim ke kompleks mewah, bukan ke kampung nelayan. Ia masuk ke ruang rapat pemerintah, bukan ke rumah beratap bocor tempat Sartika dan anaknya menyimpan mimpi yang tak pernah jatuh tempo.

Lalu para elite? Ah, mereka duduk di kursi empuk, sibuk meributkan elektabililan sambil menyeruput kopi yang tidak perlu memangku siapa pun.

Dan sementara itu, rakyat kecil tetap percaya bahwa penderitaan adalah bagian dari kurikulum nasional: wajib, diujikan, dan tak pernah direvisi.

Walhasil, Pangku bukan sekadar film, tetapi semacam cermin retak tempat bangsa ini melihat wajahnya sendiri—dan terkejut karena yang tampak bukan monster, melainkan diri sendiri.

Reza Rahadian, dengan segala keberaniannya, tidak membuat film tentang perempuan korban. Ia membuat film tentang negara yang menjadi pelaku, baik karena kelalaian maupun kesengajaan. Dan itu jauh lebih menakutkan dari hantu-hantu horor lokal yang biasanya berkeliaran di pohon besar.

Jika para cendekiawan dan pejabat negeri ini tidak bergeming setelah menonton Pangku, maka mungkin bukan mereka yang salah, tetapi hati mereka yang sudah lama tidak diperbarui sistem operasinya.

Dan kalau suatu hari nanti rakyat benar-benar percaya bahwa hidup miskin adalah takdir, bukan akibat, maka sebelum bencana sosial berikutnya datang, sejarah akan menulis: kita semua pernah duduk di pangkuan kejahatan —sambil pura-pura tidak merasakannya.

*Cak AT adalah Ahmadie Thaha. Pengasuh Ma’had Tadabbur al-Qur’an.
Bagaimana reaksi anda?
Like
Love
Haha
Wow
Sad
Angry