Oleh: Suparto Wijoyo *

MERAPI sebagai gunung berapi yang aktif menunjukkan geliatnya kembali dengan erupsi yang mewarnai bulan suci ini, Ramadan 1439 Hijriyah. Seberkas tatapan dan sungging senyum tetap tertengadah tanpa ada kesan waswas di tengah kondisi siaga, sigap, dan waspada. Seperti diberitakan banyak media, warga dusun-dusun di sekitar kaki “Eyang” Merapi tetap berkegiatan sambil bercengkerama yang gumamnya memang tidak terdengar dari kejauhan. Lelehan “tangis alamiah” Merapi yang “erupsi” merupakan materi yang dipersembahkan dengan ikhlas bagi kesuburan tanah penampungnya. Inilah jejak “pemupukan” agar petani yang kerap kesulitan membeli pupuk di musim kemarau, tetap di esok hari dapat mengelola tanah yang berkesuburan dengan panen raya yang dapat diupacarakan. Sebuah panen yang dinanti melalui upacara yang biasanya dihadiri para petinggi negeri ini, lazimnya berlangsung meriah. Dan petani dikira lupa tentang berapa harga eceran gabah kering giling mereka  yang telah didesak beras impor yang hadir disertai warta bahwa itu kebijakan untuk memuliakan petani agar tidak terlalu capai memikirkan ketersediaan berasnya.

Rakyat tidak banyak menagih dengan teriakan meski beras disorongkan dari tetangga sebelah dan harga-harga yang “main gobak sodor” untuk meningkatkan peringkatnya. Harga BBM dan sembako maupun tarif dasar listrik (TDL) serta ragam pajak serta retribusi yang menyertai, semua diterima dalam diam dan cukuplah dicatat dengan patrian di hati. Rakyat menyadari bahwa  gelisah tidak perlu dipentaskan dan nestapa diteriakkan, karena pemegang otoritas sudah amat sibuk bekerja. Kunjungan ke sana ke mari diberitakan dan  lihatlah si dolar yang melonjak, itu adalah kesalahan rupiah yang tidak mau beranjak. Maka gelegak rupiah yang bernilai tukar semakin “bersimpuh” di haribaan “tuan dolar” dinilai tidaklah membahayakan. Para penguasa keuangan terus berseloroh tanpa ragu bahwa titik “singgung” rupiah terhadap dolar ada pada garis aman, rakyat tak usah ikut-ikutan mempelajari “kurs dolar”.

Warga pun tetap tenang dalam suasana Ramadan yang memang ditakdirkan sebagai bulan penuh ampunan. Bulan yang di dalamnya sarat berkah dan tidak elok apabila diisi dengan omelan yang dapat merusak kekhusukan puasa. Kondisi ini akhirnya diterima dengan kepasrahan dan riak tidak perlu digelombangkan. Semua yang mengimpit cukuplah dipanggul dengan kosa kata yang sempurna di hadapan Tuhan, sabarlah, mengingat nasib orang sabar pasti disayang Gusti Allah. Lagi pula kebutuhan pangan pada bulan Ramadan ini tetap aman, stok cukup, lantas apa yang dipertanyakan dan digugat perannya dari negara. Negara sudah menunjukkan kapasitasnya dengan pemimpin yang bekerja tanpa jeda. Lihatlah bagaimana para pejabat menyelenggarakan pemerintahan yang tidak mengenal hari libur. Semua diabdikan bagi kepentingan rakyat. Begitu acapkali harus didalilkan sebagai pemanis alibi mengendalikan “harga pasaran”.

Untuk itulah, umat janganlah berpikiran yang aneh-aneh, atau macam-macam di bentara situasi yang serba “ghoib” dan sudah cukup semacam ini. Fokus saja bekerja agar Lebaran nanti tetap dapat ngopi karena dapur terus mengepul, soal kepulannya redup atau menyapa terang itu hal lain, tinggal nyalakan saja “api unggun” yang biasa dilakonkan. Api itu menyulut dan pasti ada yang disulut serta tersulut. Kini rupiah biarlah “berbaring dengan tenang”, tidak usah disulut dengan kemarahan. Kasihan nasibnya, toh dia sudah sangat pasrah meski ini berpengaruh terhadap “jumlah cicilan” yang harus dibayar terhadap tumpukan utang luar negeri. Tahu kan luar negeri, sementara saya ini cukup ribet di urusan dalam negeri, atau memang negeri ini harus diurus dari dalamnya, bukan luarnya. Sudahlah.

Dalam negeri ini ada lagi “petinggi kundangan” yang  betapa sibuknya akhir-akhir ini dia bekerja. Tidak cukup dengan langkah-langkah tadarus dan memperbayak salat, tetapi dia dapat “kekuatan” untuk melakukan ibadah administratif dan birokratis. Spritualitas tampaknya tidak bisa dapat didengungkan tanpa kedudukan administratif yang jelas. Adakah ini, Tuhan  sedang “diperkirakan” membutuhkan bingkai administratif untuk menjamin keabsahan para penyeru kebaikan. Jangan-jangan khalayak sedang tidak tahu, apalagi saya, bahwa pemegang  juru dakwah itu perlu kendali dari “ketua komunitas” yang sudah bernegosiasi dengan Sang Kuasa kalau  para penceramah  di hadapan Tuhan harus mempunyai  stempel yang diberikan oleh “kumpulan arisan”.

Bukankah setiap muslim dan umat Islam ini ada dalam organisasi modern, bukan kerumunan liar sehingga sudahlah wajar apabila  di hadapan Yang Maha Tahu pun  dibutuhkan “sertifikasi kaum pendakwah”. Ok saya mafhum saja, biarlah mereka sibuk dengan sertifikasi selaksa para guru dan dosen. Semua profesi   terus disertifikasi dengan implikasi tunjangan yang harus diperjuangkan, dan dai itu kini dianggap profesi yang harus profesional.  Ini tandanya kepemimpinan yang top, semua harus serba top, termasuk nanti juru kubur dan pemandi jenazah agar tidak digugat keabsahannya di akhirat, biarlah pula mereka disertifikasi. Selanjutnya saya menepi saja sambil menyaksi bagaimana sertifikasi direkomendasi. Adakah ini memang kebutuhan negeriku? Innalillahi wa inna ilaihi rajiun.

 * Kolomnis, Akademisi Fakultas Hukum, dan Koordinator Magister Sains Hukum & Pembangunan Sekolah Pascasarjana Universitas Airlangga

 

Express Your Reaction
Like
Love
Haha
Wow
Sad
Angry