Oleh: Suparto Wijoyo*
UU ORMAS yang baru disetujui DPR-RI 24 Oktober 2017, Reklamasi, Meikarta, penangkapan mahasiswa demonstran 20 Oktober 2017, serbuan Tenaga Kerja Asing, maupun investor yang menjadi predator, semua itu menabuh silang-sengkarut. Sebuah silang-sengkurat yang mengaduk-aduk jiwa rakyat dengan dada yang terus berdegup kencang. Kondisi ini sejatinya mencerminkan “kelas dan kapabilitas” kepemimpinan nasionalnya. Sepekan ini publik disuguhi ontran-ontran yang digembalakan dari ruang institusi negara. Adu kekuatan yang berpusat di sentra negara membentur tembok sosio-kultural yang dapat menggelombangkan gerakan massa.
Ungkapan yang dilontarkan dari lembaga DPR-RI maupun “teror reklamasi” telah membanjiri ranah politik dengan perilaku yang tingkat ketidaksopanannya dinilai melebihi batas tolerensi bangsa beradab. Semua dipertontonkan dengan terangnya dan khalayak menyimak penuh tanda tanya? Sampai kapan gempita yang mendestorsi ketenangan bernegara ini berakhir dan mengapa pemegang kuasa terkesan mempermainkan, bahkan terpotret mengajak “adu kuat tarik nafas” kepada rakyatnya sendiri.
Hukum dibidik berjalan limbung karena sekadar menjadi pelayan yang membopong kekuasaan sebagai tuannya. Hukum seperti panggung untuk mementaskan kekuasaan sambil mengisap sumber daya rakyat dan menanam “lupa pengemplang BLBI”. Konflik dicipta dan dipanen oleh otoritas atas nama kuasa sehingga kata “pribumi diharamkan”. Dalam kondisi seperti ini mari membaca kembali kitab kenegaraan tertinggi. Dalam Pembukaan UUD 1945 dititahkan bahwa negara ini didirikan untuk melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial.
Apakah kita sebagai warga bangsa telah merasa aman dijaga oleh negara? Siapa yang membuat jantung rakyat terus berdegub kencang setiap hari sambil menebar kebencian di antara anak negeri? Negara ini bukan tanah tak bertuan, tetapi penyedia ruang kepemimpinan untuk mengajarkan kecerdasan, bukan keculasan. Pemilihan pemimpin bukan untuk abai, apalagi pongah kepada konstituennya. Masyarakat awam sesungguhnya paham siapa pemantik situasi seperti sekarang ini. Kosmologi rakyat memberikan pekabaran yang sangat terang bahwa kemelut sosial yang berpolarisasi adanya “perang tanding yang dingin-dingin keras” ini adalah bermula dari pembiaran “keadaan pelanggar hukum pengembang”.
Memimpin itu bukan soal kekuatan politik semata, tetapi menyangkut kedalaman ruhani, kelapangan hati, dan keluasan pikir. Plato (427-347 SM) di berbagai karyanya (Laches, Protagoras, Phaedo, Republik, Meno, Parmenides, Theaetetus dan Undang-undang) merekomendasikan agar kekuasaan itu dipegang oleh seorang filosof, karena philoshoper memiliki cakrawala pandang yang komprehensif dan menampung segala beban rakyatnya. Bagaimana pun peringai rakyat itu.
Pemikiran filosofis diajarkan sebagai esensi bangunan agar suatu rezim “negara kota” sesuai dengan makna dasar hadirnya sebuah negara. Dalam lingkup yang demikian benarlah apa yang digagas Plato. Pemimpin yang mengerti filsatat Pancasila dan kandungan UUD 1945 pun pasti menjaga ketertiban. Kalaulah kekuasaan negara justru “beternak dendam”, berarti pandangan filsafatnya tidak sejalan dengan falsafah negaranya. Ini membahayakan negara.
Terhadap situasi sekarang ini sebagai penenang pikir, sudilah melantunkan lagu dolanan kreasi budaya Kanjeng Sunan Kalijaga diakhir abad ke-14 yang telah mendapatkan penggubahan C Hardja Soebrata (1905-1986), Gundul-gundul Pacul:
Gundul gundul pacul cul gembelengan
Nyunggi nyunggi wakul kul gembelengan
Wakul glempang segane dadi sak latar
Wakul glempang segane dadi sak latar
Gundul gundul pacul cul gembelengan
Nyunggi nyunggi wakul kul gembelengan
Wakul glempang segane dadi sak latar
Wakul glempang segane dadi sak latar
Apa maknanya? Sang gundul adalah rakyat yang dengan memanggul segala kepolosannya harus berbekal pacul. Cangkul adalah perlambang daya juang untuk menyangkul, untuk menggali, untuk menafkahi, untuk berpenghidupan yang disindir gembelengan. Gembelengan merupakan gerak dinamis yang mempermainkan, dan apa akibat dari menggembelengkan rakyat (gundul) dengan perabot kebutuhan ekonominya (cangkul), telah dijawab pada bait berikutnya. Negara tentu tidak boleh “gembelengan”, apalagi sambil “menyembah-nyembah investor yang main tabrak hukum negara”.
Nyunggi berarti menjunjung tinggi di atas kepala dengan meletakkan wakul (bakul) sebagai wadah atau forma cita-cita rakyat, bejana amanat rakyat, tempat daulat tertinggi. Bagaimana implikasi tindakan menjunjung amanat rakyat dengan gembelengan? Tempayan kerakyatan (wakul) itu akan terjatuh dengan konsekuensi segane (nasi) tumpah memenuhi jalanan, membanjiri halaman rumah (dadi sak latar). Nasi boleh ‘diwerdikan’ kumpulan rakyat atau ekspresi cita-cita yang diwadahi dalam negara (NKRI). Kepentingan rakyat harus terus diselamatkan dalam “wakul NKRI”.
Gembelengan harus dicegah seberapa pun beratnya, sesulit apa pun medannya, segelap apa pun ruangnya, selicin apa pun tangga pencapainnya. Pemimpin negara maupun yang Ormas keagamaan dilarang gembelengan, karena hal itu mengakibatkan guncangan. Meletakkan rakyat di atas kepala adalah pilihan dari jabatan yang mengerti hakikat supremasi demokrasi. Kalaulah pemimpin gembelengan, maka tunggu tahapan berikutnya yang akan muncrat: Wakul glempang segane dadi sak latar.
Oh … oh … simaklah. Sebuah tembang telah menunjukkan betapa keagungan pesan yang disampaikan kepada siapa saja yang menduduki posisi kekuasaan negara dan “tahtah agama”. Tembang itu menghentak dengan bahasa simbolik, serta sangat paripurna: wakul glempang segane dadi sak latar – wakul glempang segane dadi sak latar. Pengulangan ini menjadi pengingat tanpa sekat bahwa pemimpin yang menyunggi (menjunjung tinggi-tinggi) tidak boleh main-main dengan suara rakyat yang disungginya (sebagai mahkota). Pemerintah harus rela bahkan wajib dengan kekuasaan yang dititipkan kepadanya untuk terus-menerus mencangkul, menyuburkan ladang rakyat, yaitu memberi perlindungan kepadanya.
Saya percaya bahwa apabila kita tidak dapat menggali selaksa bongkahan kearifan ajaran kepemimpinan dari leluhur, bolehlah memungut sebaris liriknya. Asalkan mampu mengerek kemuliaan ajaran bagi rakyatnya. Pancuran yang meneteskan air kebijakan agar penguasa jujur pada tugasnya amatlah berharga. Sebagaimana Filusuf Plato dalam buku dialogis klasiknya, Republik yang mengajarkan bahwa kepemimpinan orang jujur jauh lebih menguntungkan. Kau benar Plato. Dan dalam ranah Sirah Nabawiyah kami, Gusti Kanjeng Nabi Muhammad saw yang hadir sejak mulanya adalah sebagai utusan yang bergelar al-amin dan sempurna dengan karakter utamanya: shiddiq, amanah, tabligh, dan fathanah. Inilah pandom kepemimpinan teladan paripurna. Kepada calon gubernur Jatim, bersumpahlah dalam spirit imanmu dan Hari Sumpah Pemuda, 28 Oktober 2017 esok, untuk menjadi pemimpin yang tidak gembelengan.
* Esais, Akademisi Fakultas Hukum, dan Koordinator Magister Sains Hukum & Pembangunan Sekolah Pascasarjana Universitas Airlangga